Ironi di Balik Ketidakmampuan Mengendalikan Emosi

  • Bagikan

Oleh:
Hesdo Celvin Naraha, S.Psi

Setiap tahun, kasus kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan secara signifikan. Menurut paparan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2023 laporan kekerasan pada anak mencapai angka 1.800 kasus. Adapun kasus kekerasan anak kemudian diklasifikasikan berdasarkan 2 klaster, yaitu klaser Pemenuhan Hak Anak (PHA), dan klaste Perlindungan Khusus Anak (PKA). Kekerasan fisik maupun psikis pada anak-anak dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu figur yang dekat dengan kehidupan anak, maupun yang jauh sekalipun. Dikutip dari KPAI (2018) dikemukakan bahwa pengasuh anak atau babysitter merupakan salah satu figur terdekat dalam kehidupan anak, yang berpotensi melakukan kekerasan pada anak asuhnya. Sebagaimana data menujukkan bahwa sebesar 75% keluarga di Indonesia, secara khusus di kota besar, umumnya mempercayakan pengasuhan dan pendampingan anak kepada pengasuh.

Tanpa disadari kondisi seperti inilah yang berpotensi menyisakan ruang bagi pengasuh untuk melakukan kekerasan pada anak. Per tahun 2023, tercatat kekerasan pada anak (termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan oleh pengasuh) telah mencapai 1.056 kasus atau sebesar 58,7% (KPAI, 2023). Angka ini tentunya menampilkan realitas mengenai keprihatinan akan kondisi anak-anak yang tidak diasuh secara langsung oleh orangtuanya, sebagaimana kasus kekerasan yang sedang ramai di media sosial akhir-akhir ini.

Beberapa hari terakhir kasus penganiayaan pada seorang balita (3,5 tahun) begitu ramai diperbincangkan, di berbagai media sosial kita akan menjumpai banyak postingan dan komentar mengenai kasus tersebut. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sosok Aghnia Punjabi yang merupakan Ibu korban, diketahui Aghnia adalah seorang influencer pada bidang tren mode pakaian atau fashion. Terlepas dari latar belakang Ibunda korban, sebenarnya kasus seperti ini sudah seharusnya diramaikan pada berbagai media sosial, sehingga menjadi sebuah pelajaran dan refleksi bagi banyak orang.

Mengutip tulisan Rinanda (2023) pada reportase Detik.com, dijelaskan bahwa satu di antara tujuh fakta di balik kasus penyaniayaan tersebut adalah tersangka dendam dan menyiksa korban hanya karena tidak mau diobati lukanya. Jika dilihat dari keterangan pelaku yang merupakan pengasuh atau babysitter, maka tentunya alasan dibalik tindakan penganiayaan sangat keji tersebut seharusnya tidak dapat dimaknai sebagai satu-satunya penyebab. Oleh karena itulah, saya mencoba untuk merenungkan apa sebetulnya realitas di balik tindakan penganiayaan yang begitu kejam terhadap bayi 3,5 tahun, dengan pelaku merupakan seorang pengasuh yang semestinya berlaku welas asih terhadap anak asuhnya.

Sebagai seorang konselor anak dan remaja, saya sudah tidak asing menghadapi perilaku anak-anak yang kerap sulit diatur. Kini saya aktif sebagai seorang pendamping pada salah satu panti asuhan di Jakarta Selatan, sudah menjadi makanan sehari-hari untuk berhadapan dengan sikap anak-anak yang membantah, memberontak, menolak untuk makan, tidur siang atau sekadar mandi. Artinya, tidak menjadi hal tabuh untuk diketahui banyak orang bahwa menghadapi anak-anak memang penuh dengan tantangan dan kesulitan yang luar biasa. Kendati demikian sebetulnya masalah yang lebih krusial dalam kasus seperti ini, menurut saya terletak pada dinamika psikologis sang pengasuh. Sehingga hal-hal mendasar seperti kontrol diri, pengelolaan emosi, ketangguhan menghadapi tantangan, dan sejenisnya, kini menjadi perlu untuk diperhatikan.

Menjadi manusia seutuhnya: Sadar akan emosi
Ketika berbicara mengenai pemahaman akan emosi, sebenarnya ilmu Psikologi bukanlah satu-satunya perspektif yang dapat mencerahkan pemahaman kita. Karena emosi merupakan bagian yang integratif dalam diri manusia, sehingga pendekatan sosial, neurologi, teologi, hingga medis juga dapat melengkapi pengetahuan kita tentang emosi manusia.

