RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Universitas Pattimura (Unpatti) mengukuhkan tiga Guru Besar dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, yang berlangsung di Kampus Unpatti Ambon, Kamis, 22 Mei 2025, hari ini.
Yakni, pertama, Prof. Dr. Christina Sososutiksno, SE., M.Si, Akt, CA yang dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam ranting ilmu/kepakaran Akuntansi Manajemen/Keprilakuan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Kedua, Prof. Ir. Irma Kesaulya, M.Sc., Ph. D yang dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam ranting ilmu/kepakaran Oseanografi Biologi pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Dan ketiga, Prof. Dr. Richard Benny Luhulima, ST., MT yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam ranting ilmu/kepakaran Teknik Perkapalan pada Fakultas Teknik Unpatti.
Pada kesempatan itu, Prof. Dr. Christina Sososutiksno, SE., M.Si, Akt, CA akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Behavioral Managerial Earnings Management (B-MEM): Gagasan Baru dalam Membangun Transparansi dan Akuntabilitas Laporan Keuangan.
Menurutnya, praktik earnings management tidak sekadar persoalan teknis, tetapi berkaitan erat dengan perilaku dan nilai. “Akuntansi bukan lagi semata soal kepatuhan angka, melainkan juga cermin tanggung jawab sosial,” ujarnya.
Prof. Christina mengkritisi pendekatan akademik yang selama ini terlalu normatif dalam memandang manajemen laba, padahal kenyataannya, manipulasi sering kali dipengaruhi tekanan eksternal, kepentingan pribadi manajer, dan lemahnya tata kelola.
Ia mencontohkan kasus Kimia Farma dan Toshiba sebagai bukti bahwa manipulasi akuntansi bisa berdampak besar pada kepercayaan publik. “Manipulasi seperti ini adalah bentuk kegagalan tata kelola dan etika yang serius,” katanya.
Konsep B-MEM yang ia tawarkan menggabungkan tiga perspektif: agency, behavioral, dan governance. Dengan kerangka ini, manajemen laba dipahami sebagai hasil dari interaksi sistem insentif, persepsi individu, serta tekanan institusional. “B-MEM menggeser fokus dari angka ke makna, dari kepatuhan ke nilai,” jelas Prof. Christina.
Temuan risetnya terhadap 38 perusahaan publik Indonesia menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat independensi komisaris rendah lebih rentan melakukan manajemen laba berbasis diskresi akrual.
“Sebanyak 65% dari perusahaan tersebut terindikasi kuat melakukan earnings management yang tidak etis,” ungkapnya. Ini menunjukkan bahwa penguatan budaya etika dan sistem pengawasan sangat penting dalam mencegah penyimpangan.
Ia menyarankan agar B-MEM dimanfaatkan oleh regulator seperti OJK dan BPK sebagai alat evaluasi risiko perilaku dalam pelaporan keuangan. Di dunia pendidikan, pendekatan ini bisa membentuk kurikulum yang lebih kontekstual dan reflektif. “Mahasiswa perlu diajarkan bukan hanya cara menghitung, tetapi mengapa dan untuk siapa angka itu disusun,” katanya.
Sebagai institusi yang menjunjung karakter budaya kepulauan, Universitas Pattimura didorong Prof. Christina untuk menjadi pelopor akuntansi humanistik di Indonesia Timur. Ia menutup pidatonya dengan ajakan membangun ekosistem pelaporan yang adil, transparan, dan berkelanjutan. “Perubahan besar selalu dimulai dari refleksi kecil, tentang nilai, tanggung jawab, dan keberpihakan pada integritas,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof. Ir. Irma Kesaulya, M.Sc., Ph. D akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Peranan Fitoplankton Sebagai Penentu Kesuburan Perairan Untuk Menunjang Usaha Perikanan Keberlanjutan di Provinsi Maluku”.
Menurut Prof. Irma, fenologi dan ukuran struktur fitoplankton berpengaruh langsung terhadap kelangsungan rantai makanan di laut. “Fenologi dan struktur ukuran fitoplankton merupakan kunci indikator yang mempengaruhi survival dan rekruitmen dari tingkat tropik makanan yang lebih tinggi,” ujarnya. Keberadaan fitoplankton berdampak besar terhadap produktivitas laut dan hasil tangkapan ikan.
