Mengenang Sosok KH.Ahmad Bantan

  • Bagikan

Menyebut nama KH.Ahmad Bantan bagi sebagian warga muslim Kota Ambon tentu sudah akrab di telinga. Ia tidak lain almarhum Imam Besar Masjid Raya Al-Fatah Ambon.

Tidak ada catatan tentang KH.Ahmad Bantan — padahal dari penuturan sejarah almarhum termasuk salah satu sosok keturunan di Kota Ambon yang mengalir darah ulama dari kakek mereka yang berdarah Cina yakni H.Tan Tji Kian. Pun dari garis keturunan perempuan dari seorang ulama asal Banten yakni H.Muhammad Ali Bantam.

KH.Ahmad Bantan adalah tokoh agama yang separoh hidupnya telah menghabiskan waktunya untuk mengajar ilmu agama, berdakwah, juga menjadi imam di masjid kebanggaan muslim Kota Ambon itu.

Saya tadinya membuka dokumen dan menemukan gambar almarhum KH.Ahmad Bantan yang wafat di Jakarta 16 tahun silam.

Semasa hidup, saya memang mengenal baik dan menjadi bagian dari jamaah sang ulama yang dikenal teduh itu.

Itulah mendorong saya pada edisi Senin, (29/1/24), kali ini menurunkan tulisan ini dengan tema soal sosok KH.Ahmad Bantan. Untuk melengkapi ceritanya saya mengorek keterangan dari salah satu putera bungsu sang kiyai bernama H.Hamdani Bantan.

Pak Dani, begitu ia disapa, termasuk di antara putera almarhum Kiyai Ahmad Bantan, yang saya kenal. Selain putera beliau lainnya yakni H. Fauzi Bantan, dan Helmy Bantan.

Dari penuturan Hamdani Bantan, pegawai pada Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Maluku inilah mengalir cerita keluarga Bantan di Ambon.

Keluarga Bantan termasuk keluarga religius mewarisi datuk mereka sebagai penyiar agama di Maluku sejak ratusan tahun lalu yang berasal dari Banten.

“Datuk dari garis keturunan kami itu datang dari Banten, Pulau Jawa, dan berdakwah serta mengajarkan Al-Quran di Ambon dan pelosok-pelosok kampung di Maluku,” ujarnya.

Dari catatan sejarah, jauh sebelum Indonesia merdeka ketika menghadapi penjajah banyak tokoh dan pemuka agama serta ulama di bawah kesultanan di Pulau Jawa maupun di Sumatera diasingkan oleh Belanda ke berbagai tempat di Tanah Air.

Satu di antaranya yang diisolasi dari Banten yakni moyang mereka bermarga Bantam yaitu H.Muhammad Ali Bantam. Ia diasingkan ke Maluku yakni di Pulau Ambon tepatnya di Desa Wakasihu.

Meski di bawah pengawasan ketat penjajah dakwah dan pengajaran Al-Quran oleh datuk mereka tetap berjalan hingga ke pelosok desa.

Hubungan kekerabatan mereka itu kemudian berlanjut sampai ke perkawinan dan melanjutkan keturunan mereka hingga kini.

Di Kota Ambon memang dijumpai banyak marga dengan identitas kedaerahan. Selain keluarga Bantam yang berasal dari Banten ada pula marga Padang, Semarang, Minangkabau, Liem dll.

Moyang perempuan dari keluarga KH.Ahmad Bantan bernama Haji Nur bermarga Polpoke adalah berdarah Wakasihu sebuah kampung di sebelah barat Pulau Ambon.

“Adapun kakek laki-laki berasal dari Banten bermarga Bantam tidak lain bernama Haji Muhammad Ali Bantam,” ujarnya.

KH.Ahmad Bantan kecil telah dipelihara oleh kakek Haji Muhammad Ali di Wakasihu. Bahkan hingga berusia 10 tahun KH.Ahmad Bantan bersama sang kakak H.Yahya Tan berhasil dikirim oleh kakek mereka dari Ambon ke Kota Makkah untuk belajar agama di sana.

Jika nenek dari moyang perempuannya berdarah Wakasihu maka ayah dari KH.Ahmad Bantan adalah keturunan muslim Ambon berdarah Cina bermarga Tan namanya Hi. Abdulrazak Tan. Ia tidak lain adalah cicit dari Hi Tan Tji Kian.

Jadi, KH.Ahmad Bantan tidak menggunakan marga Bantam tapi memakai akronim Bantan.

Bantan di sini merupakan gabungan dari persenofikasi dua marga. “Yakni Bantam dan Tan,” ujarnya.

Mengapa harus Bantan?

Kalau dari penuturan almarhum ayahnya KH.Ahmad Bantan memilih menggunakan kata Bantan agar tidak hilang identitas kedua marga: Bantam dan Tan. Maklum kedua marga ini telah lama melekat dalam silsilah keturunan mereka.

Lagian bila dilihat dari garis keturunan KH.Ahmad Bantan terputus karena mengikuti jalur ibu bermarga Bantam, sebaliknya ayah KH.Ahmad Bantan merupakan garis keturunan dari jalur laki-laki mengikuti marga Tan.

“Itulah mengapa agar tidak kehilangan identitas kedua marga ini maka ayah saya menggabungkan kata Bantam dan Tan menjadi Bantan. Bukan Bantam,” ujarnya.