Di suatu perbincangan antara Bu Karlina Supeli dan Pak Gita Wirjawan, terdapat diskusi mengenai menjadi manusia seutuhnya . Salah satu kutipan dari pembicaraan tersebut yang menurut saya sangatlah baik untuk direnungkan adalah Sudah saya katakan emosi penting. Tapi emosi yang mentah, yang tidak diolah, itu seperti daging teronggok yang berdarah-darah (Karlina Supeli). Menurut saya, pengenalan akan emosi dalam diri individu sangatlah penting dimiliki oleh siapa saja, sehingga menjadi tidak sehat apabila seseorang merasa bingung dengan suatu gejolak emosi tertentu dalam dirinya. Andai kata ada seorang anak kecil yang sedang asik bermain sepeda, kemudian secara tiba-tiba anak itu menangis dengan sangat keras tanpa bisa menjelaskan penyebabnya; apakah dia terjatuh, apakah ada yang memukulnya, atau perubahan emosi tertentu karena diejek anak lain? Tentunya hal ini tidak mudah dipahami jika terjadi pada seorang anak kecil, namun bagi seorang dewasa pengenalan akan emosinya sungguhlah penting untuk dimiliki.

Perspektif psikologi mengajarkan kepada kita mengenai tiga komponen diri manusia, antara lain: Emosi (emotion), pikiran (cognition) dan perilaku (behavior). Para ahli selalu percaya bahwa ketiga komponen ini tidak dapat terpisahkan, bahkan ketiganya saling terintegrasi dalam diri manusia. Sehingga seseorang yang merasa bahagia karena sehabis ditraktir makan bakmie kesukaannya, tentu akan menganggap bahwa dirinya disayangi, dan memiliki pandangan positif pada orang yang mentraktirnya. Selain itu, sepiring bakmie tadi dapat menumbuhkan rasa terima kasih pada penerimanya, sehingga dapat berwujud pada inisiatif membantu menyelesaikan pekerjaan orang yang mentraktir.

Hal ini menunjukkan bahwa komponen emosi tentu berpengaruh pada pikiran, dan perilaku, sehingga dalam upaya mengenali suatu tindakan; sebaiknya kita melihat dari ketiga komponen tersebut. Namun yang perlu diingat bahwa relasi antara setiap komponen adalah bersifat resiprokal, sehingga saling mempengaruhi. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pada prinsipnya emosi sebagai salah satu komponen dalam kehidupan manusia, seharusnya dapat dikenali dengan lebih baik oleh individu sehingga pengenalan emosi tersebut dapat menumbuhkan pikiran dan perilaku yang sehat.

Salah satu konsep psikologi yang umumnya digunakan untuk menjelaskan kualitas kehidupan manusia adalah Subjective Well-Being (SWB) atau kesejahteraan subjektif. Mayoritas penelitian psikologi menggunakan perspektif kesejahteraan subjektif untuk mengukur kualitas hidup, dan kesejahteraan pada manusia karena konsep ini mampu menelaah manusia secara utuh. Diener (2009) dalam publikasi ilmiahnya Subjective Well-being menjelaskan bahwa kesejahteraan subjektif dapat tercapai melalui dua komponen, antara lain: Komponen kognitif yang diukur dengan melihat tingkat evaluasi kepuasan hidup, dan komponen afek atau emosi yang diukur dengan melihat intensitas emosi positif dan emosi negatif. Sederhananya, seseorang dikatan memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi apabila individu tersebut dapat merasa puas dengan kehidupannya pada seluruh aspek, dan secara emosional lebih intens merasakan pengalaman emosi yang positif daripada emosi yang negatif.

Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa keutuhan manusia tidaklah terlihat dalam situasi yang bahagia, penuh semangat, jatuh cinta, atau pengalaman emosi positif saja. Justru kompleksitas manusia dapat diukur dan dilihat dari adanya pengalaman emosi yang negatif seperti perasaan takut, marah, sedih, khawatir, cemas, dan lain-lain. Ketika kembali kepada kasus penganiayaan di atas, maka menurut saya ada segumpal persoalan yang perlu diselidiki, dan ditelaah lebih jauh. Namun kembali lagi pada kesadaran akan pentingnya mengenal, mengelolah, dan mengekspresikan emosi atau perasaan dalam diri.

