Farmasi Kelautan

  • Bagikan

Sejarah farmasi kelautan ternyata bukan hal baru dalam tradisi akademik di lingkungan kesehatan. Sejarah panjang farmasi kelautan untuk biota laut dengan tujuan medis itu justeru telah dimulai sepanjang sejarah peradaban manusia semenjak zaman kuno Mesir, Yunani, dan Cina.

Buku karangan DR. Masudin “Sam” Sangadji, SP, M.Si dkk setebal 196+viii halaman berjudul: Potensi Biota Laut Bagi Farmasi Kelautan yang diterbitkan Yayasan Sahabat Alam Rafflesia, Jogyakarta, Nopember 2023, ini mengulas soal peran biota laut sebagai salah satu senyawa penting bagi dunia farmasi.

Dari riset yang dilakukan Dr. Sam dkk ditemukan bahwa senyawa antibodi untuk kebutuhan kesehatan manusia yang terdapat pada biota laut jauh lebih efektif ketimbang senyawa yang terdapat pada makhluk hidup di daratan berupa tanaman atau tumbuh-tumbuhan.

Semua biota laut punya daya tangkal yang kuat untuk semua jenis racun pada tubuh manusia melebihi makhluk hidup yang ada di daratan.

Apa yang menyebabkan antibodi pada hewan laut jauh lebih berkualitas ketimbang makhluk hidup yang ada di daratan itu?

Salah satu alasan, menurut Dr. Sam, karena semua hewan laut punya kadar garam yang tinggi. Dan, berdasarkan riset akademik antibodi manusia bisa bertahan karena dalam tubuh manusia 90 persen dipengaruhi oleh faktor air laut yang mengandung kadar garam.

“Dalam bahasa ilmiah kadar garam itu dikenal dengan istilah “salinita”. Yakni cairan garam yang tinggi yang terdapat pada semua biota laut. Sementara pada tanaman dan tumbuh-tumbuhan tidak punya kadar garam,” ujar DR. Sam, akademisi Universitas Pattimura (UNPATTI) Ambon dan peneliti di bidang sumber daya pesisir dan pulau-pulau itu.

Saya memang mewawancarai ilmuwan UNPATTI ini saat ia memperkenalkan buku yang baru diterbitkannya, Minggu, (26/11/23).

Sejak 10 tahun terakhir DR Sam dkk intens melakukan riset terhadap beberapa biota laut pada sejumlah pesisir laut di Maluku untuk kepentingan studi di bidang farmasi kelautan itu.

Dari hasil kajian tersebut ia menemukan potensi farmasi kelautan untuk semua jenis biota laut sangat berpotensi untuk kepentingan medis, dan jika itu dikelola dengan baik bukan tidak mungkin bisa menjadi sumbangan terbesar tidak saja untuk kepentingan akademik tapi juga untuk dunia medis.

Ada beberapa hewan laut ternyata memiliki kadar antibodi yang tinggi untuk menangkal sel-sel kanker.

Teripang, misalnya. Hewan laut ini ternyata menghasilkan senyawa yang dalam dunia medis dikenal istilah senyawa bioaktif punya potensi anti-kanker. (Hlm.123).

Di buku ini banyak sekali hewan laut yang menjadi studi mereka sebagai bahan kajian. Karena sifatnya ilmiah dan membutuhkan hak-hak terkait karya cipta semua temuan ini hanya sebagai contoh umum dari penelitian.

“Kajian ini terus kami lakukan untuk menemukan biota lainnya baik yang memiliki senyawa anti-kanker, termasuk bakteri dan jamur juga senyawa-senyawa bioaktif juga tidak kalah jauh memiliki potensi untuk diteliti,” ujar dosen tamu pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Maluku itu.

Apakah semua studi yang dilakukannya terhadap seluruh potensi biota laut untuk kepentingan farmasi kelautan itu hanya berupa asumsi ataukah berdasarkan penelitian, kajian, atau melalui uji laboratorium?

Menurut Dr. Sam, semua studi yang dilakukan untuk kepentingan medis di bidang farmasi kelautan sebagaimana tercantum dalam buku ini tentu diakui bermula dari asumsi.