Dalam sejarah, marga Tan merupakan representasi dari keturunan Cina dan sebagai bukti bahwa jauh sebelumnya telah melekat nan panjang moyang muslim mereka datang dari daratan Cina ke Kota Ambon.

Garis keturunan Tan di kota ini termasuk generasi kedelapan yang telah beranak pinak sejak zaman Jalur Sutra. Jadi moyang dari keturunan mereka ini dulu sudah beragama Islam setelah mereka belajar ke Makkah kemudian berdagang dan berdakwah hingga ke Ambon.

Kedatangan mubaliq Cina ke Maluku ini bukan langsung dari daratan Negeri Tirai Bambu itu, tapi lebih dulu mereka ke Makkah belajar agama di sana barulah kemudian mereka berlayar ke belahan timur mengikuti Jalur Sutra yakni berdagang dan berdakwah.

“Jadi sambil berdagang keramik, minyak wangi, dan berdakwah, mereka ini juga membeli hasil bumi di Ambon. Kemudian mereka kembali ke Cina dan Arab membawa hasil bumi untuk didagangkan di sana,” ujarnya.

Marga Tan sendiri banyak tersebar di Ambon di Provinsi Maluku dan di Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara.

KH.Ahmad Bantan sehari-hari lebih dikenal sebagai guru yang mengajarkan ilmu agama dan bacaan Al-Quran ketimbang sebagai dai.

Metode pengajaran yang dipakai lebih banyak berlangsung tatap muka dalam mentransfer ilmu sehingga ada timbal balik dengan jamaah saat menyampaikan ilmunya. Sebuah metode pembelajaran lama yang telah dilakukan oleh para leluhur mereka.

“Metode pengajaran agama semacam ini dilakukan tidak saja dari rumah ke rumah, tapi dari kampung ke kampung. Bahkan sampai ke pulau-pulau di Maluku,” ujarnya.

Untuk mengabadikan jasa dan nama besar orang tua mereka ini oleh Pemkot Ambon telah mengabadikan sebuah nama jalan di Kawasan IAIN Ambon dengan nama Jl.KH.Ahmad Bantan.

Selain KH. Ahmad Bantan di kawasan ini juga ada nama jalan salah satu tokoh dan ulama terkemuka Ambon asal Wakatobi, Pulau Buton yakni KH.Asyarie bernama Jl. KH. Asyarie di Kawasan Batumerah, itu.

“Sebagai putera beliau, kami tentu merasa bangga atas pemberian nama orang tua kami oleh Pemkot Ambon sebagai nama jalan di Kota Ambon,” ujar putera pertama KH.Ahmad Bantan yakni H.Fauzi Bantan.

Dari hasil perkawinan KH.Ahmad Bantan bersama wanita Ambon keturunan Sibolga, Sumatera Utara bernama Hajjah Nurhija Wiwik dikaruniai 10 orang anak. Mereka adalah H.Fauzi, Bakri, Ikhsan, Fahrudin, Ma’sunah, Rifai, Zaenal, Syufiati, Helmy, dan Hamdani.

KH.Ahmad Bantan yang lahir di Ambon pada 1914 itu telah berpulang di usia 94 tahun pada 2008 lalu di Jakarta dan dikebumikan di Cilegon, Banten, tempat kampung asal moyang mereka.

Ulama dan Imam Besar Masjid Raya Al-Fatah Ambon ini telah berjasa dalam pengembangan pendidikan agama dan dakwah di Maluku.

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, kepada anak perempuannya bernama Ma’sunah almarhum telah mewasiatkan bila tiba saatnya ajal menjemput agar mayatnya tidak dimakamkan di Ambon tapi di Desa Cibeber, Cilegon, Serang, Banten.

“Ayah saya telah berwasiat agar ayah kami dimakamkan berdekatan dengan kuburan almarhum kakek beliau Hi.Muhammad Ali Bantam, dan ayahnya Haji Abdulrazak Tan berikut ibunda Hajjah Nur Bantan di Pekuburan Desa Cibeber, Banten,” ujarnya.

Almarhum KH.Ahmad Bantan tidak melupakan jasa Kakek Haji Muhammad Ali Bantam, sosok yang telah berjasa besar selama hidupnya karena telah mengirimkannya menuntut ilmu agama di Kota Makkah itu.

Ada dua sosok Imam Besar Mesjid Raya Al-Fatah Ambon yang membuat saya selalu terkenang saat mereka membaca doa qunut Subuh yang panjang dan menyentuh itu yakni KH.Ahmad Bantan dan KH.Ali Fauzi Abdul Djabar Liem.

Seperti biasanya, sejak 25 tahun lalu setelah menyelesaikan pekerjaan mengedit berita — sebelum pulang ke rumah saya selalu memilih salat subuh di Mesjid Raya Al-Fatah.

Setelah merebahkan badan di kantor sejenak sambil menunggu tiba salat subuh saya pun beranjak ke mesjid.

Membaca qunut nan panjang diikuti oleh sujud sajadah di hari Jumat subuh itu sudah menjadi kebiasaan yang dibawakan kedua imam besar itu.

Sayang, lantunan khas sang imam ini sudah tidak lagi terdengar setelah keduanya dipanggil oleh Sang Khalik.(*)

  • Bagikan