Rupa dan Cara Merawat Harga Diri Buku  

  • Bagikan

MEMBAYANGKAN perpustakaan umum tanpa banyak Buku berbahan kertas, agaknya terlalu berlebihan. Namun, saat melihat koleksi buku-buku lama yang terus menyusut secara periodik, dan jumlah pengunjung yang hanya datang karena keperluan mencari referensi terkait tugas tertentu. Bisa jadi kedepan, perpustakaan umum akan menjelma menjadi Museum literasi belaka.

Dari berbagai pengamatan, budaya literasi kita, memang berkurang. Tapi, itu baru problem membaca, belum menghitung. Bila kebutuhan tugas mencari referensi, kaitannya dengan numerasi (hitungan), maka buku-buku Sains dengan konten logika matematis masih banyak dicari. Setidaknya, pada kondisi tertentu, literasi dan numerasi masih saling melengkapi dalam rupa buku berbahan kertas.

Kondisi tersebut, paling banter akan terus muncul pada mahasiswa yang bersentuhan dengan eksak atau mata kuliah yang mengharuskan hitungan. Sebabnya sederhana, melatih kemampuan matematis, tidak hanya dengan menghafal rumus-rumus, melainkan melatih jari dan daya analisa soal melalui kerja otak, agar selaras dengan waktu yang telah ditentukan saat mengerjakan jawaban.

Mengapa Rupa Buku Berubah

              Ekologi menjadi alasan paling empirik terhadap praktik ekonomi, pada hampir semua tampilan pruduk. Mulanya, aktivitas yang paling primer, yaitu memasak makanan. Demi efektivitas dan efisiensi, Kompor Minyak Tanah hadir, lalu menjelma menjadi Kompor Gas, dan saat ini menjadi Kompor Listrik. Atas nama penghematan sumber daya dan kepraktisan, masak Nasi sudah ada wadahnya sendiri, rice coocker. Selain alat pemanas Air, mesin Blender bumbu, Korek Api dan segala macam alat dapur lainnya.

             Beranjak ke persoalan pekerjaan, seragam harus dirapihkan dengan setrika Arang. Lagi-lagi, efektf, efisien, dan praktis. Maka setrika listrik dianggap paling ideal menjawab ketiga aspek tersebut. Dan begitu seterusnya, modernisasi Alat-alat rumah tangga, seturut pula modernisasi Pabrik, modernisasi adminitrasi, hingga modernisasi dunia Pendidikan.

             Kayu, Pohon, yang semakin berkurang. Disatu padukan ke dalam pemanasan global, menjadi pengetahuan yang wajb diajarkan di berbagai kelas-kelas belajar. Mulai dari kelas-kelas kajian organisasi, kelas-kelas belajar resmi dalam kurikulum Pendidikan formal, sampai pada nomenklatur mata kuliah yang dirubah menjadi Kimia Lingkungan, Green Chemistry, Pemanasan Global, dan mata kuliah lainnya, yang intinya termuati pesan-pesan tentang bagaimana menyikapi krisis lingkungan.

             Tak ketinggalan modernitas Pendidikan, akibat isu ekologi yang menyebabkan Buku-buku mengalami digitalisasi. Bukan hanya kewajiban menulis Buku oleh Dosen yang sudah dihapus sesuai Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat Dosen (PO PAK), seperti yang dijelaskan Saifur Rohman (lihat: kolom opini Kompas, edisi 25/05/2023), menjadi alasan pendukung salah satu Toko Buku ternama akan ditutup akhir tahun ini.

             Toh pun, Buku Monograf (dari hasil penelitian Dosen) dan Buku Ajar (untuk mata kuliah), serta Modul Praktikum, juga punya kriteria internal tersendiri oleh para Penilai Angka Kredit di masing-masing Lembaga perguruan tinggi (PT). Hal ini berkaitan langsung dengan tri darma PT, di antaranya mengajar dan meneliti. Tentu sebagai Akademisi Filsafat, Rohman memahami dinamika akademik itu.

             Jadi bukan semata kebiasaan yang berubah akibat dari regulasi Sistem Perbukuan atau regulasi PO PAK. Regulasi yang disebutkan merupakan faktor turunan dari fakta krisis lingkungan, ditambah dengan motif kapitalisme dalam produksi peralatan elektronik.

