Agama dan Radikalisme

  • Bagikan

Nilai-nilai agama yang sifatnya transendental dan sakral bisa saja dibawa ke tepi jurang oleh mereka yang merasa tersingkir atau termarginalkan. Agama yang tadinya transedental bisa menjadi tidak sakral (suci) bila dipakai dan dicampur aduk oleh sebuah gerakan yang berafiliasi pada tindakan radikalisme dengan menggunakan ukuran sosial dan politik pada hal-hal yang sifatnya profan.

Jadi agama itu tidak saja fokus pada teori saja, tapi ia adalah seperangkat ajaran moral yang menafsirkan dua hal terkait hubungan manusia dengan Tuhan (transedental) dan hubungan antarmanusia (imanen).

Pendapat itu saya kutip dari dialog “Dudu Bacarita Deng Habib’s” bertema: Agama, Politik dan Radikalisme yang disampaikan Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Anti Teror Polri Irjen Pol Marthinus Hukom, S.IK, M.Si, di El’house Cafe, Ambon, Sabtu, (4/11/23).

Selain Jenderal Hukom juga ada pembicara lain yakni Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia DR. M. Najih Arromadloni, dan Direktur Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) yang juga mantan Ketua Sinode GPM Prof DR.John Chr Ruhulesin, M.Si.

Jenderal Hukom beranggapan bahwa nilai-nilai agama yang sakral bisa berada di tepi jurang karena telah ditafsirkan atau dipersepsi oleh mereka yang merasa termarginalkan dan tersingkir.

Mereka ini kemudian menggunakan pendekatan berkaitan dengan primordialisme, suku, agama, dan identitas-identitas kelompok lainnya sebagai ajang perjuangan ke dalam kepentingan politik.

Jenderal Hukom saat ini termasuk satu di antara perwira tinggi Polri asal Maluku yang memiliki prestasi membanggakan.

Lelaki kelahiran Desa Ameth, Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, 30 Januari 1969 ini dikenal sebagai seorang polisi yang berpengalaman di bidang reserse.

Lulusan terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) 1991 ini sejak 1 Mei 2020 dipercaya menempati posisi penting sebagai Kadensus 88 Anti Teror Polri memiliki karakter berjiwa tenang.

Dari penampilan saat diberi kesempatan menyampaikan materi oleh sang moderator yang juga tidak lain adalah penyelenggara acara Habib Rifqi Alhamid, S.Kom, Jenderal Hukom tampil dengan adem.

Jika di kalangan TNI di Maluku dulu kita punya Jenderal Karel Alberth Ralahalu yang mantan gubernur Maluku dua periode itu selalu tampil bersahaja, pun Jenderal Marthinus Hukom penampilannya sama.

Namun dari materi yang disampaikan malam itu, ia bukan sekadar aparat kepolisian yang bertanggungjawab soal keamanan negara tapi ia juga adalah seorang pembelajar.

Itu bisa terbaca dari cara jenderal yang satu ini saat membedah soal peran agama dan dampaknya terkait politik dan radikalisme.

Salah satu buku yang dibacanya itu karya Yoshihiro Francis Fukuyama ilmuwan politik, dan ekonom politik.

Melalui bukunya The End of History and the Last Man (1992), penulis buku yang berasal dari Amerika Serikat ini berpendapat soal bangkitnya gerakan neokonservatisme.

Pendapat Fukuyama ini terkait penyebaran demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas barat beserta gaya hidupnya ke seluruh dunia. Berikut kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan dari ekonomi. Fenomena ini menandakan titik akhir evolusi sosial-budaya umat manusia.

Mengutip banyaknya referensi buku yang dibacanya, berikut pengalamannya yang sudah enam kali mengunjungi Palestina — negara yang kini sedang dilanda prahara perang melawan Israel itu — membuktikan kemampuan dan pengalamannya sebagai Kadensus 88 tidak diragukan.

“Di Palestina tepatnya di Kota Betlehem saya dua kali berjumpa walikotanya yang perempuan. Kota Betlehem ini unik. Walikotanya Kristen padahal penduduknya 70 persen mayoritas muslim. Sisanya 30 persen Kristen,” ujarnya.

Saat ini munculnya fundamentalisme yakni sebuah gerakan agama yang dimunculkan kembali tidak lepas akibat dari tafsir atas teori atau doktrin masa lalu yang ingin kembali dihidupkan.

Ada bahaya yang bisa terjadi manakala idiom-idiom masa lalu ingin dihidupkan tapi saat yang sama kita telah menghadapi situasi dan perkembagan kehidupan dunia yang telah berubah.

