IDUL ADHA, DAGING KURBAN, DAN POLITISI KITA

  • Bagikan

TIAP lebaran Idul Adha atau Idul Qurban, para tokoh publik gemar menyumbang hewan berupa sapi atau kambing untuk disembelih. Sapi menjadi trend sumbangan dari para Bos, bukan karena nama ilmiahnya Bos taurus, melainkan ukuran hewan ini yang besar.

            Di luar konteks sangkaan baik dan buruk. Kebiasaan Sapi Kurban oleh para Bos, apalagi dari kalangan Politisi dan Tokoh Publik non politisi yang hendak terjun ke politik praktis, sangat menyukai Sapi. Hampir semua Sapi diangkut ke Masjid-masjid menggunakan Truk, suatu pemandangan yang tak asing menjelang beberapa hari lebaran idul adha.

            Sangat jarang para Bos menggunakan jasa penyembelihan daging Kurban di tempat-tempat pemotongan daging. Barangkali, selain urusan halal dan haram, penyembelihan di sekitar areal Masjid pasca sholat idul adha akan mampu menyedot perhatian warga sekitar untuk melihat otot Sapi yang kekar hasil sumbangan mereka.

Selain, tentu sisi positifnya adalah memunculkan solidaritas antar warga saat momen hari besar Islam itu. Minimal, saling mengonfirmasi alamat para penerima kupon. Mereka jadi lebih saling kenal, siapa saja fakir miskin yang pantas memperoleh daging Kurban.

Namun, ada hal yang perlu dicermati selain syarat kurang mampu, juga penting untuk memperhatikan kondisi kesehatan calon penerima daging Kurban, terutama masalah kolesterol. Pada data persentase Pengunjung Posbindu (Pos pembinaan terbadu penyakit tidak menular) dan Puskesmas, sejak tahun 2016 terdapat 52,9% dengan rentang usia 35-59 tahun yang terdeteksi punya kolesterol tinggi.

 Gambaran data dari Kemenkes RI tersebut juga menunjukkan berbagai tingkatan kolesterol berdasarkan provinsi. Di antaranya, Papua Barat dengan persentase 70% kolesterol tertinggi, dari 20 orang yang diperiksa, 14 di antaranya punya kolesterol tinggi. Memang data ini tak bisa digeneralisir dalam skala nasional, sebab jumlah ini hanya pada mereka yang datang untuk diperiksa.

Walau sewindu telah berlalu sejak data itu dirilis. Kemungkinannya dapat meningkat, andai para Bos yang hendak menyumbang hewan Kurban, atau Pemerintah Daerah mau melakukan tes kolesterol gratis bagi masyarakat, terutama dari klaster fakir miskin calon penerima Daging Kurban menjelang idul adha, sungguh luar biasa.

Hanya saja, dengan memperhatikan efisensi anggaran antara pembelian hewan Kurban dan harga alat tes kolesterol termurah pada kisaran harga rata-rata Rp 150.000,- di Toko Online, berikut akurasi alat tes tersebut, alangkah baiknya para Penyumbang mempertimbangkan daging Kambing ketimbang daging Sapi pada daerah-daerah dengan jumlah masyarakat berkolesterol tinggi. Setidaknya, mengecek lebih dulu melalui Lembaga Kesehatan terkait sebelum memutuskan membeli hewan Kurban.

Pilih Daging Sapi atau Kambing?

Pertama, dari sisi teologis. Ada keterkaitan informasi antara hewan yang menjadi pengganti Nabi Ismail saat hendak disembelih oleh Ayahanya Nabi Ibrahim, dengan hewan yang dikurbankan oleh Habil (Anakanya Nabi Adam) pada proses awal spirit berkurban hewan.

Berbagai Pengkaji Ilmu Islam, semisal Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Domba (Kibas) yang dijadikan pengganti Nabi Ismail itu adalah Kibas yang didatangkan dari Surga. Boleh jadi, Kibas ini merupakan keturunan Kibas milik Habil yang diambil pada peristiwa era Nabi Adam, untuk dipelihara di dalam Surga.

Mengenai keberadaan jenis hewan dan tumbuhan di planet Bumi yang juga dapat hidup di Surga, kita tak perlu heran. Dalam terjemahan Surat al-Ihsan ayat 17-18, tertulis “Di dalam Surga itu mereka diberi segelas (minuman) yang campurannya adalah Jahe”.

Lagi pula, Surga pada hari depan akan dihuni oleh Manusia. Dan tak lupa, segala macam tetumbuhan juga hewan yang disenangi oleh Penghuni Surga sewaktu di hidup di Bumi, bila mereka mau, pasti akan diciptakan lagi di dalam Surga guna menyenangi mereka.

Jadi, menimang antara Sapi dan Kambing pada kebiasaan merayakan idul adha di Indonesia, sambil menjiwai peristiwa sejarah Kurban, tentu secara morfologi Kambing lebih mendekati Domba daripada Sapi. Bukankah dari sisi peniruan terhadap perilaku dan kebiasaan Manusia-manusia pilihan, kita dianjurkan mendekatinya secara seksama (tidak harus persis sama) segala perbuatan, pembicaraan, dan kebijaksanaan yang telah mereka lakukan.

Meski antara Kambing dan Domba, berbeda secara Spesis. Kambing punya jumlah kromoson 60, sementara Domba 54. Kabar baiknya, sejak 2020 lalu, Peneliti dari Instiut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Asep Gunawan pernah berujar bahwa tiga tahun lagi Indonesia punya daging Domba premium. Dengan kata lain, idul adha kali ini kita sudah punya bibit ternak Domba Premium.

Kedua, dari sisi kesehatan masyarakat. Belum adanya informasi simultan mengenai penyakit tidak menular di dalam masyarakat. Secara umum masyarakat tak terlalu ambil pusing dengan pemeriksaan kesehatan, kecuali saat mereka merasakan kemungkinan adanya simptom (gejala) penyakit yang sulit sembuh, misalnya demam berlarut-larut, barulah mereka ke Puskesmas atau ke tempat praktik Dokter.

Selanjutnya, melihat pandangan dari para Ahli Gizi asal Departemen Pertanian Amerika Serikat, jumlah kolesterol dalam daging Kambing lebih rendah dari daging Sapi. Dari jumlah 85 gram daging, kandungan kolesterol pada Kambing paling rendah, yaitu 63,8 miligram. Daging Sapi dan Babi di angka 73,1 miligram. Sementara daging Domba, kandungan kolesterolnya sebanyak 78,2 miligram.

Dengan mempertimbangkan kebiasaan makan manusia di Indonesia sampai hari ini. Dari sisi kesehatan, lebih baik konsumsi daging Kambing ketimbang daging Sapi. Mengenai jumlah kolesterol daging Domba dan hasil riset IPB tentang Domba Premium di atas, kedepan pemerintah perlu melakukan juga diseminasi (sosialisasi) terkait pengolahan daging yang sehat kepada masyarakat menjelang idul adha.

Diseminasi secara kreatif, cukup efektif melalui video pendek demo cara mengolah daging yang sehat. Atau dapat berupa selabaran, flyer, spanduk, bukan hanya sebatas cara penyembelihan hewan Kurban secara Hukum Islam semata.

Kepada para Bos, jangan tanggung untuk berkurban dengan menyertakan buah-buahan yang cukup untuk mengimbangi konsumsi daging Kurban. Kalau misalkan penerima Kurban lebih banyak memasak daging Kurban dengan cara membuat Sate, itu justeru hal yang baik. Namun bila daging Kurban selama ini diolah dengan cara yang kurang memperhatikan aspek medis, sudah seharusnya para Penyumbang menambang buah-buahan saat pembagian daging Kurban kepada masyarakat fakir miskin.

Ketiga, dari sisi ekonomi. Berdasarkan informasi dari laman Baznas untuk harga Sapi dan Kambing Kurban 2023, harga 1 ekor Kambing kategori platinum, dengan bobot 30-33 kg, berada di kisaran harga Rp 3.300.000,-. Sementara, harga 1 ekor Sapi dengan bobot 250-300 kg, dihargai dengan kisaran harga Rp 20.300.00,-.

Kalau dibuat per kilogram. Maka daging Sapi harganya Rp 67.666,-/kg (68.000, dibulatkan) dan daging Kambing harganya Rp 100.000,-/kg. Tentu, harga per kilogram akan naik signifikan saat dijual oleh pedagang eceran. Kisaran rata-rata daging Kambing/kg ada di harga 120 ribuan, sedangkan daging Sapi/kg harganya 100 ribuan. Artinya, perbandaingan antara antara daging Kambing dan Sampi per kilogram adalah 5:6.

            Sesuai kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam pengikut mazhab (aliran) Syafi´i, maka pembagian hewan Kurban disunahkan untuk membagi 1/3 kepada Penyumbang, 1/3 kepada fakir miskin, dan 1/3 kepada orang kaya. Pandangan ini mengindikasikan Islam yang egaliter, sebab daging Kurban boleh dinikmati pada momentum yang sama untuk semua lapisan kalangan.

Bila merenung lagi hanya selisih 1 kg, pada 5:6 di atas, maka sebaiknya para Penyumbang membeli Kambing daripada Sapi. Cukup mengurangi dari jumlah 1/3 untuk para Penyumbang, yang penting secara sunah, sudah cukup merasakan daging yang dikurbankan.

Apa salahnya, para Bos cukup sedikit mengambil bagian daging, lalu Sebagian besar diberikan pada orang miskin. Kecuali pada hewan Kurban nadzar, para Pe-qurban memang dilarang memakan daging tersebut.

Politisi Kita

Muaranya, kembali ke persoalan niat. Tak penting bentuk hewan Kurban yang besar, tak penting harga hewan Kurban yang mahal. Yang terpenting adalah niat dari dalam hati para Politisi Islam sebagai Penyumbang hewan Kurban.

Sebagai Pe-qurban, hewan yang di-kurban-kan benar-benar dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana kata itu diserap dari Bahasa Arab: qoroba, yaqrobu, qurban, qurbanan, qirbanan,dan uban wa qurbanan, yang berarti “dekat”.

Meskipun tanda kesalehan sosial seseorang dapat terkonfirmasi melalui perbuatan baiknya kepada masyarakat banyak, tapi, aspek kasat mata tersebut harus ditopang dengan aspek tak kasat mata, berupa niat mendekati Allah, karena Allah.

Memamerkan sapi-sapi yang besar dan berotot saat berkurban agar mendapat kesan yang baik dari para pemilih, merupakan modus politisi sok agamis untuk kepentingan Pemilu. Hal ini lebih parah dari menggunakan agama sebagai identitas kampanye, dan lebih buruk dari kampanye hitam.

  Sepatutnya, Daging Kurban terbebas dari komodifikasi agama, yakni tidak menjadikan agama sebagai barang komoditi atau dagangan. Tindakan menyumbang Sapi dari para Politikus, jangan sampai nilai Kurbannya dalam catatan malaikat, tak lebih dari seekor Tikus.

Sebagaimana dalam al-Qur´an Surat al-Hajj ayat 36 yang artinya “Daging (hewan Kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu”.

Semoga ke depan, banyak Politisi kita termasuk orang yang bertakwa, banyak Politisi kita yang mulai berpikir untuk berkurban Kambing ditambah dengan buah-buahan segar sesuai pandangan ahli gizi, dan banyak Politisi kita yang mau menggunakan dana aspirasi untuk memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat. (***)

  • Bagikan