             Sampai di sini, muncul dialektika. Benarkah variabel Ekologi yang menentukan wujud Ekonomi? Ataukah motif Ekonomi yang menentukan pantas tidakkah variabel Ekologi dilibatkan?

Untuk menjawab pertentangan semacam ini, kita perlu secara jujur merenung tentang untuk apa membuka Toko Buku, untuk apa Dosen naik pangkat, untuk apa pembelajaran Daring diwajibkan, untuk apa aturan baru model klaim angka kredit diberlakukan memakai hyperlink, dan sekelumit pertanyaan untuk apa aktivitas modernisasi proses belajar mengajar sampai proses administratif ini muncul dalam dunia Pendidikan.

             Baik ekologi dan ekonomi, sama-sama ada dalam kerangka material. Namun di sini, Ekonomi lah yang menjadi basis utama. Ekonomi adalah motif terselubung yang diselimuti sederet alasan rasional ekologi.

Bukankah sebelum rusaknya lingkungan, hasrat dari pemilik modal yang telah membawa petaka bagi rusaknya berbagai ekosistem? Bermula sejak revolusi industeri hingga detik ini, tak ada beda, hanya berganti modus.

             Dahulu, Buku tidak dijual. Yang ada hanyalah jual beli kertas guna merekam informasi, dimana informasi berupa pengetahuan tentang suatu hal, dimana informasi tentang suatu pengetahuan pada saat itu sangat mahal, ketimbang wadah kertas itu sendiri. Bukan berarti daya ingat manusia pada zaman itu lemah.

Justeru sebaliknya, daya ingat manusia zaman dulu lebih kuat. Adanya Oral History (Sejarah Bertutur) dalam kebudayaan kuno, menjadi bukti bahwa manusia sebelum era sekarang, sangat terukur dalam meneruskan informasi dari generasi ke generasi.

             Ukuran kertas yang besar dan tebal, lambat laun mengecil dan menipis. Bila dulunya teks disalin dengan ukuran huruf agak besar mengikuti kertas, model gulungan. Kemudian mengecil dan memanjang, tetap model gulungan.

Rata-rata, tampilan manuskrip kuno memang demikan adanya. Model semacam begitu merupakan hal yang wajar, mengingat naskah-naskah kuno kebanyakan disangkut pautkan dengan hal-hal supranatural atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Kerajaan atau Kesultanan.

             Sebab menikmati intisari informasi dalam baris kata-kata berisi petuah, puji-pujian terhadap Raja, mantra-mantra, dan konten kepercayaan tertentu, pada masanya tidak elok disuguhkan di dalam perpustakaan kuno yang padat berisi gulungan kertas. 

Manusia era itu, lebih senang mendengarkan para Pembicara menerangkan secara luas dan mendalam, maksud dari catatan-catatan kuno tersebut. Sastera, bagai Teknologi pada era sekarang. Penyair, adalah Orang yang pandai bercerita dengan secarik kertas di tangannya, bak ilmuwan di era saat ini.

Untuk kefektifan, efisiensi, dan kepraktisan kebutuhan bahan bacaan, dimulailah penggabungan salinan-salinan kertas itu menjadi Buku dengan ukuran agak besar dari ukuran maksimal yang biasa kita lihat saat ini.

             Semakin ke sini, berkembanganya Sains dari Filsafat. Semakin memberi partisi pada berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan. Mula-mula, tak ada Akuntansi. Kimia dianggap paling lama berkembang, Fisika lebih revolusioner. Bahkan Sosiologi dianggap Fisika Sosial.

Situasi ini memecah abstarksi Filsafat Ilmu, tapi juga membalikkan kaidah kesatu paduan Sains itu sendiri. Penyematan gelar P.hD (Philosophy of Doctor) sebagai penanda bagi lulusan S3 yang diharapkan berpikir meluas dan mendalam. Muncul istilah multidispliner, integrasi, dan semacamnya. Yang pada hakikatnya, berbagai disiplin akan saling bertemu pada lintasan-lintasan tertentu.