Ia menjelaskan, teknologi penginderaan jauh seperti satelit dapat digunakan untuk memantau distribusi biomassa fitoplankton melalui indeks klorofil-a. “Chl-a adalah indeks dari biomasa fitoplankton yang merupakan 90% dari produktivitas laut,” katanya. Informasi ini penting bagi Maluku yang sangat bergantung pada sektor perikanan, baik skala besar maupun tradisional.
Prof. Irma juga mengingatkan bahwa perubahan iklim memengaruhi suhu dan produktivitas perairan. Jika transfer energi dalam rantai makanan laut menurun, maka hasil tangkapan akan ikut berkurang. Oleh karena itu, menjaga kestabilan populasi fitoplankton sebagai dasar rantai makanan menjadi krusial untuk mendukung sektor perikanan berkelanjutan.
Ia mendorong keterlibatan aktif masyarakat pesisir dalam menjaga kelestarian ekosistem laut. Edukasi tentang blooming fitoplankton dan pemantauan kondisi perairan harus diperkuat melalui kerja sama antara pemerintah, universitas, dan masyarakat. “Keterlibatan masyarakat lokal harus terus digalakkan agar keberadaan sumberdaya alam laut di pulau-pulau kecil dapat terjaga keberlanjutannya,” tegasnya.
Selain itu, Prof. Irma mendorong pemerintah dan perguruan tinggi untuk mengembangkan Indeks Kesehatan Laut (IKLI) atau Ocean Health Index (OHI) di perairan Maluku. Saat ini, kajian baru dilakukan terbatas di Teluk Ambon dan Teluk Baguala dengan nilai IKLI yang masih rendah. Ia menyebut ketersediaan OHI akan menjadi syarat penting bagi produk perikanan Maluku untuk menembus pasar internasional.
Kemudian Prof. Dr. Richard Benny Luhulima, ST., MT, akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Adaptasi dan Inovasi: Menjawab Kebutuhan Transportasi Laut di Kepulauan Indonesia yang Ramah Lingkungan”.
Prof. Dr. Richard menekankan keunggulan kapal multihull sebagai alternatif efisien dan berkelanjutan. Menurutnya, kapal multihull memiliki hambatan lambung yang lebih kompleks dibandingkan kapal monohull karena adanya interferensi antar lambung, baik secara viskos maupun gelombang.
Namun, kompleksitas ini dapat diatasi melalui pendekatan teknologi simulasi dan pengujian. “Interferensi hambatan terdiri atas dua klasifikasi, yaitu viskos dan gelombang,” ujarnya.
Hasil simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD) dan pengujian towing tank menunjukkan bahwa kapal monohull memiliki hambatan rata-rata 8,86% lebih besar dibandingkan kapal multihull. Sementara itu, kapal trimaran tercatat memiliki hambatan 3,25% lebih kecil dibanding kapal katamaran, yang berdampak pada efisiensi daya mesin.
Dari sisi lingkungan, perhitungan Energy Efficiency Design Index (EEDI) menunjukkan kapal monohull menghasilkan emisi 303,40 gram CO2 per tonne.mile per tahun, melebihi batas yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). Sementara itu, kapal katamaran dan trimaran masing-masing menghasilkan 76,49 dan 70,09 gram CO2 per tonne.mile per tahun, yang masih memenuhi standar IMO.
Selain ramah lingkungan, kapal multihull juga unggul dalam kapasitas angkut. Trimaran mampu mengangkut muatan hingga 440% dan katamaran hingga 380% lebih banyak dibanding kapal monohull. Keunggulan ini sangat bermanfaat bagi distribusi logistik di wilayah kepulauan seperti Maluku.
“Penggunaan kapal multihull menjadi semakin ramah lingkungan dan lebih irit dari segi ekonomis,” tegas Prof. Luhulima. Ia merekomendasikan penggunaan kapal jenis ini sebagai solusi transportasi laut di wilayah Indonesia timur, yang membutuhkan moda angkutan laut yang efisien, stabil, dan berkelanjutan. (RIO)