Petinggi Unpatti Bantah ‘Transkrip Nilai’ Berbayar

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) serta Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Pattimura Ambon angkat bicara soal keluhan mahasiswa terkait pembayaran transkrip nilai akademik.

Kepada media ini, Senin, 12 Juni 2023, Dekan FMIPA Unpatti, Prof. Dr. Pieter Kakisina,S.Pd.,M.Si., menepis dugaan pembayaran transkrip nilai akademik oleh mahasiswa.

Dikatakan, transkrip nilai akademik sama sekali tidak bayar, namun untuk legalisir memang dikenakan biaya berdasarkan surat keputusan (SK) tarif. SK tarif ini juga berlaku untuk semua pungutan di lingkungan kampus.

“Jadi kalau bilang bahwa transkrip bayar maka tidak ada, dulunya memang ada sumbangan alumni ternyata setelah ada sumbangan alumni tingkat universitas, makanya memperkecil tagihan-tagihan di fakultas,” ujar Kakisina saat ditemui media ini.

Dijelaskannya, yang dia ketahui bahwa alumni tidak ada urusan dengan proses di fakultas lagi, karena mereka sudah menjadi alumni maka diberikan kesempatan untuk menyumbang dalam bentuk apapun.

“Jadi silakan apabila mau menyumbang. Tapi selama mahasiswa aktif maka terikat dengan SK tarif, semua berpatokan pada SK tarif karena kalau tidak ada berarti dianggap pungutan liar (Pungli),” terangnya.

Ia juga menyayangkan terkadang mahasiswa tidak mengerti untuk apa uang tersebut dipergunakan, makanya terjadi kesalahan persepsi.

“Makanya saya ajak kesini agar menanyakan langsung di bagian akademik. Barangkali pengurusan legalisir saja yang dibayar sesuai tarif,” tandasnya.

Ditemui terpisah, Dekan FISIP Unpatti, Dr. Wahab Tuanaya, M.Si., membenarkan adanya permintaan sumbangan buku oleh pihak fakultas kepada alumni mereka.

“Memang itu tidak bisa dipungkiri bahwa ada yang kita minta. Di Jurusan Sosiologi sendiri diminta dua buku, di Jurusan Administrasi kita minta tiga buku. Sebenarnya rata-rata dua buku, tapi karena ada yang bawa buku tipis-tipis dan tahun terbitan sudah lama makanya diputuskan tiga buku,” terang Tuanaya di ruang kerjanya.

Tapi dilanjutkan, karena semua buku yang dibawa itu buku yang sama makanya langkah yang diambil ialah diberikan dalam bentuk uang. Uang itu akan digunakan untuk pembelian buku agar bukunya itu tidak selalu sama.

Ia menceritakan bahwa sumbangan buku sudah ada sejak lama, bahkan sejak mereka masih berkuliah di lembaga itu. Dikatakan pula setiap kali visitasi akreditasi program studi oleh para asesor yang datang kemari mereka selalu bertanya apa kontribusi alumni terkait pengembangan prodi.

“Banyak dokumen yang dikarang yang melibatkan alumni di dalam dokumen itu, seakan-akan alumni punya kontribusi yang besar misalnya pada dokumen kurikulum dan dokumen visi misi. Nah hal tersebut terkait dengan kontribusi alumni yang tidak bisa dijawab makanya direalisasikan dalam bentuk sumbangan buku yang diwajibkan agar bisa digunakan secara berkelanjutan,” ungkap dia.

Dituturkan, pihaknya bekerja dalam sebuah sistem yang dinilai dibawah BAN PT dan inilah cara mereka menunjukan adanya partisipasi dari para alumni.

“Karena dalam visitasi, mereka meminta kepada kita agar setiap prodi punya ruang baca. Kalau itu jadi beban bagi mahasiswa ya disampaikan agar kita menurunkan nilainya atau kita hilangkan sama sekali,” tutur dia.

Dirinya juga mengimbau kepada para mahasiswa sebelum melakukan sesuatu yang sifatnya memperburuk citra lembaga atau institusi jangan dulu dipublikasikan datang dulu dan dikonfirmasi.

Pesan yang sama juga disampaikan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FISIP, Dr. Paulus Koritelu, S.Sos., M.Si., Ia mengatakan, setiap alumni harus punya rasa memiliki terhadap institusi ini. Ketika mahasiswa dihubungi pasti pikirnya ini pasti ke uang karena kondisi tidak bisa dipungkiri itulah kondisi obyektif saat ini.

“Faktanya pada kehidupan masyarakat saya kira terjadi tekanan-tekanan ekonomi yang luar biasa. Itu kondisi ekonomi yang kuat jangankan pungutan 50 ribu, fotocopy berapa lembar saja menjadi satu sungutan universal. Tapi sebagai institusi Katong berharap bandingan terhadap fondasi intelektual yang sudah diberikan harus dijawab minimal dengan tanggung jawab bersama untuk rasa ingin memiliki,” pungkas Paulus. (SSL).

  • Bagikan