Demokrasi Ukrania

  • Bagikan

Dalam suatu diskusi lepas bersama mantan Diplomat AS di Ukrania Jett Thomason pernah mengingatkan bahwa hanya dengan menyiapkan masyarakat sipil yang kuat, pers yang tangguh dan pemerintahan yang kapabel kita bisa membangun demokrasi yang sehat.

Pernyataan itu pernah ia sampaikan kepada saya delapan tahun lalu saat ia berkunjung ke Ambon. Malam itu saya memang diundang menikmati makan malam bersama Jett Thomason di Restoran New Ratu Gurih, Kawasan Urimessing, Ambon, (11/8/15).

Sambil menikmati hidangan khas, kami pun berdiskusi soal demokrasi, civil society, dan ancaman konflik termasuk yang dialami rakyat Ukrania.

Dia melihat akibat konflik kondisi masyarakat di Ukrania Timur dan Ukrania Barat serba sulit. Negara bekas pecahan Uni Soviet tersebut terus dilanda pertikaian membuat penduduk mereka cenderung menurun, sebab populasi masyarakat banyak yang memilih hengkang dari Ukraina.

Terbaru kita sama mengetahui perang dua negara di Eropa yakni Rusia vs Ukrania Februari 2022 lalu membuat suasana di negara itu semakin kacau.

Itu semua bermula ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer khusus di negara tetangganya Ukraina.

Putin ingin demiliterisasi yakni pengurangan tentara, senjata, atau kendaraan militer ke Ukrania dari batas minimum yang telah disepakati untuk menghindari perang atau konflik besar.

Di sisi lain, Putin juga ingin melakukan apa yang disebut dengan denazifikasi Ukraina untuk melindungi orang-orang yang telah menjadi sasaran genosida dari rezim Kyiv di negara tetangganya itu.

Denazifikasi juga berarti bahwa Rusia ingin membebaskan Ukraina dari paham neonazi, pendukung mereka, dan ideologi mereka.

Sayang, peringatan Putin atas campur tangan Barat yang telah mengambil alih Ukraina dan diduga memilih mengabaikan pelanggaran HAM oleh rezim Ukrania setelah kudeta yang didukung Barat pada 2014 lalu tidak dihiraukan. Sejak itulah konflik kedua negara pun memanas hingga saat ini.

Konflik Ukrania ini telah membuat pendapatan perkapita masyarakat di sana anjlok, pemerintahan tidak stabil, dan korupsi merajalela. Juga tidak ada investasi yang masuk.

Ia pun balik bertanya, apa yang diharapkan dari kondisi negara semacam itu bila konflik tidak kunjung selesai?

Perjalanan demokrasi ternyata masih membutuhkan waktu yang panjang. Dan untuk menjadi sebuah negara yang demokratis haruslah melalui proses dan kerja keras semua elemen baik masyarakat, parlemen dan pemerintahan.

Belajar dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu negara demokrasi tertua di dunia hingga saat ini toh masih terus berproses. Dan, untuk menuju ke arah menjadi negara demokratis salah satu cara terbaik adalah kita harus menyiapkan civil society yang kuat, pers yang tangguh, dan pemerintahan yang kapabel.

Ia melihat dengan menyiapkan masyarakat sipil yang kuat, pers yang tangguh dan pemerintahan yang stabil kita bisa membangun demokrasi yang sehat.

Saat kunjungannya ke Ambon mantan diplomat di Ukraina ini baru saja dua bulan menempati pos baru sebagai Staf Politik dan Ekonomi Konsulat Amerika Serikat di Surabaya. Dari Jakarta ia ke Kota Manise melihat perkembangan terakhir kota ini pasca konflik komunal.

Pernyataan Jett Thomason seolah mengingatkan kita untuk menghindari konflik kekerasan. Selain berujung perpecahan, konflik juga membuat masa depan suatu negara dan daerah menjadi suram.

Dengan menumbuhkan proses demokrasisasi secara fair kita bisa saling menghargai dan memahami. Sebaliknya, bila yang terjadi adalah pertikaian maka masyarakat atau negara tak bisa berkembang dan menatap kehidupan yang lebih baik.

Di AS sendiri meski dikenal sebagai negara dengan civil society yang tangguh tidak berarti tidak terjadi dinamika dalam demokrasi. Antara Partai Demokrat dan Partai Republik saja kita melihat ada perbedaan tajam dalam menentukan sosok seorang calon presiden wanita.

“Hari ini Partai Demokrat boleh saja mengajukan calon presiden wanita Hillary Clinton, tapi apakah Partai Republik setuju. Kan belum tentu,” ujarnya.

Tapi sehebat-hebatnya AS dalam demokrasi, masih kalah jauh dengan Indonesia. Indonesia pernah punya presiden perempuan yakni Megawati Soekarnoputri. “AS sendiri belum pernah punya presiden wanita,” ujar Diplomat AS, itu.

Dia mengatakan dalam proses demokrasi yang harus kita hindari adalah benturan kepentingan sehingga menimbulkan gesekan dan berujung konflik di masyarakat. Konflik, kata dia, hanya menyisahkan persoalan yang pada akhirnya menyengsarakan masyarakat.

Terkait kondisi Provinsi Maluku dari informasi yang diperoleh ia mengakui sudah jauh lebih baik, meski kerap terjadi konflik antarkampung karena persoalan batas tanah dsbnya. Namun sekecil apapun konflik hal itu jangan dibiarkan.

Pemerintah dan aparat kemanan harus proaktif menyelesaikan setiap konflik apapun bentuknya sehingga tidak menjadi ancaman.

Termasuk menghadapi politik lokal pemilihan kepala daerah semua potensi konflik harus dilokalisir, jangan biarkan sehingga mengundang benturan di masyarakat.

Ia mengakui saat ini kondisi kehidupan sosial masyarakat di daerah ini sudah jauh lebih baik. Ini yang harus kita perkuat. Peran-peran masyarakat sipil harus terus diberdayakan oleh pemerintah.

Belajar dari kondisi dan konflik sosial di Ukrania sebagaimana yang digambarkan mantan Diplomat Amerika Serikat di Ukrania Jett Thomason itu, kita dapat menyimpulkan bahwa hanya dengan pemerintahan yang kuat, pers yang kritis serta masyarakat sipil yang kuat kita bisa membangun demokrasi yang sehat.(*)

  • Bagikan