Sam Abede, Wartawan yang Mahaguru

  • Bagikan

Buku berjudul: Tiada Hari Tanpa Menulis Sebuah Otobiografi yang memuat sosok seorang tokoh bernama H.Sam Abede Pareno termasuk satu di antara kisah orang Maluku yang terbilang langka.

Membaca buku ini setidaknya mengingatkan kita pada sebuah ungkapan dari seorang tokoh penggerak kemerdekaan Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang menyebutkan:

“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan, dan bila Anda ingin seperti orator maka bicaralah.”

Begitulah yang dikatakan Haji Oemar Said sang “Raja Jawa Tanpa Mahkota” (De Ongekroonde van Java), sosok yang merupakan orang pertama meneriakkan Indonesia merdeka yang sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda itu.

Dan, melalui tulisan kita tentu bisa mengenal lebih dekat sosok seseorang. Tanpa kecuali yang ditulis dalam buku seorang mantan wartawan dan budayawan kelahiran Ambon, 7 Agustus 1948, berjudul: Tiada Hari Tanpa Menulis, karya Pak Sam Abede ini kita bisa mempelajari perjalanan hidupnya.

Meski telah wafat setahun lalu di Surabaya bekas wartawan Jawa Pos dan mantan Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) termasuk sedikit di antara tokoh Maluku yang punya dua reputasi sekaligus: wartawan dan guru besar bergelar Prof, Dr, MBA, dan MM.

Nama Pak Sam Abede di Kota Surabaya sudah populer. Baik sebagai tokoh teater, film, sinetron, sastra, maupun sebagai wartawan di Jawa Timur.

Buku ini tadinya dikirim oleh seorang teman saya dari Kota Sanana, Provinsi Maluku Utara bernama Umi Zuleha “Lea” Valhum. Lea adalah teman baik ketika dulu pernah bersama saya bergabung di Surat Kabar Suara Maluku tahun 1993.

Ia mengirimkan buku Prof Sam Abede terbitan Cakra Daya Sakti, Surabaya, Agustus 2007, ini melalui kapal laut setelah dia membaca status saya di fb setahun lalu yang berkabar tentang kepergian Prof Sam Abede.

Ia menyampaikan kalau dia punya buku otobiografi terkait sosok bernama lengkap Hasan Abdullah keturunan Desa Luhu yang wafat dalam usia 74 tahun, 30 April 2022, lalu, itu.

Tentang Pak Sam Abede sebelumnya saya juga pernah menulis di rubrik yang sama (Lihat Monday: Ketika Mesin Tak Beragama, 4 Mei 2020).

Saat memimpin Suara Maluku Pak Sam Abede kerab menjadi sorotan penguasa kala itu. Semua gara-gara berita yang sering mengkritik pemerintah membuat hubungan antara surat kabar grup JPNN ini dengan pejabat daerah sempat tidak harmonis karena dicap antikebijakan.

Hubungan Gubernur Maluku Akib Latuconsina dengan koran yang saat itu dipimpin Sam Abede Pareno sempat tidak langgeng.

Pak Akib pun secara resmi mengirim surat kepada Pak Dahlan Iskan meminta agar wartawan senior Jawa Pos itu ditarik dari Ambon.

Prof Sam Abede dulu pernah membesarkan koran ini –tempat dimana sahabat Lea dan saya– juga pernah menjadi bagian di dalamnya.

Pak Sam Abede tentu bukan orang baru. Saat itu akhir tahun 1993 almarhum oleh CEO JPNN Dahlan Iskan dan Kepala Pengembangan JPNN H.M.Alwi Hamu ditugaskan ke Ambon untuk bergabung bersama rekan-rekannya mengembangkan koran ini.

Buku setebal 316 halaman ini berkisah secara lengkap profil seorang jurnalis yang telah berjasa membesarkan wartawan dan seniman di sejumlah kota baik di Surabaya juga di Kota Ambon.

Meski tidak lama bertugas di Ambon Pak Sam –begitu kami selalu menyapanya– ia telah melakukan banyak hal. Tak heran begitu kabar duka tersebar, Sabtu, itu banyak rekan dan sahabat ikut merasa kehilangan.

Tanpa kecuali mereka yang dulu menjadi bagian dari bekas anak buahnya baik di Surabaya juga di Ambon ikut merasakan duka-cita yang mendalam.

Semenjak bertugas di Kota Manise beberapa gebrakan –untuk menggenjot oplah korannya itu– ia lakukan. Termasuk memperbaiki penataan managemen dan redaksional.

Tradisi redaksional di Jawa Pos yang dikenal antikemapanan coba ia lakukan. Termasuk mengubah etos kerja dan ketaatan pada jadwal deadline.

