Pakar : Hal Biasa, Jangan Dipermasalahkan

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara IAIN Ambon, Dr. Nasaruddin Umar, M.H, menilai, ketidakhadiran Gubernur Maluku dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Maluku dalam rangka Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Laporan Pertanggungjawaban (Lpj) Pelaksanaan APBD Provinsi Maluku Tahun Anggaran 2022, di Kantor DPRD Maluku, Selasa, 4 Juli 2023, adalah hal yang biasa dan lazim, sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

Sebab, gubernur memiliki kesibukan yang tidak sedikit, dimana tugas dan tanggungjawab selaku gubernur amat sangat berat. Apalagi, gubernur dalam system pemerintahan memiliki dua kedudukan pemerintahan secara bersamaan, yaitu gubernur selaku kepala daerah dan gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah.

“Karena itu, ketidakhadiran gubernur dalam Rapat Paripurna DPRD Maluku hari ini (kemarin), bukan merupakan perkara serius, hanya mekanisme administrative yang dapat dimandatkan kepada wakil gubernur (Wagub) atau sekertaris daerah (Sekda) jika gubernur berhalangan hadir,” ungkap Umar, kepada koran ini di Ambon.

Menurutnya, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, kata Umar, gubernur setiap saat harus selalu berkoordinasi dengan pemerintah pusat, bahkan harus ke Jakarta setiap saat jika dipanggil oleh Presiden maupun Menteri dalam fungsi-fungsi pemerintahan. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai kepala daerah, gubernur memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPRD provinsi.

“Maka dalam konteks itu harus dipahami bahwa gubernur bukanlah sub ordinasi kekuasaan dari lembaga DPRD tidak berada dibawah kekuasaan dan tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi mitra sejajar dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan daerah,” terangnya.

Hal ini, lanjut Umar, dapat dilihat dalam kewenangan pembentukan Ranperda yang merupakan kewenangan bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 241 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), bahwa pembahasan Ranperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

Ketentuan tersebut, secara expresib verbis sangat jelas pembahasan Perda adalah kewenangan bersama, maka tidak diatur mekanisme diterima atau ditolak, yang ada adalah mendapat persetujuan bersama, seperti yang diatur dalam Pasal 242 ayat (1) UU Pemda, bahwa Ranperda yang telah disetujui bersama disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.

“Karena itu, dalam konteks sidang paripurna DPRD hari ini adalah penyampaian Ranperda tentang Lpj Pelaksanaan APBD Provinsi Maluku Tahun Anggaran 2022, telah diatur mekanismenya hanya dua dibahas dan disetujui bersama,” papar Umar.

Dia menjelaskan, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 320 ayat (1) UU Pemda bahwa kepala daerah menyampaikan Ranperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.

“Selanjutnya ayat (4) Rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk mendapat persetujuan bersama. Maka tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang sifat seperti forum peradilan bersalah dan tidak bersalah, apalagi ditolak dan tidak ditolak,” jelasnya.

Dikatakan Umar, posisi dan kedudukan gubernur dalam konteks menghadiri sidang paripurna DPRD, harus dibaca dan dicermati dalam kerangka yuridis untuk bertindak dan bertugas dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan gubernur untuk mengajukan Ranperda, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat 2 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda.

“Pasal 65 tersebut, mengatur gubernur sebagai kepala daerah otonom di antaranya, mengajukan rancangan perda, menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD, menetapkan perkada dan keputusan kepala daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang dibutuhkan oleh daerah dan atau masyarakat dan melaksanakan wewenang lain berdasarkan peraturan perudang-undangan,” tuturnya.

Selanjutnya untuk melakukan pengajuan dan pembahasan Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD sebagaimana ketentuan Pasal 320 ayat (1) dan (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Gubernur Maluku dapat memberikan mandat kepada Sekda Maluku untuk hadir dalam rapat paripurna DPRD.

Dimana, kewenangan mandat yang diberikan Gubernur kepada Sekda sudah tepat. Sebab, kedudukan Sekda sebagai pembantu Gubernur juga telah diatur dalam Pasal 213 UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menerangkan bahwa Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekertaris Daerah.

Apalagi, lanjut Umar, kehadiran Sekda dari sisi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah juga lebih tepat, karena Sekda merupakan koordinator pengelolaan keuangan daerah, sehingga lebih paham secara teknis pelaksanaan anggaran APBD yang telah berjalan.

“Kehadiran Sekda yang telah mendapat mandat dari Gubernur adalah hal yang lazim dan lumrah serta konstitusional, karena sudah sesuai dengan prinsip hukum administrasi pemerintahan dan kaidah dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkapnya.

“Sehingga dalam konteks menghadiri sidang paripurna DPRD, kehadiran Sekda harus dipandang sebagai penerima mandat atau mandatori Gubernur melaksanakan salah satu kewenangan Gubernur yang diberikan oleh undang-undang, yakni mengajukan rancangan peraturan daerah,” tambah Umar. (RIO)

  • Bagikan