Asumsi itu bisa berdasarkan pada kajian atau bisa pula diperoleh pada hasil riset bagaimana perilaku atau tradisi pengobatan tradisional oleh masyarakat di pesisir mengonsumsi ikan atau biota laut untuk kepentingan kesehatan mereka.

Dari studi di lapangan ternyata banyak mereka temukan terhadap warga di pesisir kerab mengonsumi biota laut seperti teripang untuk kebutuhan makan juga untuk kesehatan. Itu berlangsung turun temurun.

“Setelah kami teliti dan melakukan observasi serta penelitian melalu uji laboratorium ternyata pada hewan laut teripang itu memiliki potensi anti-inflamasi dan anti-kanker,” ujarnya.

Dari kajian terhadap hewan laut selain berpotensi untuk penangkal racun pada tubuh, biota-biota laut itu juga berguna untuk berbagai jenis plasma nutfah.

Plasma nutfah untuk hewan-hewan laut ini tentu sangat berguna dan merupakan kekayaan alam terbesar yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baik untuk kepentingan dunia farmasi kelautan di bidang pemeliharaan kesehatan kulit dan perawatan kesehatan juga untuk pengobatan penyakit.

Kajian Dr. Sam dkk ini mengingatkan saya pada salah satu ilmuwan terbaik dari Maluku Utara namanya Arend Mapanawang (Alm).

Ia seorang dokter yang ahli penyakit dalam. Di kolom Rakyat Maluku ini, Senin, (16/11/2020), saya pernah menulis soal penemuannya pada hewan laut yakni Bintang Laut Merah atau dalam bahasa Latin disebut Asteroida untuk penangkal obat herbal antivirius corona.

Gara-gara virus mematikan yang menjangkiti warga Indonesia Maret 2020 itu almarhum sempat diundang ke berbagai perguruan tinggi untuk membahas penemuan obat herbal antivirus pada hewan laut Asteroida itu di hadapan undangan pada Seminar Nasional: Peran Herbal untuk Antivirus HIV/AIDS dan Corona, Juni 2020.

Dokter Arend termasuk satu di antara ilmuwan yang oleh pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo dipercaya melalui lembaga pendidikan yang dibidaninya Sekolah Tinggi Kesehatan dan Kebidanan Makariwo Halmahera Utara (STIKMAH) yang berkedudukan di ibukota Kabupaten Halmahera Utara di Tobelo sebagai periset bersama UNHAS dan UNSRAT.

Ia dipercaya karena sebelumnya Dokter Arend pernah dianggap sukses setelah ia menemukan obat herbal untuk antivirus HIV/AIDS dari tanaman khas Golobe dan dibuat menjadi herbal bernama: Golarend.

Dari hasil risetnya itu, dokter jebolan Fakultas Kedokteran UNSRAT Manado ini diundang oleh Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menjadi pemateri bersama 11 pembicara dan para dokter terbaik Indonesia pada seminar nasional tersebut.

“Dari riset itu hasilnya positif. Senyawa Piperidone pada hewan Asteroida ini mencapai 27.24 persen yang merupakan senyawa terbesar dari beberapa jenis kandungan senyawa pada hewan laut berwarna merah itu,” kata dr. Arend.

Dari hasil laboratorium atas penemuannya tersebut sudah berhasil diujicoba kepada sejumlah pasien corona nun jauh di Maluku Utara dan berhasil.

Saat ujicoba itu dilakukan, kata dokter Arend, laboratorium yang digunakannya memang baru memiliki taraf standar. Namun demikian, mereka mempunyai 13 laboratorium nasional di Indonesia yang bisa dikolaborasi.

Karena mereka belum memiliki lab lengkap, hasil penelitiannya itu coba dihubungkan dengan bekerjasama Lab DKI Jakarta. Dari hasil lab itulah diketahui kadar senyawa pada hewan Asteroida ini memiliki potensi untuk penyembuhan bagi mereka yang terserang corona.

Sayang, riset yang dilakukan Dokter Arend belum maksimal karena ia lebih dulu dipanggil oleh Sang Khalik 12 Nopember 2020 akibat serangan jantung.

