Haji dan Kesetaraan

  • Bagikan

Besok, tanggal 27 Juni 2023 akan berkumpul jutaan umat di Padang Arafah untuk melaksanakan salah satu dari rangkaian ibadah haji yakni wukuf. Inilah hari yang menjadi puncak kesempurnaan bagi mereka yang kini sedang melaksanakan proses ibadah haji di Makkah.

Wukuf atau berhenti/berdiam diri untuk berdoa di Padang Arafah merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam riwayat disebutkan: “Haji itu hadir di Arafah. Barang siapa yang datang pada malam hari jam’in (10 Dzulhijjah sebelum terbit fajar) maka sesungguhnya ia masih mendapatkan haji.”

Haji di sini mengutip DR.Ali Syariati dalam bukunya berjudul: “Haji,” terbitan Pustaka, 2006, tidak lain merupakan ajaran Islam yang bersifat praktis dan teoritis akan arti dari sebuah perjalanan kenabian, persatuan, dan nasib dari sesuatu nasion muslim.

Di tengah jutaan umat Islam yang datang dari seluruh dunia menginjakkan kaki ke Tanah Suci, tanah para nabi, dan para auliyah untuk menyempurnakan perintah Allah SWT membuktikan bahwa ghirah (semangat) berhaji begitu tinggi.

Menghadapi puncak ritual haji besok hingga bermalam di Muzdalifah dan Melontar Jumrah di Mina tentu menjadi hari-hari penuh tantangan. Banyak hal siap menantang oleh jamaah haji kita kecuali mereka yang sabar, ikhlas, ikhtiar, dan tidak takabur.

Tantangan itu tidak saja soal kesehatan para jamaah, tapi cuaca dan kondisi alam juga ikut berpengaruh. Termasuk soal sikap, corak, dan latar belakang serta pemahaman yang berbeda atas pelaksanaan spiritualisasi ibadah haji menjadi tantangan tersendiri.

Dan, problem terkait masalah khilafiyah (perbedaan pemahaman) itu tentu tak saja menjadi tanggung jawab jamaah haji kita, tapi juga mereka yang diberi amanat sebagai petugas haji atau panitia penyelenggara ibadah haji juga dibutuhkan perannya.

Dari pengalaman selama musim haji — di antara jamaah haji itu kerab selalu dijumpai ada saja di antara mereka saling debat dan klaim secara beragam dalam urusan ibadah haji. Baik soal teknis seperti tempat pemondokan, makanan, transportasi hingga persoalan furuiyah dan ikhtilafiyah.

Mengutip pendapat Amirul Hajj 2019 yang juga Menteri Agama RI 2014-2019 DR (HC) KH.Lukman Hakim Saifuddin, tidak jarang di antara sesama mereka saling berdebat dan menilai dari pemahaman yang sifatnya ekstrem hingga moderat. Bahkan mereka saling klaim dan menganggap tidak sah amalan ibadah haji seseorang yang tidak sejalan dengan dirinya.

Menghadapi situasi semacam itu tanggung jawab sebagai seorang petugas haji ataupun mereka yang menunaikan ibadah haji — agar nilai-nilai ibadah hajinya bermakna — tentu tidak harus saling menanggapi secara berlebihan dalam masalah pemahaman menyangkut furuiyah maupun ikhtilafiyah.

“Untuk menilai apakah suatu amalan itu moderat atau ekstrem dalam ibadah haji kita harus kembali dan mempedomani buku manasik haji yang telah secara rinci menjelaskan tatacara pelaksanaan dari rangkaian ibadah haji,” ujarnya.

Buku manasik haji tentu bisa menjadi pedoman bersama bagi setiap jamaah haji, sebab buku itu disusun oleh para ulama dari beragam kalangan yang memiliki kompetensi di bidang haji. Tapi bila ada jamaah haji yang ingin menempuh cara lain atau membaca doa-doa yang tidak sama dengan yang ada di dalam buku manasik haji jangan melarang mereka.

Di sini ia memberikan tips menghadapi kondisi semacam itu, biarkan jamaah haji melakukan manasiknya sebagaimana yang diyakininya, sepanjang prosesi ibadah haji yang ditempuhnya tidak mengancam keselamatan jiwanya.

“Atau paling tidak mereka tak melanggar ketentuan dan tidak menyebabkan ia lepas dari kelompok dan rombongannya. Atau tidak menyimpang dari inti pokok ajaran Islam yang bersifat universal (ushuliy, kulliyat),” ujarnya.

