Hampir seharian saya menemani guru jurnalistik saya Bang Noorca M Massardi bersama tim dari Lembaga Sensor Film (LSF) RI ke Desa Kaitetu, Kabupaten Maluku Tengah untuk mengunjungi objek wisata di sana, Selasa, (29/10/24).
Usai mengikuti acara pembukaan bertema: Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Maluku, di Swissbell Hotel oleh Wakil Ketua LSF RI Bang Noorca kami pun beranjak ke Jazirah Leihitu.
Desa yang berada di bibir utara di distrik Leihitu, Pulau Ambon yang menghadap Pulau Seram itu menjadi impian tim yang dipimpin Bang Noorca ini untuk melihat dari dekat objek-objek wisata sejarah dan kebudayaan di sana.
Ia mengaku bangga selama menjadi wartawan hingga di usia 70 tahun ini barulah kali ini ia bisa menginjakkan kaki di Tanah Manise.

Meski sudah lama ia mendengar dan membaca kisah heroik dari Tanah Maluku tapi baru hari itu ia dapat melihat dari dekat dan merasa bangga tentang kota ini.
Dua video berisi puisi yang dibacakan oleh Bang Noorca berjudul: Ternate dan Benteng dalam acara ini memberi pesan kuat bagaimana kekaguman sang sastrawan ini tentang Maluku.
Untuk memperpendek perjalanan dari pusat Kota Ambon ke Kaitetu menjelang sore itu kami melintasi jalan yang baru dibuka yang membelah antara Dusun Taeno dengan Desa Wakal tetangga Desa Kaitetu.
Di sepanjang jalan belum semuanya mulus. Masih ada jalan yang rusak dan belum diperbaiki. Di banding jalan umum yang biasa dilalui oleh kendaraan umum — jalanan antara Dusun Taeno dengan Desa Wakal ini selain banyak berkelok juga memiliki banyak tanjakan yang menukik. Untuk kendaraan yang tidak memiliki sistem pengereman yang kurang baik sebaiknya menghindari jalan ini.
Selama perjalanan — banyak hal menjadi bahan cerita dari soal sejarah, kebudayaan, dan keunikan kuliner khas Ambon.

Adalah Titin Setiawati kandidat doktor dari Universitas HAMKA mengaku terkesan selain soal sejarah dan peradaban Kota Ambon ada keunikan lain yang mengundang ingin rasa tahu oleh seorang Titin Setiawati tentang “suami yang dijual” di Kota Ambon.
“Kok ada suami dijual di Ambon? Seperti apakah gerangan suami itu,” tanya Mbk Titin.
Belakangan rasa ingin tahu “suami yang dijual” itu baru terjawab setelah ditunjukkan oleh rekannya yang lain saat kami kembali usai melihat-lihat objek wisata di sana.
Rupanya di sepanjang jalan menjelang malam itu di samping badan jalan terlihat banyak kuliner yang dijual. Ada ikan asapan, aneka sayuran, dan penganan khas Pulau Ambon. Satu di antara kuliner khas itu namanya: suami.
Suami adalah makanan khas oleh sebagian warga Ambon. Makanan unik yang terbuat dari ubi kayu (kasbi) itu sudah menjadi asupan sejak turun temurun ratusan tahun lalu.
Mbk Titin dkk baru merasa lega setelah membeli dan menikmati suami yang terbuat dari ubi kayu yang diparut dan dinanak di panci dalam beberapa porsi yang dibungkus.
Cerita tentang “suami” yang dijual di Ambon juga pernah memantik tanda tanya dari seorang mubaligah dari Jakarta bernama Ustadza Lulu Susanti.
Di hadapan ibu-ibu pengajian hari itu ia mengaku kaget mendengar cerita dari sesama teman di Jakarta kalau di Ambon ada “suami” yang dimakan.
“Kok ada suami dimakan?,” tanya Ustadza Lulu dengan nada heran.
Rasa ingin tahu bagaimana “suami” itu dimakan Ustadza Lulu pun harus ke Pasar Pantai Mardika.
Setelah menemukan “suami” di Pasar Mardika ia mengaku tertarik. Ternyata yang dimaksud bukan suami sesungguhnya.
“Suami itu ternyata kuliner khas Kota Ambon yang terbuat dari ubi kayu,” ujar Ustadza Lulu disambut tawa ibu-ibu pengajian dalam rangka Safari Dakwah Program Pengembangan 100.000 Penghafal Al-Qur’an dan Program Pembagian Satu Juta Mushaf Al-Qur’an, (28/9/22), itu.