Pengelolaan emosi sebagai jalan meredam stres
Sebagai manusia yang seutuhnya, tentu kita tidak dapat menghindari situasi stres atau tekanan yang berlebihan. Hal ini tentunya tidak dapat diingkari bahwa realitas kita sebagai mahkluk yang berpikir dan berperasaan, seutuhnya dapat terjebak di dalam kondisi ketika sulit untuk memecahkan masalah, keadaan ini dikenal sebagai stres. Adapun stressor atau sumber stres setiap orang tentunya berbeda-beda, ada yang mengalami stres kerja, stres akademik, stres dalam perkawinan, hingga stres di tengah kemacetan atau keramaian. Meskipun demikian, yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat mengelola stres tersebut dengan baik.

Sebuah penelitian yang berujudul Correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dilakukan oleh Hastari, Yuliadi, dan Setyowati (2020). Menjelaskan bahwa regulasi emosi memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan tingkat stres. Karena kemampuan indvidu dalam meregulasi emosi dapat menurunkan intensitas pengalaman emosi negatif, sehingga seseorang merasa lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Ketika melihat pada kasus yang dialami oleh anaknya Aghnia Punjabi, kemudian dilengkapi dengan hasil pemeriksaan kepolisian mengenai alasan di balik tindakan tersebut, maka menurut saya ada persoalan serius antara stres dan pengelolaan emosi yang perlu diperhatikan.

Sejalan dengan temuan di atas, terdapat penelitian terdahulu oleh Margolin (1990) yang terbit dalam jurnal internasional Journal of Family Violence, mengemukakan bahwa terdapat sejumlah situasi yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan oleh pengasuh anak atau babysitter terhadap anak asuhannya. Menurut Margolin hampir 70% tindakan kekerasan tersebut disebabkan oleh adanya masalah antara pengasuh dengan anak asuhannya, umumnya permasalahan tersebut berkaitan dengan; anak yang menangis terus-menerus, anak yang memberontak, anak yang sulit diatur/ tidak taat, serta adanya sikap yang kasar dari anak terhadap pengasuhnya. Berbagai situasi di atas tentunya sangat mempengaruhi kondisi emosi seorang pengasuh, apalagi dipengaruhi oleh kondisi anak yang masih kecil sehingga belum dapat mengutarakan perasaannya. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana seorang pengasuh akan sangat merasa tertekan atau stres dalam menghadapi anak asuhannya.

Oleh karena itulah, maka penting untuk setiap individu -termasuk seorang pengasuh anak, agar dapat memiliki kesadaran akan pengenalan emosi, sehingga berpengaruh pada terbentuknya pengelolaan dan ekspresi emosi yang lebih baik. Kalau dalam analoginya, Bu Karlina Supeli mengatakan bahwa seseorang yang tidak mengontrol emosinya dengan baik, seumpama daging mentah yang teronggok berdarah-darah . Sementara seseorang dengan emosi yang baik diibaratkan dengan sashimi, meskipun dagingnya mentah namun telah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi tertata dengan sangat baik .

Pentingnya meningkatkan kecerdasan emosional
Berkaca dari persitiwa sebelumnya dan kasus yang sedang hangat saat ini, maka setiap orang perlu untuk diajarkan memiliki pengeloalan emosi yang baik. Seorang psikolog berkebangsaan Amerika, yaitu Daniel Goleman, menuliskan buku berjudul Emotional Intelligence . Menurut Goleman terdapat tiga dari lima komponen yang membentuk kecerdasan emosional, sehingga untuk mencapai kualitas kecerdasan emosi yang baik, maka seseorang perlu memiliki setiap komponen tersebut, antara lain:
Mengenali emosi diri: Pengenalan emosi dalam diri berarti seseorang perlu mengenali apa saja kondisi emosional atau perasaan yang dominan dalam dirinya. Baik itu emosi positif maupun negatif, sehingga ketika seseorang berada dalam suatu keadaan tertentu, maka individu tersebut dapat mengekspresikan emosinya secara tepat. Hal ini dijelaskan dalam sebuah penelitian oleh Naraha dkk. (2022) yang menemukan bahwa pengenalan akan emosi, kemudian berdampak pada penerimaan kelebihan maupun kekuarangan dalam diri; sehingga diharapkan seseorang dapat mengenal emosinya, sebagai bentuk penerimaan terhadap diri sendiri.

