Tiga Benteng

  • Bagikan

Untuk mewujudkan transportasi laut di Maluku zero accident tak ada cara lain tiga “benteng” ini sangat berperan penting: pemilik (operator), nakhodah (awak kapal), dan regulator (pemerintah).

Pendapat itu saya kutip dari perbincangan bersama pengamat transportasi laut DR.Hanok Mandaku, di ruang kerjanya di Lantai III Laboratorium Terpadu Pendukung Blok Masela di Kampus UNPATTI, (14/1/25).

Selain sebagai dosen Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, UNPATTI, Dr.Hanok adalah Sekretaris Laboratorium Terpadu Pendukung Blok Masela.

Awal Januari lalu, (3/1), kita pernah dikejutkan oleh insiden terbaliknya Speedboat Dua Nona saat berlayar dari Pulau Manipa menuju Kampung Tahoku, Pulau Ambon, menyebabkan delapan penumpang meninggal dunia.

Tentang insiden kecelakaan moda transportasi laut yang sering terjadi di perairan Maluku ini menarik bagi saya untuk menemui dan meminta tanggapan Dr.Hanok.

Ia termasuk satu di antara akademisi UNPATTI yang melakukan studi tentang transportasi laut dan dampaknya untuk keselamatan penumpang. Saat itu ia pernah menulis dalam suatu artikel yang dikirim khusus untuk Redaksi Radar Ambon berjudul: “Inarisa” dan Problem Keselamatan Transportasi Laut, (Kamis, 23/2/12).

Tulisan itu sebagai analisis atas insiden kecelakaan Speedboat KM.Inarisa yang bertolak dari Pelabuhan Tulehu (Pulau Ambon) menuju Pelabuhan Kamarian (Pulau Seram), hingga membuat speedboat ini terbalik.

Analisis doktor jebolan UNHAS Makassar terkait fenomena kecelakaan transportasi laut di Maluku ini punya kesimpulan bahwa langkah penyelamatan itu hanya bisa dilakukan bila saja semua pihak punya kepedulian yang sama.

Doktor Hanok yang mengambil disertasi berjudul: Pemodelan Sistem Transportasi Barang Wilayah Kepulauan, itu menemukan sebuah tesis bahwa peran dari pemilik transportasi, nakhodah, dan pemerintah sebagai regulator sangat menentukan keselamatan transportasi laut.

Tapi di atas peran ketiga “benteng” itu faktor seorang nakhodah/juragan menjadi penentu. Sebab, setelah kapal/motor dianggap laik untuk berlayar beban itu menjadi tanggung jawab seorang nakhodah.

“Keselamatan saat berlayar sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama. Tapi begitu kapal/motor lepas dari pelabuhan dan berlayar maka tanggung jawab pemilik transportasi dan regulator beralih pada pundak nakhodah,” ujarnya.

Hampir sering insiden kecelakaan transportasi laut di Maluku terjadi di hadapan mata. Dan, kita seolah tak pernah belajar dari pengalaman selama ini. Kurangnya kepedulian kita akan keselamatan transportasi diikuti oleh lemahnya pengawasan baik oleh pemilik, nakhodah, dan regulator hingga membuat terjadinya banyak korban.

Untuk menjadikan Maluku zero accident dari kecelakaan transportasi laut tiga benteng ini harus punya kepedulian yang sama.

Insiden Speedboat Dua Nona di Pulau Manipa boleh jadi bisa menimpa transportasi laut yang lain dengan alasan berbeda. Selain faktor kelalaian pada juragan, pemilik, regulator, juga bisa karena faktor alam.

Untuk menghindari insiden serupa, benteng pertama pemilik transportasi haruslah rutin melakukan pengawasan. Nakhodah haruslah orang berpengalaman, dan pemerintah sebagai regulator haruslah intens melakukan pengecekan juga mendata setiap penumpang pada manifes sebelum kapal/speedboat bertolak dari pelabuhan. Termasuk soal kelayakan izin dan sertifikasi untuk seorang nakhodah.

Tak sedikit di antara kita ada anggapan setiap kali terjadi kecelakaan kapal motor kerab yang disalahkan karena faktor alam atau karena angin dan kondisi laut yang tak bersahabat. Padahal ada sekian penyebab mengapa transportasi kita yang banyak memakan korban jiwa itu lantaran tiga “benteng” utama yang menjadi tulang punggung transportasi tersebut tak berperan maksimal.

