Fenomena Al-Zaytun dan Kekagetan Feminisme Islam

  • Bagikan

SEMINGGU ini kita banyak disuguhkan dengan pandangan kontroversi mengenai pondok Pesantren Al-Zaytun. Mulai dari pemberitaan terkait afiliasinya dengan sisa gerakan Negara Islam Indonesia (NII), hingga pengakuan dari beberapa mantan santri tentang berbagai praktik nyeleneh, di antaranya memperbolehkan zina bila cukup uang dan perampokan untuk mendanai aktivitas dakwah pesantren.

Dari sekian polemik Al-Zaytun, yang tampak dengan tegas diakui oleh Panji Gumilang, selaku Pendiri sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren tersebut, adalah pendapatnya mengenai Perempuan yang boleh menjadi Imam sholat berjama´ah dengan makmum (dapat berarti peserta sholat) beranggotakan laki-laki, serta boleh menjadi Khatib (Pengkhotbah) pada sholat Jum´at.

Pandangan itu, Ia akui persis empat hari lalu dalam petikan wawancara bersama Andi Noya melalui acara Kick Andi pada siaran Metro TV, dengan judul “Gonjang Ganjing Al-Zaytun” (lihat juga kanal yotube Metro TV).

Menarik untuk melihat keyakinan Panji Gumilang di atas. Sosoknya sekaligus sebagai personifikasi Al-Zaytun, tentu pendapat-pendapatnya tak bisa dilihat dengan kacamata pengalaman aliran nyeleneh dalam Islam yang memang sejak lama kerap muncul di Indonesia, lalu hilang ditindak aparat kepolisian.

Selama ini, kebanyakan aliran aneh itu tumbuh dalam komunitas kecil dengan pemahaman Agama yang dangkal. Berbeda dengan Al-Zaytun yang memiliki satuan Pendidikan sejak Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliyah (MA). Terbaru, Al-Zaytun sudah punya Lembaga Perguruan Tinggi yang dinamai Institut Agama Islam Az-Zaitun (IAI Al-Aziz), terdiri dari lima program studi. Di antaranya, Pendidikan Bahasa Arab dan Manajemen Dakwah.

Walaupun tulisan ini bukan sebuah analisis kritis atau kajian akademis terhadap setiap pemikiran Panji Gumilang, apalagi mendelik aktivitas dalam Yayasan tersrbut. Namun uraian ini boleh dilihat sebagai pintu masuk oleh berbagai pihak terkait, guna menindaklanjuti fenomena Al-Zaytun saat ini, tidak hanya sebagai tampilan aliran nyeleneh seperti yang sudah-sudah.

Menyibak Feminisme Islam dalam Pemikiran Panji Gumilang

Istilah feminisme dari berbagai sumber terkait, dapat diartikan sebagai paham yang berupaya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam feminisme dasar, kata Gender dan Sex mendapat tempat yang berbeda. Gender, menunjuk pada jenis kelamin sosial. Sedangkan Sex, berarti jenis kelamin biologis.

Spirit Gender inilah yang menjadi akar dari emansipasi perempuan, hingga puncaknya pada social movement (Gerakan Sosial). Sebab jenis kelamin sosial bisa berubah, tergantung tempat. Misalnya tentang kepemimpinan, pada sistem pemerintahan, termasuk monarki, dapat dipimpin oleh Ratu. Di Indonesia, contohnya Sultanah Safiatuddin (1612-1675), Raja Perempuan Aceh, Anak dari Sultan Iskandar Muda.  Selain Laksamana perempuan pertama yang juga asal kesultanan Aceh, bernama Keumalahayati (1550-1606).

Dalam perkembangannya, feminisme melahirkan berbagai varian. Feminisme juga merambat ke dunia Islam. Nuril Hidayati (2018) dalam jurnalnya berjudul “Teori Feminisme: Sejarah, Perkembangan dan Relevansinya dengan Keislaman Kontemporer” menyatakan bahwa Dinamika feminisme Islam belakangan menjadi diskursus dalam Ilmu Tafsir, Hadis, Syari´ah, Jinayah, Siyasah, Adab dan Filsafat.

Sejumlah nama yang populer, seperti Fatimah Mernissi dan Aminah Wadud Muhsin, menghiasi hampir seluruh kajian femisime Islam. Kaitanya dengan keyakinan Panji Gumilang yang membuat kaget publik tentang perempuan sebagai Imam Sholat dan Khatib Jum´at, maka pandangannya tersebut sejalan dengan Aminah Wadud Muhsin.

Lain hal dengan Fatimah Mernissi, Feminis Islam asal Maroko ini memang tidak menyetujui perempuan sebagai Imam bagi laki-laki, juga tidak membolehkan Khatib Jum´at bagi dari kalangan perempuan (lihat: studi komparatif kedua tokoh feminis itu dalam konteks Imam dan Khatib Jum´at, dari penelitian Juwita Prinanda, 2022).  

Dalam hal membangun pemahaman feminisme Islam, baik Mernissi atau Wadud, keduanya sama-sama menggunakan metode Hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Hermeneutika lebih luas dikenal sebagai metode penafsiran yang digunakan untuk menerjamahkan teks-teks Bibel. Oleh para pakar, cakupan Hermeneutika meliputi bidang teologis, filosofis, dan linguistik.