             Dari situ, nomenkaltur Kimia Hijau, Fisika Kelautan, Bio Kimia, Kimia Fisik, Ekonofisika, Astrofisika, Sosio Linguistik, Sosiologi Hukum, Hukum Ekonomi, Patologi Sosial, Psiko Sosial, Eko Fenisme, Eko Wisata dan berbagai istilah penggabungan dua disiplin ilmu atau dua pokok bahasan ke dalam satu judul besar, menambah khazanah Ilmu Pengetahuan, baik Ilmu-ilmu Sosial maupun Ilmu-ilmu Alam.

             Dengan demikian, Buku lambat laun mengecil guna menjawab padatnya Ilmu Pengetahuan yang kompleks dan saling berkaitan itu. Pada tingkat PT, hal ini lumrah. Sementara di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah, integrasi antara mata pelajaran (mapel) tidak begitu kompleks, dan terlihat mencolok pada mapel Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMP dan SMA.

Harga Diri Sebuah Buku

Kehendak asal menulis buku, yang penting jadi Penulis adalah penyokong utama ambruknya marwah ilmu pengetahuan. Menulis buku menjadi trend tersendiri, bahkan termasuk prestisius, apalagi dari kalangan politisi atau birokrasi.

Punya buku sendiri artinya sama dengan yang paling pantas bicara sebagai penyelamat sistem. Akibat dari menjamurnya Pelaku-pelaku Penulis semacam ini, mengakibatkan munculnya penerbit-penerbit baru yang menawarkan sejumlah kemudahan bagi terbitnya buku.

             Kita mestinya belajar dari tradisi meneruskan ilmu model Ulama Aswaja. Para pengajar yang sampai pada kategori Alim Ulama, yang mengajarkan Kitab-kitab dari Ulama sebelumnya, kebanyakan dari mereka tidak menulis Kitab yang banyak. Bahkan sama sekali tidak menuslikan Kitab terbaru untuk topik-topik yang mereka ajarkan tersebut.

             Para Pengajar Alim ini hanya menuliskan Syarah (baca: penjelasan) dari Kitab-kitab sebelumnya. Misalnya, anda mudah dapati di pasaran ada buku berjudul “Pemikiran Bung Karno”, ditulis oleh Peneliti, Pakar, atau Pengajar Filsafat.

Saat prinsip tradisi ala Ulama Aswaja diterapkan, jika anda sebagai orang yang ahli dalam Marhaenisme (ideologi Sukarno), maka anda hanya akan menerbitkan judul buku yang sama persis dengan judul buku Sukarno. Sebutlah buku Sukarno berjudul “Sarinah”, anda terbitkan ulang dengan judul yang sama, namun ada tambahan seperti; “Sarinah: penjabaran Daku (nama Anda)”.

             Dari situ kita dapat mengerti, betapa kedudukan adab lebih di atas penguasaan ilmu. Meski telah pandai, cerdas, lugas dalam menerangkan ke publik melalui percakapan. Namun untuk menulis Buku sendiri, seseorang tak lantas terburu-buru. Ia mencukupkan diri sebatas menafsir teks demi teks dari tulisan Penulis pertama.

Tindakan ini, selain menjaga orisinalitas teks dari Penulis pertama, juga sebagai bentuk membuka diri bila kelak ada Pebelajar yang mempunyai pikiran berbeda dengan penjelasan Penulis Kedua. Tampilan penjabaran terhadap teks Penulis pertama, biasanya mengambil posisi pada bagian samping, bagian atas, dan bagian bawah badan teks aseli.

             Jadi, untuk menjaga peradaban manusia melalui keberadaan Buku, antara efektivitas, efisiensi, dan kepraktisan, ketiganya harus seimbang. Tak bisa kepraktisan rupa buku, lebih dominan daripada efisiensi informasi dan efektivitas pencerahan yang diharapkan dari isi buku tersebut.

Selain itu, penting untuk melahirkan kebiasan tidak lekas-lekas ingin menulis buku, jauh dari sekedar ingin dikenal, mengikuti trend, apalagi karena endors dari pihak tertentu demi mengejar bayaran. Sebab, Buku yang memiliki harga diri adalah Buku dengan nasab berpikir runut dan jelas dari Penulisnya. (***)

  • Bagikan