“Semangat untuk Bangkit” di Bulan Bung Karno: Semangat yang Bagaimana ?

  • Bagikan

DIBANDINGKAN tahun sebelumnya dengan tema “Ayo Bangkit Bersama”. Kali ini, melalui surat Menkominfo RI Nomor 241/M.KOMINFO/HM.04.01/05/2023, menyebutkan tema Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah “Semangat untuk Bangkit”.

Sebagai kalimat umum, tentu tema yang sifatnya Nasional, tak harus detil adanya. Seperti tema-tema pada kegiatan lainnya. Bila tema tahun kemarin, sifatnya ajakan untuk bangkit bersama. Maka untuk saat ini, menegaskan energi untuk bangkit.

Yang jadi soal, semangat apa yang kita punya? Dan mau bangkit dari mana? Keterpurukan Ekonomi, merosotnya Nasionalisme, perilaku korup di dalam birokrasi, atau masih ada hal prinsipil lainnya. Sebegitu penting, hingga semangat untuk bangkit itu, bertujuan menjadikan masa depan Indonesia lebih baik.

Tanggal 15 Mei lalu, kita baru saja memperingati hari Pattimura. Pada 206 Tahun silam, sebelum digantung oleh Militer VOC, Pahlawan asal Maluku ini berujar “Pattimura Tua boleh sirna, Tetapi akan bangkit Pattimura-pattimura Muda untuk meneruskan perjuangan ini”.

Dua hari lalu, tepat 18 Mei, semua umat Kristen di Nusantara, baru selesai memperingati Hari Kenaikan Isa Almasih. Dijelaskan dalam sumber Teologi Kristen, bahwa Yesus Kristus bersama murid-muridnya selama kurun waktu 40 hari, sejak dibangkitkan. Selanjutnya, beliau diangkat ke Surga. Kejadian ini diperingati sejak abad ke-4 Masehi.

Lain hal dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang secara resmi dijadikan Hari Nasional sejak dikeluarkannya Keppres Nomor 316 Tahun 1959 Tanggal 16 Desember 1959. Harkitnas menjadi pijakan bagi para Tokoh Bangsa di awal abad perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan cara yang lebih modern dan terdidik.

Dan pentingnya Harkitnas itu bukan baru diperingati sejak 1959. Beberapa dokumentasi sejarah mengonfirmasi fakta, Harkitnas juga telah diperingati jauh sebelum itu, yakni pada 20 Mei 1948, 20 Tahun peringatan Kebangkitan Nasional.

Melihat dari kurun waktu pergerakan Nasional, lahirnya Budi Utomo menjadi Pelopor gerakan dengan corak yang lebih modern dari kaum terdidik. Maksudnya adalah cara pandang dari berkumpulnya kaum terpelajar kala itu dalam suatu wadah perjuangan. Meski pengorganisiran itu dimulai dari alumnus kedokteran, namun dari mereka, daya dongkrak juang Nasional mulai menemukan formatnya secara elegan dan diplomatis.

Bisa dilihat dari pergolakan oragnisasi pergerakan setelahnya, berurutan: Sarekat Islam (1912), meskipun embrio dari SDI telah ada sejak 16 Oktober 1905.; Muhammadiyah (18 November 1912).; National Indische Partij (25 Desember 1912).; PKI (1924), sebelumnya pecah dari SI Merah, ISDV, jadi PKH pada Mei 1920.; NU (31 Januari 1926).; PNI (4 Juli 1927).; Partindo (30 April 1931).; dan Masyumi (24 Oktober 1943).

Semangat Bangkit yang Profan sekaligus Profetik

Jejak pergolakan setelah kehadiran Budi Utomo tersebut, jelas memberi tangkapan gelagat perlawanan menjadi dua motif, yakni yang profan (faktor material), dan juga yang profetik (faktor teologis).

Motif profan Kebangkitan Nasional di masa Budi Utomo dengan kepeloporan Dokter, akan terus sejalan dengan kondisi zaman. Layanan pendidikan dan pengajaran yang luas bagi Pribumi menjadi pembuka progresivitas gerakan mereka. Para Pendiri Budi Utomo adalah Golongan terpelajar dengan memanfaatkan politik etis. Suatu Konsensus dimana Pribumi dapat menaikkan daya pikir otak menjadi seorang Dokter, Pengacara, Arsitek, atau Pekerja guna mengisi sejumlah pekerjaan pada masa Kolonial Belanda.

Berbeda dengan SDI, mobilisasi para Pedagang dengan motif ekonomi menjadi penggerak utama. Nanti setelah itu, baru bermetamorfosa menjadi SI yang lebih luas membawa nama Umat Islam.

Barangkali, karena kurang terbuka melakukan perlawanan kepada Kolonial Belanda, menyebabkan Dokter Tjipto Mangunkusumo akhirnya keluar dari Budi Utomo, dan memilih mendirikan National Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar.