Komarudin Hidayat (2012) menerangkan tiga elemen pokok hermeneutika, yakni Pengarang, Teks, dan Pembaca. Masing-masing memiliki dunia sendiri sehingga hubungan antara ketiganya, mestinya selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena tanpa adanya wacana yang terbuka dan dinamis, sebuah tradisi akan kehilangan ruh.

Dari pijakan itulah, para tokoh Islam semisal Mohammed Arkoun, Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Zayd, termasuk Fatimah Mernissi dan Aminah Wadud Muhsin, menemukan sofistifikasi (kecanggihan) dalam kajian keislmana mereka.

Aminah Wadud Muhsin adalah perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir dengan nama Maria Teasley, di Maryland pada 25 September 1952. Rihla Nur Aulia (2011) melalui jurnalnya berjudul “Menakar Kembali Pemikiran Feminisme Aminah Wadud”, menuliskan bahwa perempuan keturunan Afrika-Amerika ini menghabiskan masa remajanya di Malaysia, hingga umur 20-an, barulah ia mengkonversi akidah menjadi seorang Islam (mualaf).

Aminah Wadud tercatat belajar pada Dr. Alton L. Becker, seorang pakar linguistik dan filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuno). Becker adalah seorang ahli dalam mempelajari Tata Bahasa Burma dan Bahasa-bahasa Asia Tenggara lainnya, termasuk Malaysia, Jawa, dan Kawi (Bahasa Jawa kuno). Melalui Becker, Aminah termotivasi lebih lanjut untuk mengembangkan pemikirannya pada feminism Islam.

Bila dilihat sepintas, rupanya hermeneutika menawarkan kemudahan bagi siapa saja yang secara mandiri, dapat menerapkan metode ini dalam mempelajari teks-teks Al-Qur´an dan Hadis, sepanjang ia telah cukup memahami studi linguistik dan studi sejarah. Dengan kata lain, gramatikal (tata Bahasa) Arab yang mumpuni, serta metodologi ilmu sejarah yang diperlukan, dapat mengantarkan seseorang untuk menafsirkan secara dinamis berbagai teks. Tentu saja Tindakan seperti ini belum mendapat tempat, bahkan bisa dianggap bid´ah teologis, sebab menabrak tradisi Ilmu Tafsir, juga Ilmu Hadis.

Seperti halnya pengalaman Aminah Wadud, Luqmanul Hakim Habibie (2016) pun secara ringkas menulis pengalaman Muhammad Syahrur, seorang di antara hermeneutis Islam yang telah disebutkan sebelumhya. Syahrur merupakan seorang Profesor jurusan Teknik Sipil, dengan latar belakang ilmu Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi. Pada Tahun 1980, ia bertemu dengan dosen linguistik bernama Ja´far Dak al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet (lihat tulisan Habibi: Hermeneutika dalam Kajian Islam).

Melihat perkembangan yang ada, memang pandangan Aminah Wadud di Amerika Serikat (AS) cukup terkenal. Organisasi seperti IRFI (Islamic Research Foundation International), banyak mengkampanyekan pikiran-pikiran Aminah Wadud. Khusus mengenai Imam Sholat, seorang mahasiswi universitas Toronto Kanada, yang juga aktif sebagai anggota dalam perkumpulan The Canadian of Muslim Women (Dewan Perempuan Muslim Kanada)bernama Nevin Reda, juga mengutip pandangan Wadud yang mendasari perempuan sebagai Imam sholat.

Tulisan Nevin Reda itu diberi judul “The Islamic Basic for Female-Led Prayer”, dipublikasn pada 18 Maret 2005 pada laman website IRFI. Bila dibaca secara utuh, Nevin hanya mengutip satu Hadis, yang juga dikutip sebelumnya oleh Aminah Wadud dalam tulisannya tentang Al-Qur´an dan Perempuan. Diambil dari kitab Sunan Abu Dawud, hadis dari Ummu Waraqah yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad pernah ke rumahnya, lalu menunjuk seseorang sebagai Muadzin (yang mengumandangkan adzan), mengizinkan Ummu Waraqah mengimami keluarganya, dan Muadzin itu seorang laki-laki yang sudah tua.

Selanjutnya dikutip dari Juwita Prinanda (2022), pada 18 Maret 2005, dalam Majalah GATRA, edisi II, tanggal 09/04/2005, mengabarkan bahwa Aminah Wadud memerani dirinya sebagai Imam dan Khatib dalam sholat Jum´at di Gereja Katedral Saint Jhon The Divine, New York. Jumlah jamaah lebih dari 100 orang, terdiri dari laki-laki maupun perempuan.

Sehingga, apa yang diyakini oleh Panji Gumilang, dan akan direncanakan itu, memperlihatkan kecenderungan ia telah menerapkan metode hermeneutika secara ekstrim dalam membaca teks al-Qur´an dan Hadis pada persoalan fiqih sholat. Selanjutnya, Panji Gumilang secara nyata hendak menerapkan apa yang pernah dilakukan oleh Aminah Wadud Muhsin ke dalam praktik peribadatan sholat di Masjid dalam kawasan pesantren al-Zaytun miliknya.