Seorang nakhodah selain punya pengalaman juga harus dibekali ilmu pelayaran. Modal pengalaman tidaklah cukup bagi seorang juragan bila tidak dibekali oleh pengetahuan membaca alat navigasi kapal. Pun penguasaan membaca cuaca bila tiba-tiba terjadi post majeure seperti angin yang datang mendadak atau gelombang.

Dr.Hanok mengatakan, membaca kondisi cuaca saat berlayar bagi seorang nakhodah speedboat itu penting. Banyak ditemukan ada speedboat yang tenggelam gara-gara body speedboat terbelah menabrak batang pohon.

Itu terjadi karena mereka tidak paham membaca alam bahwa saat musim penghujan banyak batang pohon yang mengapung utamanya yang masuk areal HPH karena terbawa oleh limbah dari alur sungai.

“Para juragan speedboat harus tahu saat berlayar di musim penghujan banyak limbah dan batang pohon yang mengambang. Pesawat dengan kecepatan tinggi bisa saja jatuh gara-gara seekor burung karena menabrak kaca depan pesawat atau terperangkap pada mesin turbo. Apalagi ini batang pohon,” ujarnya.

Dari studi yang dilakukannya itu ia beranggapan bahwa faktor keamanan dan keselamatan transportasi laut kemungkinan besar yang menjadi penyebab tenggelamnya sebuah kapal/speedboat selain kelalaian pihak regulator, nakhodah (awak kapal), juga karena kondisi teknis kapal yang sudah uzur diikuti oleh keadaan alam yang ekstrim.

Adanya penumpang yang tidak tercatat secara resmi dalam manives, atau selain lambung kapal robek dan mesin kapal tak berfungsi dalam insiden kecelakaan moda transportasi laut ini menunjukkan minimnya peran regulator.

Pemahaman tentang keamanan dan keselamatan transportasi laut khususnya di wilayah Maluku yang merupakan “benua laut” ini tentu sangatlah penting dan berguna untuk menentukan langkah pencegahan dan perbaikan/pembenahan sistem untuk menghindari bencana serupa di kemudian hari.

Ketiga pihak ini haruslah saling berinteraksi dalam membuat suatu keputusan layak-tidaknya kapal/speedboat beroperasi. Kualitas dari keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.

Dan, langkah penyelamatan kecelakaan transportasi laut kita itu hanya bisa diminimalisir jika kita semua tanpa kecuali ketiga “benteng” itu punya kepedulian dan tanggung jawab yang sama untuk menyelamatkan transportasi laut kita dari ancaman yang mematikan tersebut.

*

Doktor Hanok Mandaku sebelumnya seorang aktivis GMNI Cabang Ambon namun kemudian menjadi dosen pada almamaternya sejak 2003.

Selain sebagai dosen ia kini diberi amanat sebagai Sekretaris Laboratorium Terpadu Pendukung Blok Masela di Kampus UNPATTI.

Lahir 30 Juli 1979 di Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Dr.Hanok adalah seorang aktivis Ambon yang supel dengan sesama rekan aktivis lintas organisasi sejak duduk di bangku kuliah di kampus yang sama.

Ia tadinya pernah mencalonkan diri dalam bursa Pilkada di tanah kelahirannya di Kabupaten SBB pada 2012. “Saat itu masih ada aturan yang membolehkan. Tapi, sejak tidak lolos pencalonan saya kembali ke dunia kampus hingga bisa menyelesaikan S3,” ujarnya.

Ia menamatkan S1 di Fakultas Teknik, Jurusan Industri 2003 pada Kampus UNPATTI hingga kemudian mendaftarkan diri melamar lalu diangkat menjadi dosen.

“Setamat dari UNPATTI saya pun kemudian mengambil Program S2 pada Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya,” ujarnya.

Ia menamatkan S2 dengan tesis: Pengembangan Transportasi Ambon-Seram.

Selepas dari S2 ia pun kemudian mengikuti Program S3 di UNHAS di Makassar dengan judul disertasi: Pemodelan Sistem Transportasi Barang Wilayah Kepulauan. Selesai pada 2021.

Dr Hanok Mandaku beristrikan Gryce Pattiasina. Dari perkawinannya itu mereka dikaruniai dua orang anak: Enji dan Gio.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan