Marnex: Jika Tahu Tapi Mendiamkan
RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Dugaan korupsi proyek pembangunan Bendungan dan Irigasi Bubi, Kecamatan Bula Barat, Kabupaten SBT tahun 2017-2020, dengan nilai kontrak sebesar Rp226.904.174.000, tak hanya menyasar pelaku utama.
Pengamat Hukum, Marnex Ferison Salmon, mengatakan, pejabat Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku yang mengetahui adanya penyimpangan namun memilih bungkam juga berpotensi dijerat hukum.
“Diam bukan lagi emas jika berkaitan dengan kejahatan negara. Jika ada masalah hukum kemudian pejabat BWS bertindak seolah-olah menutupi, maka bisa dipidana karena mengetahui kejahatan tetapi malah membiarkan atau menutupi kejahatan itu,” tegas Marnex, kepada media ini di Ambon, Selasa, 29 April 2025.
Ia menjelaskan, dalam sistem hukum pidana Indonesia, setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana dan sengaja tidak melaporkannya, atau bahkan menutupi kejahatan tersebut, bisa dikenai sanksi pidana.
Hal itu juga berlaku bagi pejabat publik, terlebih bila kejahatan itu menyangkut pengelolaan anggaran negara. Dalam konteks proyek Bubi yang dilaporkan ke Polda Maluku, siapa pun pejabat di BWS Maluku yang mengetahui penyimpangan, namun tidak bertindak, dapat dianggap turut serta dalam kejahatan tersebut.
“Secara hukum, tindakan membiarkan atau menutupi tindak pidana dapat dijerat dengan Pasal 221 KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menyembunyikan pelaku tindak pidana atau tidak melaporkan kejahatan yang diketahuinya, dapat dihukum pidana penjara. Ancaman ini diperberat jika pelaku yang menyembunyikan adalah pejabat negara,” jelasnya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 21, juga menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa korupsi, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.
“Pejabat publik memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara. Ketika terjadi dugaan penyimpangan, kewajiban pertama pejabat adalah melaporkan dan mengungkapnya, bukan menutupi atau berpura-pura tidak tahu. Sikap diam bisa diartikan sebagai bentuk pasif dari persekongkolan,” tandas Marnex.
Kasus dugaan korupsi pada proyek Bendungan Bubi yang bernilai ratusan miliar rupiah ini menjadi ujian bagi integritas aparatur negara, khususnya di lingkungan BWS Maluku.
“Jika terbukti ada pejabat yang mengetahui kejahatan namun memilih bungkam, penegak hukum harus berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Negara tidak boleh dikalahkan oleh konspirasi diam,” ujarnya.
Kasus ini, menurut Marnex, perlu dibuka ke publik agar masyarakat dapat mengetahui sejauh mana proses penanganannya. Informasi tersebut, katanya, harus tersedia dan dapat diakses secara mudah serta terjangkau oleh semua kalangan.
Ia menambahkan, setiap warga negara berhak mengetahui rencana, program, proses, dan alasan di balik pengambilan kebijakan publik, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Keterbukaan ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Namun, tak jarang penyelidik atau penyidik berlindung di balik dalih kerahasiaan penyelidikan atau penyidikan,” ujarnya.
Selain hak atas informasi, Marnex juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi kinerja pejabat publik, meskipun dalam struktur internal lembaga negara telah ada mekanisme pengawasan.
“Namun, perlu kita ingat bahwa negara dan pejabatnya hadir semata-mata untuk melayani masyarakat,” tandasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak BWS Maluku belum dapat dikonfirmasi. (AAN)