Langkah Tegas dan Mendidik dari Pemerintah

Dua hari lalu, para Hacker diberitakan telah membobol data-data dari pesantren Al-Zaytun. Hacker atasnama Fredens of Security terpantau membocorkan 45.780 data registrasi Al-Zaytun. Meskipun data-data itu belum diketahui kebenaranya, yang pasti bila diprediksi sejak awal berdiri sampai saat ini, maka angka itu bukan tak masuk akal.

Kasarnya, puluhan ribu orang sudah pernah bersentuhan dengan Al-Zaytun. Kalau misalkan perubahan pemikiran Panji Gumilang sudah ada symptom (gejala) pada 10 tahun terakhir, maka telah ada ribuan suspek (orang dengan riwayat kontak) yang bersentuhan dengan ide-ide Panji, tentu dengan tingkat frekuensi pertemuan dan intensitas pemahaman yang berbeda-beda.

Sudah sewajarnya pemerintah mulai berpikir dan bertindak serius untuk mengantisipasi gempuran pemikiran semacam Al-Zaytun sejak saat ini juga. Jangan biarkan persoalan ini selesai secara natural, atau membiarkan polemik ini berlarut-larut menjadi konsumsi publik melalui media, apalagi sampai nanti muncul perintah Presiden, seperti kasus “Kopi Sianida” dan “Pembunuhan Yosua”.

Dimulai dari Kemenag RI (Kementerian Agama Republik Indonesia), BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), dan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Kemenag RI perlu memantau ketat pelaksanaan kurikulum (konten yang diajarkan), apakah selama ini sudah berjalan muatan lokal atau hidden curriculum (kurikulum terselubung)tentang feminisme ala Aminah Wadud Muhsin kepada para Pendidik, Peserta Didik, dan Tenaga Kependidikan di dalam Yayasan tersebut. Kemudian, Berikan sanksi administratif, mulai dari pengurangan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hingga teguran pencabutan izin satuan Pendidikan.

Kedua, oleh BRIN. Perlu diadakan temu ulama/pakar terkait, dari perwakilan Ormas Besar dan Tua, semisal Muhammadiyah, NU, Persis, Mathla´ul Anwar, Nahdlatul Wathan, dll., guna memberikan road map (peta jalan) terhadap kriteria-kriteria pokok pemikiran Islam yang sesuai tradisi empat madzhab selama ini, secara spesifik pada pemikiran-pemikiran yang baru, yang menjadi ancaman bagi kedamaian umat. Tentu dengan tidak membatasi kajian akademis di lingkup perguruan tinggi. Jika perlu, ada payung hukum yang menetapkan role model (panutan) pemahaman keislaman. Seperti pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang membahas ideologi secara spesifik. Untuk kasus ini, teologi secara spesifik.

Adanya Profil Pelajar Pancasila di bawah kepemimpinan Mas Menteri Nadim dan profil pelajar Rahmatan Lil Alamin di bawah “kekhalifahan” Gus Menteri Yaqut, memang perlu untuk “melabrak” pondok pesantren atau satuan pendidikan dengan kemungkinan punyai kurikulum terselubung yang mengancam ideologi Pancasila dan NKRI.

Namun, kasus Panji Gumilang dengan ribuan pendukung ini, ditambah dengan sosoknya yang piawai mempropagandakan diri sebagai seorang warga negara yang baik, juga taat hukum, rasanya perlu intrumen tambahan untuk menguji kembali sejauh mana kecenderungan revisionisme (pemahaman pembaharuan) dari para Pendidik di semua jenjang pendidikan.

Bukankah kita sudah pernah melakukan tes untuk mengukur moderasi beragama, apa salahnya mari mengukur juga kemungkinan derajat “kebid´ah-an” (inovasi) yang nyeleneh dari tindakan sadar ataupun tidak sadar, saat menerapkan metode Hermeneutika tanpa melihat batasan-batasan, maupun menyetujui pandangan para Hermeneutis Islam dan Feminisme Islam secara ekstrim dalam tindakan keseharian.

Terakhir BPIP. Badan ini tak bisa hanya melihat ancaman ideologi Pancasila dengan gaya yang itu-itu saja. Munculnya hermeneutika dalam Islam lebih dominan disenangi oleh para aktivis Islam, sebab menawarkan kabaharuan yang dianggap progresif. Sebut saja ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) yang telah melebar di mana-mana, itu akibat dari belum adanya proteksi yang ketat terhadap berbagai “Kriteria-kriteri Berpikir” dari luar.  

Harus ada evaluasi berkala terhadap berbagai pemikiran, bikin forum dan undang mereka dialog, bila perlu debat terbuka. Negara tidak boleh inferior terhadap mereka yang terlihat pintar Bahasa Asing, paham Logika, dan gemar bernarasi sarat sophistry (baca: sofistri, KBBI), yaitu penalaran terlihat masuk akal tapi sejatinya keliru ! (***)

  • Bagikan