PH: Surat Dakwaan Batal Demi Hukum

  • Bagikan
Business concept illustration of a businessman being pointed by giant fingers

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Terdakwa Hendra Anggrek melalui Penasehat Hukumnya (PH) Nico Poltak Sihombing, SH., MH dan Philipus H. Sitepu, SH., MH dari Kantor Hukum Hotma Sitompoel & Associates, menegaskan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Aru, harus batal demi hukum atau tidak dapat diterima.

Sebab, perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Puskesmas Ngaibor pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru tahun anggaran 2018, bukanlah merupakan perkara tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JPU, melainkan ini adalah perkara perdata.

“Ini perkara perdata yang dipaksakan menjadi perkara pidana. Karena duduknya terdakwa sebagai pesakitan di dalam persidangan ini justru bermula dari hubungan hukum keperdataan yang diawali dengan perjanjian,” tegas PH Philipus H. Sitepu, SH., MH, saat membacakan Nota Keberatan atau Eksepsi atas dakwaan JPU, di Pengadilan Tipikor Ambon, Jumat, 6 Januari 2023.

Menurut Sitepu, dikatakan perkara perdata karena terdakwa merupakan kuasa Direktur PT. Erloom Anugerah Jaya. Di mana, antara terdakwa dengan Rul Barjah, S.H bersepakat secara perdata menandatangani surat perjanjian Nomor: 447/06/SP-NGAIBOR- KONS/PPK-DINKES/2018 tanggal 6 Juli 2018 tentang Pembangunan Puskesmas Ngaibor.

“Berdasarkan hal tersebut, hubungan hukum yang terjadi seluruhnya di awali dengan perjanjian. Lalu dimana pidananya?? Sangat jelas Ini perkara perdata yang diawali dengan perjanjian. Sehingga, menurut hemat kami bahwa JPU telah salah kaprah dalam mencampuradukan pidana dan perdata,” kata Sitepu.

Selain itu, di dalam uraian dakwaan JPU menjelaskan adanya pemeriksaan Ahli Hendrik Joudi Palar ST, yang telah melakukan pemeriksaan fisik menyatakan adanya kekurangan mutu beton pada bangunan Puskesmas Ngaibor. Padahal, JPU sebelumnya juga sudah pernah memeriksa Ahli dari Politeknik Negeri Ambon bernama Willem Gaspersz, SST., MT, yang dalam kesimpulannya menyatakan bangunan telah sesuai dengan rencana dan kontrak.

“Karena JPU sangat berniat untuk menjadikan permasalahan Ini sebagai perkara Tipikor, sehingga mencari ahli yang baru agar bisa memaksakan perkara ini menjadi Tipikor,” kata Sitepu.

Dia menjelaskan, surat dakwaan JPU harus dibatalkan demi hukum juga karena pada saat surat dakwaan dibacakan, terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukumnya. Padahal, dalam KUHAP Pasal 54 dan Pasal 56, terdakwa wajib didampingi oleh penasehat hukumnya pada setiap tingkat pemeriksaan.

Fatalnya, sejak awal JPU sudah mengetahui terdakwa memiliki penasihat hukum mulai dari proses penyidikan, namun faktanya JPU tetap memaksakan dan bahkan meminta kepada majelis hakim agar terdakwa tetap disidangkan tanpa didampingi penasihat hukum serta menyatakan bahwa persidangan harus tetap dilanjutkan pada 20 Desember 2022.

“Padahal sebelum persidangan dimulai, terdakwa telah menyatakan keberatan melalui surat nomor:131/MT/XII/2022 tertanggal 20 Desember 2022 kepada JPU yang pada pokoknya meminta agar persidangan tidak dilanjutkan karena terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum dan pemberitahuan panggilan sidang yang tidak patut,” jelasnya.

Surat dakwaan JPU harus dibatalkan demi hukum juga karena terdakwa tidak diberitahu secara patut terkait pelaksanaan sidang pada 20 Desember 2022.
Di mana, pada 19 Desember 2022, pihak JPU memberitahukan secara lisan kepada terdakwa bahwa persidangan akan dilaksanakan pada 20 Desember 2022 pukul 10.00 Wit.