Mengenal emosi orang lain: Upaya untuk mengenal emosi atau perasaan orang lain adalah bentuk kesadaran sosial yang baik dalam diri individu. Melalui teori Penyesuaian diri misalnya, Haber dan Runyon (1984) menjelaskan bahwa dengan kemampuan mengenali emosi dan situasi lingkungan sekitar, maka seseorang dapat menyesuaikan dirinya dengan optimal dalam merespon suatu tekanan tertentu. Berkaca dari kasus penganiayaan balita 3,5 tahun yang sedang ramai saat ini, maka menurut saya setiap orang termasuk pengasuh anak, pada prinsipnya perlu memiliki kesadaran untuk mengenali emosi orang lain. Hal ini tentu saja didasarkan pada keyakinan agar setiap orang dapat saling menghargai kondisi emosional masing-masing.

Mengelola emosi: Di atas telah dijelaskan sedikit mengenai pentingnya pengelolaan emosi dalam diri. Namun perlu diketahui bahwa kemampuan mengelola emosi yang baik, kemudian berperan penting dalam membentuk kecerdasan emosional. Menurut saya, kemampuan ini merupakan pilar dasar yang menentukan kualitas ekspresi emosi individu, sehingga dalam menghadapi realitas kehidupan yang carut-marut, maka seseorang dapat memahami bagaimana merespon situasi tersebut dengan ajeg.

Dengan tercapainya kemampuan mengelola emosi yang baik, maka individu akan mampu mengekspresikan setiap emosi dalam dirinya secara sehat dan tepat sasaran. Hal ini berati dengan sendirinya kualitas kecerdasan emosional dalam dirinya akan terbentuk. Mengingat maraknya kasus kekerasan yang terjadi, baik terhadap anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, maka sudah seyogyanya setiap orang perlu diajarkan untuk memiliki kualitas pengeloaan emosi yang baik.

Hal ini tentu saja dapat dicapai dengan menggabungkan peran intergrasi antara individu sebagai personal, serta melibatkan keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Oleh karena lingkungan memberikan pengaruh pada kualitas kehidupan seseorang, termasuk kemampuan mengelola emosi. Maka diharapkan keterlibatan setiap elemen tersebut dapat memberikan dampak dalam terbentuknya kehidupan personal dan komunal yang lebih baik.

Sumber Referensi
Astuti, T. Dyah. (2022). Regulasi Baby Sitter Bisa Tekan Tingkat Kekerasan Pada Anak. Validnews. https://validnews.id/kultura/regulasi-baby-sitter-bisa-tekan-tingkat-kekerasan-pada-anak.
Gerstenblatt, P., Faulkner, M., Lee, A., Doan, L. T., & Travis, D. (2014). Not Babysitting: Work Stress and Well-Being for Family Child Care Providers. Early Childhood Education Journal, 42(1), 67 75. https://doi.org/10.1007/s10643-012-0571-4.
Haber, A., & Runyon, R. P. (1984). Psychology Of Adjustment. The Dorsey Press.
Hastari, D. A. P., Yuliadi, I., & Setyowati, Rini. (2020). Correlation between emotion regulation and spirituality with stress in caregivers of elderly. Al-Balagh: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 5(1), 27 58. https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269.
KPAI. (2018, February 2). KPAI akan Bahas Standarisasi Pengasuh Anak dengan Menaker. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-akan-bahas-standarisasi-pengasuh-anak-dengan-menaker.
KPAI. (2023). Data Kasus Perlindungan Anak dari Pengaduan ke KPAI Tahun 2023. In Komisi Perlindungan Anak Indonesia. https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-perlindungan-anak-dari-pengaduan-ke-kpai-tahun-2023.
Margolin, Leslie. (1990). Child abuse by baby-sitters: An ecological-interactional interpretation. Journal of Family Violence, 5(2), 95 105. https://doi.org/10.1007/BF00978513.
Naraha, H. C., Sholehah, N., Anggelo, C., Budisantoso, K. N., & Widanarti, Mulianti. (2022). Penerimaan diri dan kesejahteraan subjektif pada mahasiswa selama pandemi Covid-19. Prosiding Seminar Nasional 2022 Fakultas Psikologi UMBY, 101 115.

  • Bagikan