Ketika klaim pemahaman itu dimunculkan sebagai sebuah kebenaran mutlak dan saat yang sama ketika dibawa ke ruang-ruang publik tentu itu berbahaya.

Klaim fundamentalisme atau gerakan puritanisme merupakan sebuah bentuk pemahaman sekelompok orang yang ingin kembali pada peradaban masa lalu untuk diaplikasikan ke masa sekarang.

Saat keinginan itu hendak diwujudkan tentu akan bertabrakan dengan tatanan-tatanan sosial. Saat itulah terjadi gesekan.

Indonesia sebagai sebuah tatanan berbangsa yang bernaung di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu sudah merupakan wujud akhir dari sebuah kesepakatan dari tatanan bernegara kita yang berdaulat.

Radikalisme sendiri muncul selain karena persoalan pemahaman kita terhadap nilai-nilai agama tidak sejalan dengan fakta, juga akibat cara pandang kita atas persoalan sakralitas yang sifatnya transedental itu kerap digiring ke ranah publik untuk menghegemoni orang lain.

Manusia, kata Jenderal Hukom, pada hakikatnya punya tiga elemen jiwa. Yakni pertama punya keinginan untuk menjadi superior, dan kedua punya hegemoni dengan orang lain.

“Dan, ketika kita menjadi seorang yang superior, dan punya hegemoni maka saat yang sama kita juga bisa memilih sikap untuk menghegemoni orang lain. Itulah sifat manusia,” ujarnya.

Mengutip Said Agil Siradj, kata Jenderal Hukom, konsep radikalisme oleh sebagian orang tidak lepas karena cara berpikir mereka yang kaku terhadap agamanya dan memandang agama lain secara eksklusif.

“Ketika mereka tidak punya pemahaman kemudian mempertentangkan dengan agama lain ke ruang publik ini tentu berbahaya,” ujarnya.

Dalam konteks politik, sepanjang syarat formal terpenuhi maka tidak perlu ada namanya politik identitas.

Kita perlu belajar dari Inggris. Di sana Perdana Menteri (PM) adalah seorang Hindu. Wakil PM Kristen. Walikota Inggris justeru muslim. Padahal di sana pengaruh gereja sangat kuat.

“Pun di Libanon sama. Dipimpin Muslim Sunni dan Kristen Maronit. Ketua parlemennya justeru Muslim Syiah,” ujarnya.

Tak bisa dipungkiri dalam konteks bernegara ada namanya identitas parsial. Yakni kehidupan berbangsa yang terdiri atas kesepakatan-kesepakatan untuk memperluas wilayah kekusaaan.

Untuk kepentingan itu mereka membangun identitas. Dalam konteks perjuangan itu telah dilakukan pada masa lalu hingga melahirkan kesepakatan melampaui batas-batas etnisitas.

Bagaimana dengan Indonesia? Tatanan politik berbangsa yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini, meminjam istilah Prof DR John Chr Ruhulesin, bukan politik identitas tapi politik integrasi atas semangat nasionalisme.

“Kalau nasionalisme itu tentu bagus. Yang berbahaya kalau integrasi parsial. Selalu merasa unggul,” ujarnya.

Lalu bagaimana dampak berkembangnya perang Palestina-Israel saat ini di Indonesia terhadap munculnya sel-sel tidur yang berafiliasi pada gerakan terorisme sebagaimana yang disinyalir Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo?

Terorisme itu, kata Jenderal Hukom, ibarat makhluk hidup. Ia berkembang dan bertumbuh. Untuk tumbuh dan berkembang membutuhkan asupan. Asupan di sisi bisa terkait ideologi, finansial, rekrutmen, organisasi, pembentukan cabang-cabang dan lingkungan.

Di mata Jenderal Hukom, isu global saat ini selain perang Ukraina dan konflik Laut Cina Selatan kita juga sedang diperhadapkan oleh Perang Palestina vs Israel.

Jadi, saat ini tidak ada tindakan radikalisme yang mengkristal dan tidak ada pula realitas kelompok radikalisme yang bisa berkembang kecuali ada asupan.

Itu teorinya kalau terorisme atau radikalisme berkembang. Selain asupan juga dipengaruhi oleh faktor stabilitas politik suatu negara.

Karena itu bila suatu negara tidak stabil baik dalam konteks nasional dan global akan selalu diikuti oleh bangkitnya sel-sel tidur yang berafiliasi pada gerakan terorisme dan radikalisme.(*)

  • Bagikan