Padahal terdakwa sama sekali tidak pernah menerima surat panggilan untuk menghadiri sidang dengan pemberitahuan secara patut dan sah sebagaimana yang diatur oleh KUHAP. Bahwa pada 20 Desember 2022 bertepatan dengan hari pelaksanaan sidang, JPU baru menyerahkan surat panggilan sidang kepada petugas penjaga rumah tahanan dan membawa terdakwa dari rumah tahanan untuk dibawa ke Kejari Kepulauan Aru guna disidangkan.

“Terdakwa dipaksa oleh JPU untuk mengikuti persidangan, padahal pada saat bersamaan terdakwa baru diberitahu pelaksanaan sidang dan pemberitahuan pelaksanaan jadwal sidang tersebut tanpa pemberitahuan yang patut/sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 227 ayat (1) dan (2) KUHAP,” beber Sitepu.

Dikatakan Sitepu, surat dakwaan JPU juga harus dibatalkan demi hukum karena pada saat perkara a quo dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tidak diberikan turunan berkas perkara lengkap sebagaimana yang di atur dalam Pasal 143 dan Pasal 72 KUHAP.
Padahal, penasihat hukum sudah mengajukan surat permohonan turunan berkas perkara lengkap dan surat dakwaan secara resmi ke Kejari Kepulauan Aru pada 13 Desember 2022, namun diabaikan.

“Mengapa JPU menolak memberikan turunan berkas perkara lengkap yang merupakan hak terdakwa. Ada apa dengan Berkas Perkara sehingga tidak diberikan?? Tindakan JPU yang tidak mau memberikan turunan berkas perkara lengkap kepada terdakwa atau penasihat hukumnya merupakan pelanggaran hukum serius,” tandasnya.

“Berbeda dengan kami, kami tanpa diminta pun kamu menyerahkan nota keberatan kami baik secara soft copy maupun hard copy karena kami tahu itu adalah hak dari Kejaksaan,” ujar Sitepu

“Kami mengapresiasi Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Quo karena hari ini permohonan berkas kami berikan kepada majelis hakim, hari ini juga berkas perkara lengkap diberikan oleh pengadilan. Seharusnya sejak dari kejaksaan sudah di berikan. Karena adalah hal dari Terdakwa,” sambungnya.

Surat dakwaan JPU, lanjut Sitepu, harus dibatalkan demi hukum juga karena JPU tidak cermat dalam menjelaskan peran terdakwa dan kualifikasinya dalam perkara a quo. Dimana, di dalam uraian dakwaannya JPU menyatakan terdakwa sebagai penyedia tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam kontrak.
Padahal terdakwa bukan sebagai Direktur PT. Erloom Anugerah Jaya, melainkan hanya selaku kuasa direktur. Sehingga menurut hukum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

“Lalu dalam uraian dakwaan JPU bahwa terdakwa telah menerima pembayaran atas item pekerjaan, sementara yang menerima pembayaran adalah PT. Erloom Anugerah Jaya dan PT. Erloom Anugerah Jaya yang menggunakan pembayaran tersebut untuk biaya pembangunan, bukan terdakwa secara pribadi,” katanya.

“Kemudian menurut JPU terdakwa sebagai penyedia tidak melaksanakan kewajiban, padahal yang menjadi pihak dalam kontrak adalah PT. Erloom Anugrah Jaya, bukan terdakwa. Sehingga JPU tidak cermat dalam mengartikan perbedaan Perseorangan dengan Perseroan,” tambah Sitepu.

“Seharusnya yang bisa mendeklarasikan kerugian keuangan negara adalah BPK berdasarkan SEMA NO 4 tahun 2016, tetapi dalam hal ini Kejaksaan tidak menggunakan BPK dalam menyatakan kerugian keuangan negara” lanjut Nico pula.

Sitepu berharap, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon yang memeriksa dan mengadili perkara ini, agar dapat menerima Nota Keberatan yang diajukan penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya.

“Dan memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari rumah tahanan negara serta memulihkan dan merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat terdakwa,” harapnya.

Usai mendengar pembacaan Nota Keberatan atau Eksepsi dari PH terdakwa, Ketua Majelis Hakim, Wilson Shriver, didampingi dua hakim anggota, Agustina Lamabelawa dan Antonius Sampe Sammine, kemudian menunda persidangan hingga Selasa, 10 Januari 2023, dengan agenda sidang mendengar tanggapan dari JPU atas eksepsi tersebut. (RIO)

  • Bagikan