Kini, gagasan besar Dokter Arend itu tetap dilanjutkan oleh tim periset STIKMAH yang dipimpin langsung sang adik Frangki Mapanawang, Skep Nes, M.Kes.

                 *

Dr. Sam lahir di Desa Katapang, Kabupaten Seram Bagian Barat pada 13 Agustus 1974. Ia merupakan seorang akademisi UNPATTI dan juga peneliti di bidang sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kepeduliannya pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil itu, melalui seleksi yang ketat ia bersama Tim Bappenas RI yang terdiri beberapa professor pernah diundang melakukan studi kelautan selama tiga bulan di Negara New Zealand, Agustus 2023.

New Zealand termasuk salah satu negara yang tingkat pengelolaan sumber daya kelautan termasuk penanganan biota laut untuk kepentingan farmasi kelautan paling maju di dunia.

Itulah mengapa bersama Tim Bappenas mereka diundang melakukan Studi Lapangan Individual Kuota Transfer, Terkait Hak-hak Nelayan dan Kepemilikan Hasil Tangkap Laut.

New Zealand itu sukses dalam pengelolaan hasil laut dan semua jenis biota laut tidak lepas dari peran masyarakat yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal Suku Maori.

“Mereka Suku Maori inilah yang bertanggung jawab untuk pengelolaan hasil-hasil laut. Negara tidak lagi ikut campur, semua dikembalikan kepada masyarakat,” ujarnya.

Banyak negara melakukan studi karena inilah satu-satu negara di dunia yang berhasil dalam pengelolaan hasil tangkap sumber daya pesisir. “Di sana tidak ada mafia di laut. Baik terkait hasil tangkap ataupun izin tangkap segala,” ujarnya.

Mengapa tidak ada mafia?

Pengelolaan laut di sana, kata Dr.Sam, 90 persen dikelola dan menjadi milik warga. Negara hanya punya kewenangan 10 persen.

Di sana tidak ada istilah izin tangkap. Tugas negara hanya terkait untuk pengamanan menjaga laut agar tidak ada nelayan asing masuk ke wilayah negara mereka.

Negara tidak ikut campur tangan soal izin tangkap, transaksi jual beli hasil laut, bahkan sampai pemeliharaan ekosistem terhadap semua jenis biota laut.

Jadi di New Zealand itu tidak ada mafia antarapengusaha dengan petugas negara dalam pengelolaan kekayaan hasil laut mereka. Negara benar-benar independen tidak ikut campur dalam hal pengelolaan hasil tangkap maupun semua produk biota laut.

“Indonesia khususnya kita di Maluku mestinya bisa. Kalau selama ini kita mengenal istilah political economi maka belajar dari New Zealand kita perlu punya political ekologi untuk kepentingan di bidang farmasi kelautan. Peran itu mestinya bisa diambil alih oleh para politisi kita untuk kepentingan konstituen mereka,” ujarnya.

Dr. Sam menempuh pendidikan pada jenjang SD dan SMP diselesaikan di Desa Katapang dan Desa Loki, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat.

Menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA PGRI 2 di Kota Ambon. Meraih gelar sarjana pada UNIDAR Ambon tahun 1999.

Ia kemudian melanjutkan studi Magister (S2) dan Doktoral (S3) pada Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam bidang pengelolaan sumber daya pesisir dan Laut. Merupakan dosen tamu pada STIKES Maluku Husada, Universitas Muhammadiyah Maluku, dan UNIDAR Ambon.

Tahun 2018-2021 ia diperbantukan oleh UNPATTI ke Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat pada jabatan Sekretaris Bappeda dan Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Anggota Himpunan Ahli Pesisir Indonesia ini aktif mengikuti pertemuan ilmiah nasional dan internasional serta aktif menulis jurnal ilmiah nasional dan internasional bereputasi.

Ia juga menjadi bagian dari Tim Redaksi Jurnal Triton (Sinta 4) Prodi MSP FPIK UNPATTI, dan pointer pada berbagai pertemuan ilmiah.

Kini ia fokus pada bidang kajian yang berkaitan dengan sumber daya hayati laut, ekologi laut, konservasi, biodiversity, dan manajemen sumber daya perairan.(*)

  • Bagikan