Tapi setidaknya, Budi Utomo secara konsisten menunjukkan ke publik tentang hal yang profan, haruslah demikian adanya. Gamal Komandoko (2008) dalam bukunya berjudul “Boedi Oetomo, Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa”, menyimpulkan tujuan Budi Utomo di antarannya: Membuka pemikiran penduduk Hindia seluruhnya tanpa melihat perbedaan Keturunan, Kelamin, dan Agama (lihat: www.kompas.com, edisi 20/05/2022 dengan judul “Apa Saja Kegiatan Organisasi Boedi Oetomo?”).

Warisan gaya profan Budi Utomo itu perlu ditafsirkan dengan menambahkan motif profetik. Bukan berarti mensakralkan yang profan, atau sebaliknya. Tujuannya agar memperkuat nilai warisan Budi Utomo itu sendiri.

Alasan penambahan motif profetik dalam memaknai Harkitnas, merupakan upaya untuk menguatkan kembali makna Nasionalisme yang kian hari kian tereduksi. Banyak generasi muda berkurang rasa Nasionalismenya. Beberapa riset di Sekolah yang dipakai sebagai rujukan memulai Moderasi Beragama, telah memperlihatkan bagimana Anak Tingkat Sekolah sudah sulit menerapkan nilai praksis yang Pancasilais.

Belakangan, keadaan makin diperparah dengan masifnya ideologi transnasional, dimana peminatnya bahkan banyak dari kalangan terdidik. Belum lagi pemberitaan media tentang Koruptor yang ditangkap secara berkala, juga ketimpangan pembangunan di Kota-kota yang telah lama berdiri sejak Republik ini diporklamirkan, turut menambah rasa curiga dan ragu terhadap Nasionalisme Indonesia.

Untuk itu, profetik dari Kebangkitan Nasional harus digali, dimakna jiwakan. Tak perlu sampai disakralkan. Melainkan dimaknai sebagai suatu pesan keharusan untuk merubah keadaan sosial menjadi lebih adil dan sejahtera. Yang sejalan dengan semangat revolusiner Kenabian, mengadvokasi para Budak supaya terbebas dari tirani penguasa yang zalim. Sentuhan pikiran Ziaul Haque (2000), intelektual Pakistan sudah menulis secara apik tentang “Wahyu dan Revolusi”, bahwa semua Nabi diutus ke Bumi membawa misi Revolusioner.
Sejalan dengan maksud Hasan Hanafi, seorang Pemikir Mesir (dalam Masyhar, 2020), menjelaskan bahwa Turath (Bahasa Arab, dapat berarti: Segala sesuatu yang sampai kepada kita, warisan), berupa Informasi atau Teks, dapat diterjemahkan sesuai konteks, dengan menafsirkan ulang. Hal ini disitilahkan dengan Tajdid (Bahasa Arab, dapat berarti: Pembaharuan).

Meskipun angka kemiskinan tak naik signifikan selama pandemi Covid yang berseri, yang penting masih ada keadalian di depan mata. Orang Miskin dengan HP Android buatan Cina, dengan internet gratisan di Kantor Desa, butuh melihat Koruptor Triliyunan Rupiah dihukum setimpal. Paling tidak, lebih lama dari hukuman Pencuri 3 Ekor Ayam di Kampung Tetangga.

Sama halnya Orang Maluku, butuh melihat satu saja titik pembangunan yang bisa mereka anggap mercusuar, entah di penghujung Pemerintahan ini, ataukah setelah 2024 mendatang. Misalnya, rel Kereta Api sepanjang Kabupaten Seram Bagian Barat hingga Kabupaten Seram Bagian Timur. Daripada mereka memelihara keheranan melalui youtube tentang Kereta Api, berikut lintasannya sepanjang Pulau Jawa yang indah mempesona.

Jadi, yang sulit yaitu meyakinkan kepada rakyat Indonesia bahwa logika pembangunan infrastruktur itu ada skala prioritasnya. Kalau susah meyakinkan hal seperti ini, tak pelak lagi hasrat protes rakyat pada wilayah tertentu perlahan akan memuncak dan berujung pada ancaman Nasionalisme. Namun, hal itu bisa diminimalisir dengan selalu menambah setiap warisan sejarah pergerakan, termasuk kebangkitan nasional dengan motif profetik.

Dapat dimulai dengan cara memberikan perhatian yang simbolik di publik, misalnya dengan memberikan kembali posisi Menteri atau Wakil Menteri kepada salah satu putera terbaik Maluku. Hal ini sebagai bentuk tranformasi sosial, seturut psikososial masyarakat Maluku terhadap stigma yang terbangun, seperti contoh sebelumnya. Selain monumen fisik, bukankah manusia juga perlu monumen ruhani.

Tak perlu khawatir, sebab di bagian terluar Maluku, Anak-anak Sekolah masih setia menyanyikan lagu Indionesia Raya dengan sepenuh hati. Mereka masih banyak yang bercita-cita ingin menjadi Polisi dan Tentara. Guru dan Dokter yang baru diangkat menjadi CPNS, masih terlihat semangat menjalani penugasan pertama di daerah 3T. Artinya, semangat untuk bangkit masih ada! (***)

  • Bagikan