RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Malam baru saja memeluk langit Kota Ambon ketika satu per satu orang datang dengan langkah pelan dan wajah muram. Mereka bukan datang untuk sekadar berkumpul, tapi untuk mengenang, mendoakan, dan merayakan kehidupan yang telah pergi, Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki muda asal Bogor yang tak pernah kembali dari peluk Gunung Binaya.
Di dalam Balai Negeri Batu Merah, pada Kamis malam itu (21 Mei 2025), suara lantunan Yasin mengalun lembut, membelah hening dan menyatu dengan rintik gerimis yang turun perlahan dari langit. Tak ada hiruk-pikuk, yang ada hanya keheningan yang khusyuk, dan duka yang mengalir tenang bersama doa-doa yang dipanjatkan.
Ersa Samal, koordinator kegiatan malam itu, duduk di hadapan hadirin yang duduk bersila. Suaranya tenang, namun sarat emosi.
“Meskipun Firdaus bukan dari sini, tetapi bagi kami di Maluku, kemanusiaan itu tidak mengenal batas,” katanya.
“Orang Basodara itu tidak menanyakan asal, cukup tanya, apa bisa saya bantu?,” sambung Ersa.
Di sudut ruangan, beberapa orang terlihat mengusap air mata. Bukan karena mereka mengenal Firdaus, tapi karena mereka merasa kehilangan. Duka ini milik bersama. Dalam komunitas pecinta alam, kehilangan satu orang terasa seperti kehilangan bagian dari diri sendiri.
Yasinan dan doa bersama malam itu bukan sekadar ritual. Ia menjelma menjadi jembatan spiritual, tempat orang-orang menyalurkan rasa hormat, cinta, dan kesedihan. Setiap ayat yang dilantunkan menjadi pengantar, seolah berkata kepada Firdaus, “Istirahatlah. Kau tak sendiri.”
Pemerintah Negeri Batu Merah menyediakan tempat ini. Gagasan sederhana, tapi dampaknya mendalam. Di tengah malam yang sendu, Balai Negeri Batu Merah menjadi rumah duka bagi siapa pun yang merasa terhubung dengan Firdaus, meski hanya lewat kisah dan kabar.
Bagi komunitas pecinta alam Maluku, kepergian Firdaus meninggalkan jejak yang dalam.
“Setiap kali kita melangkah ke hutan, ke gunung, kita diingatkan bahwa alam bisa memeluk, bisa juga mengambil. Tapi yang pasti, ia mengikat kita dalam satu simpul, yaitu solidaritas,” ucap Ersa.
Dan malam itu, di antara lantunan Yasin dan rintik duka yang jatuh di luar jendela, Maluku mengantar Firdaus pulang. Bukan ke rumahnya di Bogor, tapi ke tempat yang lebih abadi, di hati mereka yang mencintai alam, dan mencintai sesama manusia, tanpa syarat.
Firdaus adalah satu dari banyak pendaki yang mencintai alam. Tapi cintanya dibayar mahal. Ia dinyatakan hilang sejak 26 April 2025 di Lembah Terjun Aimoto, Gunung Binaya, gunung tertinggi di Kepulauan Maluku yang terkenal karena jalurnya yang kejam, “mental dibina, tubuh dianiaya.”
Sejak kabar hilangnya Firdaus menyebar, jaringan pecinta alam di Maluku bergerak. Mereka membuka donasi, membagi informasi. Dan lebih dari itu, mereka turun langsung ke gunung. Mereka mencari Firdaus seperti mencari adik, sahabat, atau anak sendiri yang hilang.
Pencarian dilakukan selama 21 hari. Tim SAR, relawan, masyarakat lokal, hingga komunitas pecinta alam dari berbagai penjuru Maluku turun tangan. Mereka menyusuri medan terjal, melewati lembah-lembah basah, dan mendaki tebing-tebing licin.
Semua dilakukan demi satu tujuan, membawa Firdaus pulang. Dan pada 17 Mei, tubuhnya ditemukan. Diam. Tapi utuh dalam cinta banyak orang yang bahkan tak pernah mengenalnya secara langsung. (RIO)