Ambon, seperti juga di kota lain selain punya keunikan budaya, adat istiadat dan kuliner, di pulau ini juga termasuk salah satu pulau di Provinsi Maluku yang menyimpan banyak sejarah peninggalan masa lalu.
Salah satu tempat yang kami kunjungi bersama Tim LSF RI itu yakni mendatangi Benteng Amsterdam, Gereja Tua, dan Mesjid Tua Wapaue di ujung utara Pulau Ambon, itu.
Mesjid tua yang berada di Desa Kaitetu, di pesisir Jazirah Leihitu, itu meski berada di Pulau Ambon namun mesjid yang berdiri tujuh abad lalu ini merupakan salah satu bukti warisan peninggalan kekuasaan Kesultanan Ternate dan Tidore yang berada di Jazirah Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Mesjid langka ini kali pertama dibangun pada sekitar 1400-an oleh seorang bernama Perdana Djamilu. Ia tidak lain adalah seorang ulama yang dikirim dari Kesultanan Jailolo, Ternate, Maluku Utara.
Kesultanan Jailolo termasuk satu di antara empat kesultanan di Maluku yang dikenal dengan nama Moloku Kie Raha yakni: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Perdana Djamilu memiliki tugas khusus sebagai pendakwah di wilayah ini dimana Mesjid Wapaue sebagai pusat dakwah.
Dalam sejarah diceritakan Mesjid Wapaue beberapa kali berpindah tempat setelah kedatangan bangsa asing di kawasan tersebut.
Kedatangan Spanyol, Portugis, dan Belanda membuat kedamaian masyarakat setempat terganggu dan mesjid ini pun mengalami perpindahan.
Salah satu keunikan konstruksi mesjid ini dibangun tanpa menggunakan paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu. Atapnya memakai daun sagu (rumbia). Pun dindingnya terbuat dari pelepah pohon sagu.
Empat tiang utama yang menjadi ciri khas mesjid pada umumnya tampak berdiri kokoh. Beberapa bagian telah mengalami pemugaran termasuk Tiang Alif. Untuk menjaga keasliannya Tiang Alif yang asli kini dipajang di pintu utama mesjid.
Sebelum ini, dulunya saya juga pernah mengunjungi mesjid ini pada 1993 untuk menulis tentang sejarahnya. Tentang asal-usulnya dalam rangka pameran mesjid-mesjid se-nusantara yang diselenggarakan di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Sebagai stringer, saya diminta oleh Koran Republika menuliskan cerita Mesjid Wapaue ini sebagai salah satu warisan budaya tertua yang dibangun pada 1441 masehi, itu.
Narasumbernya adalah tokoh masyarakat Kaitetu namanya Pak Djafar Layn. Saya tak lupa nama ini karena kebetulan namanya sama dengan nama ayah saya.
Mesjid Wapaue termasuk satu di antara masjid peninggalan sejarah di Indonesia yang ikut dipamerkan di ajang Festival Mesjid Nusantara, itu.
Dan, Pak Djafar Layn termasuk yang ikut diundang dalam ajang tersebut. Dari beliau saya mendapat cerita seputar mesjid ini.
Selain Pulau Ambon di antara deretan gugusan pulau-pulau di Maluku, Pulau Seram juga memiliki keunikan sejarah.
Di pulau ini juga banyak punya pertalian sejarah peninggalan Kesultanan Tidore dan Ternate. Selain meninggalkan bekas sejarah, banyak di gugusan pulau di Maluku ini didiami oleh warga Maluku Utara yang sudah beranak pinak ratusan tahun.
Moyang dan datuk-datuk mereka dulunya adalah orang-orang yang dikirim sebagai hulubalang Kesultanan Ternate dan Tidore melawan penjajah.
Di sana kita bisa jumpai banyak warga menggunakan nama kampung sebagai nama marga. Misalnya ada marga Tomagola, Soasio, Galela, Dokulamo, Mumulati, Ngidiho, Ternate, Pune, Towara, Kasturian, Igobula, dll.
Tak saja di Pulau Seram. Bergeser sedikit ke Pulau Buano, Pulau Kelang, Pulau Manipa, Pulau Buru, Pulau Ambon, dan Ambalau, nama-nama yang sama juga bisa kita temukan.
Dalam suatu liputan ke Pulau Buano, Pulau Kelang, dan Pulau Manipa tepatnya di Dusun Tahalupu, saya menemukan ada marga bernama Dokulamo. Nama ini diabadikan pada sebuah nama kampung saya nun jauh di Galela bernama Desa Dokulamo. Di sana juga ada marga Galela, Pune, Limau, Towara, dan Kasturian. (AHMAD IBRAHIM)