Posisi Moderasi Beragama di Tengah Krisis Iklim

  • Bagikan

SAAT saya mengikuti kegiatan moderasi beragama Desember 2022 lalu, saya belum menemukan jawaban tentang seperti apa posisi moderasi beragama d itengah krisis iklim yang terjadi sekarang. Moderasi beragama mulai dikenal sejak pak Lukman Hakim Saifuddin menjadi Menteri Agama RI. Istilah ini, moderasi beragama, saat awal dicanangkan mendapat atensi dari berbagai kalangan. Ada yang mengkritiknya dengan pertanyaan. “Apa yang perlu dimoderasi dari agama? Apakah agama itu tidak moderat, sehingga perlu dimoderasikan? Dst”. Di sisi lain, moderasi beragama diterima sebagai suatu keharusan di tengah pluralitas umat beragama di Indonesia.

Perihal kritik terhadap moderasi beragama, ini ditanggapi oleh pak Lukman sebagai pentolan perumus moderasi beragama. Beliau menjelaskan bahwa, moderasi beragama tidak berkaitan dengan upaya kita memoderasikan agama. Sebab, di dalam setiap ajaran agama itu, sudah sejak awal moderat. Yang ditekankan moderasi beragama adalah tentang perilaku umat beragama yang cenderung ekstrim. Sikap ekstrimisme dalam beragama inilah yang perlu dimoderasikan. Jadi, moderasi beragama sebetulnya menguatkan nilai-nilai ajaran setiap agama manapun di Indonesia bahkan di dunia.

Sekilas tampaknya moderasi beragama ini berkaitan dengan sikap umat beragama dalam konteks interpersonal. Memang ini penting. Karena peran moderasi beragama berupaya untuk mengatasi sikap destruktif yang cenderung dilakukan oleh umat beragama itu sendiri. Ditengah kondisi pluralitas demografi seperti Indonesia, kerap konflik agama itu terjadi. Baik di internal agama sendiri, maupun antar umat beragama (eksternal). Konflik horizontal ini bisa terjadi karena sikap beragama yang ekstrim. Pandangan beragama yang keras. Tidak mau menerima perbedaan yang ada. Ini problem yang mendapat perhatian dari moderasi beragama.

Disisi lain, moderasi beragama juga berkaitan dengan sikap umat beragama dalam konteks intrapersonal. Yakni upaya menjaga “kesucian” diri dengan cara menghindari perilaku destruktif seperti korupsi, sombong, serakah, dst. Dalam hal ini, moderasi beragama bisa menjadi “alat” kontemplasi supaya terhindar dari perilaku kebinatangan.

Itu memang penting. Sebab, di Indonesia ini cukup aneh. Masyarakat Indonesia adalah mayoritas orang beragama, yang tingkat beragamanya bisa dikatakan “overdosis”. Tapi, toh mengapa tingkat korupsi semakin tinggi? Situasi ini sangat paradoks. Mungkin, saya secara pribadi mencurigai karena umat beragama di Indonesia belum betul-betul mengaktualisasikan moderasi beragama untuk menge-“rem” diri dari perilaku korupsi.

Jadi, moderasi beragama memberi peran penting bagi umat beragama. Baik dalam konteks intrapersonal maupun interpersonal. Menjadi pertanyaan berikutnya adalah dimanakah posisi moderasi beragama ditengah krisis iklim sekarang ini? Bagaimana moderasi beragama menyoroti konteks relasi manusia dengan alam (habluminal-alam)? Seingat saya, pertanyaan ini jarang sekali dibahas dalam berbagai kegiatan penguatan moderasi beragama. Saat saya mengikuti kegiatan moderasi di UIN Yogyakarta sekitar bulan Desember 2022 lalu, belum ada pembahasan soal pertanyaan tersebut.

Mungkin, kita perlu memikirkan juga perihal tersebut. Tentang posisi moderasi beragama di tengah krisis iklim saat ini. Sebab apa yang terjadi sekarang ini (krisis iklim) tidak lepas dari keterlibatan umat beragama di dalamnya. Terutama tentang kerja-kerja pembangunan, hilirisasi, proyek-proyek peningkatan kemakmuran rakyat melalui investasi, dan seterusnya di Indonesia. Sejumlah proyek-proyek ini disatu sisi bernilai “positif”, namun juga memberi dampak “negatif” yang cukup parah.

Di sisi lain, krisis iklim juga terjadi karena pemenuhan hasrat yang tak terkontrol (konsumerisme), menganggap teknologi sebagai tujuan bukan alat. Akibatnya, jumlah motor dan mobil membludak di kota-kota besar (seperti Jakarta). Sementara di negara-negara yang memproduksi mobil dan motor tersebut, justru masyarakat di sana lebih banyak menggunakan sepeda. Sekarang, di Jakarta, dijuluki sebagai kota paling buruk udaranya. Situasi ini sangat paradoks. Disatu sisi, masyarakat Indonesia adalah orang beragama, tapi mengapa konsumerisme tampak tinggi sekali? Padahal, nilai-nilai ajaran setiap agama menekankan agar tidak boleh rakus. Ini juga bagian dari prinsip moderasi beragama.

Ditengah krisis iklim sekarang ini, memang sangat dibutuhkan sikap moderasi beragama. Prinsip moderasi beragama untuk mengerem perilaku konsumerisme yang berdampak negatif bagi kesehatan ekologis. Bukankah setiap ajaran agama menekankan tentang tidak boleh serakah, rakus, dst? Sikap berlebih-lebihan ini tentu berdampak buruk bagi kelangsungan kehidupan itu sendiri. Krisis iklim merupakan hasil dari sikap berlebih-lebihan tersebut. Olehnya itu, butuh peran moderasi beragama.

Prinsip moderasi beragama adalah membuat seseorang bertindak penuh kehati-hatian (yakni selalu berada di tengah dua kutub ekstrim). Sebuah sikap tidak boleh terlalu serakah, juga tidak boleh terlalu ‘mlempem’ alias amotivated (tidak punya motivasi materialistik). Umat beragama tetap memenuhi tuntutan materialistik sebagai keharusan fisiologis, tapi disatu sisi tidak boleh sampai serakah sekali. Sebab, serakah (konsumerisme) akan berdampak negatif bagi terciptanya krisis iklim, dan jika umat beragama tidak punya semangat materialistik akan juga membahayakan diri sendiri.

Intinya, secara sederhana, moderasi beragama menekankan tentang umat beragama untuk berperilaku “merasa cukup” terhadap semua hal. Dengan “merasa cukup” maka seorang beragama tidak akan bertindak berlebih-lebihan. Krisis iklim yang terjadi sekarang ini karena keterlibatan umat beragama terlalu bersikap berlebih-lebihan, selalu merasa tidak cukup, ini problemnya. Olehnya itu, moderasi beragama berupaya mengerem sikap berlebih-lebihan tersebut, sehingga kesehatan ekologis dapat terjaga hingga masa mendatang. (***)

  • Bagikan