Begitulah proses haji. Begitu banyak rangkaian ibadah yang harus dilalui oleh jamaah haji dengan beragam pemahaman. Dengan latar belakang, pola pikir, dan temperamen yang berbeda membutuhkan kearifan dalam memahami setiap pemahaman yang berkembang.

Menghadapi situasi semacam itu diperlukan kesabaran, ketahanan jiwa yang kuat, plus pemahaman yang mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman dan mempertajam perbedaan.

Hal ini penting dipahami sehingga tidak menimbulkan gesekan baik antara petugas haji dan jamaah haji atau antarsesama jamaah haji. Karena itu kembali ke buku manasik haji menjadi penting, sebab bila tidak dipedomani dan dihayati dengan baik bukan tidak mungkin dapat membuat kesucian ibadah haji kita tercemar dan berdampak pada proses ibadah haji kita menjadi sia-sia.

Ibadah haji sebagaimana dikutip Ali Syariati itu, mendidik seorang hamba untuk memahami makna dari nilai-nilai ubudiyyah. Yakni sebuah sikap untuk berserah diri kepada Allah SWT dan kepatuhan kita kepada syariah Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Ibadah haji juga mengajarkan pada kita arti dari kesetaraan antara satu dengan yang lain. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat jelata, semuanya sama di hadapan Allah.

Haji di sini oleh Ali Syariati juga memperlihatkan sebuah perhelatan akbar umat yang dipertemukan di tempat yang satu secara bersamaan dengan pakaian yang sama karena Allah SWT. Inilah pertemuan yang menjadi simbol penyatuan umat dari seluruh dunia karena diikat oleh sebuah ikatan bernama iman dan Islam.

Sebagai duta bangsa yang menjadi negara terbesar pada setiap musim haji yang mencapai lebih 230.000 jamaah haji sedunia, faktor persatuan dan kesetaraan yang menjadi sumber penyatuan haruslah dioptimalisasi untuk kemaslahatan manusia. Karena itu setiap mereka yang saat ini sedang berhaji haruslah menjadi duta-duta bangsa sekaligus sebagai penyandang Merah Putih.

Dalam konteks jamaah haji Indonesia, jamaah haji kita merupakan jamaah yang sangat dikenal oleh masyarakat muslim dunia sebagai jamaah yang baik, sopan, santun, dan toleran. Banyak ungkapan dan rasa kagum yang keluar dari jamaah haji dari negara lain atas sikap jamaah kita itu.

Tidak kurang mantan Diplomat Amerika Serikat (AS) yang pernah bertugas sebagai Konsul AS di Jeddah tahun 2006 Mr. Mark McGovern mengakui sikap disiplin masyarakat Indonesia dalam berhaji.

Itu terlihat dari gambaran saat musim haji tiba. Sebagai mantan Diplomat di Jeddah dan di Karachi, Pakistan, ia memiliki pengalaman ketika menyaksikan perilaku jamaah haji Indonesia pada saat pemeriksaan dokumen keimigrasian di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

“Mereka terlihat begitu rapih. Sikap dan perilaku mereka sangat tertib. Padahal Indonesia termasuk memiliki jumlah jamaah haji terbanyak di dunia mencapai lebih 230.000 jamaah haji. Tapi mereka begitu disiplin saat di bandara,” ujarnya kepada saya saat dalam lawatannya ke Ambon, (4/9/19).

Ia membandingkan dengan jamaah haji AS yang hanya berjumlah lebih 2000 orang yang berhaji. “Jumlah kaum muslim AS yang berhaji setiap tahun belumlah seberapa. Hanya lebih 2000 orang dari total masyarakat muslim AS yang mencapai 4 juta orang itu,” ujarnya.

Menanti tibanya Hari Raya Haji atau Hari Raya Idul Qurban besok kita berharap semua rangkaian ibadah haji baik rukun dan wajib haji yang dilaksanakan jamaah haji kita di Tanah Suci benar-benar bisa dijalankan dengan baik.

Nilai-nilai ibadah haji yang selalu mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan yang tak membedakan antara pemimpin dan rakyat jelata, antara kaya dan miskin, yang diwujudkan melalui simbol penyatuan umat dari seluruh dunia pada puncak wukuf di Padang Arafah besok bisa menjadi spirit bagi jamaah haji kita setelah mereka kembali ke Tanah Air.

Semoga kelak predikat sebagai haji yang mabrur dan mabrurah ikut pula membawa dampak positif bagi tumbuhnya iklim kehidupan beragama yang Baldatun Tayyibatun Wa Rabbun Gafur di Bumi Jazirah Almuluk yang kita cintai ini.(*)

  • Bagikan