Mereka yang tak mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya antara lain datang ke kantor lebih tempo dan mengikuti jadwal rapat redaksi secara rutin tentu akan merasa terganggu dengan ritme kerja yang dibawa sang guru besar itu.

Tidak saja itu. Ia juga mengubah rubrikasi Koran Suara Maluku yang dinilai monoton ia ganti. Misalnya Rubrik Katong Bastori. Jika di Jawa Pos ada namanya Wawancara Hari Ini maka di Suara Maluku ia ubah dengan nama Katong Bastori.

Ada juga rubrik namanya Dong deng Dong yang memuat tentang beragam tanggapan tentang masalah sosial, politik, dan budaya dll.

Juga isu-isunya terkait masalah lokal yang dinasionalkan. Atau sebaliknya, isu nasional yang dilokalkan. Narasumbernya bisa macam-macam. Ada akademisi, politisi, birokrat, pakar hukum, sejarawan, tokoh masyarakat, tokoh agama dll.

Satu lagi ada rubrik namanya Rempa-Rempa. Di kolom khusus tersebut pengasuhnya adalah beliau sendiri.

Tulisan khas kolom ini memiliki pangsa pasar tersendiri khususnya di kalangan politisi, akademisi, birokrat, tokoh masyarakat, tokoh agama dll.

Gaya penulisan kolom rasanya renyah. Mudah dibaca dan selalu aktual. Dengan sentuhan penulisan berbau sastra khas budayawan sesekali juga disuguhi bahasa-bahasa ilmiah populer.

Ia juga boleh dikata memiliki kemampuan khusus “menjual” isu menarik untuk menjadi berita utama atau headline di halaman depan koran. Isu-isu itu tentu bersifat hangat, aktual, terpercaya dan menjadi pembicaraan publik di Ambon.

Sebagai general manager dan kemampuan redaksional diikuti oleh kecakapan manajerial dengan latar belakang sebagai seorang magister managemen tentu menjadi kekuatan dalam mengembangkan bisnis surat kabar.

Namun gaya dan terobosannya itu tak lama karena ia harus kembali ditarik ke Surabaya. Semua itu tak lepas karena fenomena jurnalistik Jawa Pos yang dibawa Pak Sam Abede ini seolah melawan kemapanan di daerah.

Dari soal skandal politik, korupsi, dan nepotisme semua menjadi tema utama  untuk menjadikan surat kabar ini sebagai lokomotif dan pilihan utama dalam mengelola isu.

Itu pula yang membuat banyak laporan oleh mereka yang merasa terganggu hingga kemudian putera Desa Luhu yang mantan wartawan MBM Tempo Biro Surabaya itu harus kembali ke markasnya di Surabaya.

Setelah kembali ke Jawa Pos ia juga mengabdi sebagai seorang pengajar jurnalistik di almamaternya di Universitas Dr. Sutomo (Unitomo), Surabaya, hingga meraih guru besar.

Alasan ia memilih judul buku ini: Tiada Hari Tanpa Menulis, semata-mata untuk mengingatkan dirinya bahwa sejak di bangku Sekolah Dasar (kini SD, Sekolah Dasar) ia telah menjadi seorang penulis baik berupa puisi, cerpen, surat cinta, novel, juga pamflet, selebaran skenario teater/film/sinetron, buku pelajaran, berita (straight news), feature, investigative reporting, esei, artikel, jurnal, makalah, buku harian, dan sebagainya.

Aktivitas rutin sebagai penulis itulah merupakan “benang merah” dalam kehidupannya hingga kelak mengantarkan dirinya tidak saja menjadi seorang jurnalis dan seniman di Kota Pahlawan, tapi juga mengantarkan ia menjadi seorang mahaguru.

Bila kita mengkonstatir kembali ungkapan HOS Tjokroaminoto di awal tulisan di atas maka benar bahwa untuk mengenang perjalanan hidup seseorang hanya bisa diketahui dengan jalan membaca karyanya melalui tulisan.

Dan, buku berjudul: Tiada Hari Tanpa Menulis, Sebuah Otobiografi karya Prof Sam Abede ini tentu bisa menjadi kisah dan pengalaman hidup untuk anak-anak dan keturunannya, tentu. Tapi buku ini juga sekaligus menjadi pelajaran bagi murid-muridnya di sekolah, kampus, maupun aktivitas teater, film, sinetron, sastra, dan sosial politik.

Juga oleh mereka yang dulu pernah menjadi rekan atau yang pernah menjadi bagian dari teman kerja, buku ini tentu bisa menjadi catatan motivasi dan pengalaman hidup dari kisah seorang jurnalis dan juga mahaguru dari Desa Luhu, nun di Pulau Seram, Provinsi Maluku, itu.(*)

  • Bagikan