RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON,– Setelah sepekan hujan disertai angin kencang melanda wilayah Maluku, pagi itu, Sabtu 27 Juli 2024 cuaca berangsur cerah.
Terlihat para perempuan berjalan menuju tempat mereka berkebun. Mereka membawa parang, cangkul dan alat berkebun lainnya.
Mereka adalah para perempuan adat dari Desa Uraur. Uraur merupakan salah satu dari sembilan kampung adat Negeri Honitetu, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Namun Uraur dimekarkan menjadi desa sejak 2001. Meski terpisah secara administrasi dari Honitetu, secara adat Uraur masih menjadi bagian dari Honitetu.
Biasanya para perempuan adat sudah bersiap-siap sejak pagi. Usai memasak mereka bergegas keluar dari rumah sekira pukul 09.00 WIT.
“Sudah satu minggu hujan jadi kita baru melakukan aktivitas menanam,” kata Joimima Ihalawey, salah satu perempuan adat Honitetu.
Sesampainya di kebun, tanpa banyak kata mereka sibuk sesuai dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mencabut rumput, menanam benih sampai memanem hasil kebun.
Waktu berkebun sudah dijadwalkan setiap harinya, walau kadang masih terkendala kondisi cuaca yang tak menentu.
Bagi perempuan adat Uraur, pangan dan alam menjadi lumbung pangan utama mereka dengan memanfaatkan tanah adat untuk bercocok tanam.
Dengan begitu, setiap rumah tangga di Uraur tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan pangan karena sebagian besar mereka menanam sendiri.
Berbagai tanaman ditanam mulai dari sayur-sayuran serta umbi-umbian, seperti, kacang tanah, jagung, cabai, dan jenis bumbu dapur lainnya. Bibit mereka peroleh dengan cara bertukar atau membuat bibit sendiri.
Dalam mengelola pertanian, para perempuan adat lebih mengutamakan sistem kerja kelompok. Sebagian hasil panen dibagi untuk anggota kelompok, sebagiannya lagi dijual dan uang itu akan disimpan untuk kebutuhan anggota. Digunakan kalau-kalau ada anggota kelompok yang membutuhkan bantuan biaya pengobatan jika keluarganya sakit, untuk kebutuhan membeli bibit, sisanya mereka terapkan sistem bagi hasil.
“Jadi untuk hasil pertanian itu dijual dan uangnya disimpan di kas kelompok tapi juga dipergunakan untuk kebutuhan kelompok, lalu ada juga hasilnya dibagi, contoh panen sayur atau jagung itu hasilnya juga kita bagi anggota kelompok,” kata Jomima.
Menurutnya, pangan dan alam adalah sumber kehidupan di Desa Uraur. Walau pertanian bukanlah mata pencaharian utama warga di desa itu, tapi sebagian besar warga tetap memanfaatkan alam untuk mendapatkan makanan.
“Mau dibilang pangan bukan sumber mata pencaharian utama, yang kita lihat semua orang membutuhkan pangan,” katanya.
Sejatinya, perempuan adat dan bertani adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Pasalnya, lahan pertanian cukup dekat dengan pemukiman mereka.
Perempuan Adat di Honitetu Ibarat Mata Sagu
![](https://rakyatmaluku.fajar.co.id/wp-content/uploads/2024/07/ba04cb6d-87d1-45ac-8d30-fdf962a09f09.jpg)
Peran perempuan adat Honitetu diibaratkan seperti mata sagu, peran perempuan sangat diutamakan, menjadi simbol harapan untuk keturunan mereka. Di Honitetu menganut sistem kekerabatan matrilineal, sistem keturunan yang ditarik menurut garis lahir dari ibu (perempuan).
“Memang sebagian adat Honitetu itu, perempuan kalau menikah dengan laki-laki, orang di sini bilang kawin masuk. Lalu semua anak itu dia pulang pikul marga mama, jadi perempuan lebih diutamakan, dari satu mata sagu bisa memancarkan mata sagu yang lain,” ujarnya.
Ketua Pengurus Harian Komunitas (PHKOM) Desa Uraur, Martina Makoto, mengatakan lahan tempat mereka membudidaya berbagai tanaman sayur-sayuran itu didapatkan dari pemanfaatan tanah adat. Mereka melestarikan pangan dengan memiliki pengetahuan lokal untuk mengelola alam yang ada di sekitar.
“Kami hanya mengetahui sebatas menanam yang ada seperti apa yang diturunkan leluhur orang tua,” kata Martina.
“Dalam komunitas, kami itu bekerja bersama, misalnya dengan mengumpulkan benih atau bibit, dan juga membuka lahan serta menanam secara bersama dan hasilnya itu dipakai untuk kebersamaan”.
Dalam kelompok, mereka saling memotivasi untuk terus bertani. Para perempuan adat di desa itu juga saling memberdayakan lewat aktivitas pertanian di desa.
“Kami merasa masih harus belajar mengenai pertanian lebih lanjut. Selama ini pun belum ada bantuan apapun untuk kelompok kami,,” ungkapnya.
PHKOM Honitetu berdiri sejak tahun 2020, awalnya hanya 20 orang, namun kini sudah bertambah menjadi 39 anggota.
“Kami manfaatkan lahan adat untuk pangan, ada yang dipekarangan rumah, karena hujan berkepanjangan, kami juga punya kebun di hutan jauh,” katanya.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku, Lenny Patty mengungkapkan, hujan berkepanjangan menyebabkan kebun masyarakat adat banjir. Supaya tidak mengancam ketahanan pangan mereka para perempuan adat mencari lokasi yang betul-betul aman dari banjir dan juga bencana lainnya.
“Selain banjir ada juga sapi-sapi masuk merusak tanaman. Sejauh ini perempuan adat disana juga cukup aktif dengan banyak hal yang dilakukan dengan penguatan tanam menanam,” ucapnya.
Bahkan pada saat Covid masyarakat adat di Desa Honitetu masih aktif bertani dibandingkan warga kota, hal itu yang menyebabkan pangan mereka tetap tersedia.
Menurut dia, AMAN tengah mengadakan gerakan pulang kampung bagi masyarakat adat untuk menguatkan kedaulatan pangan dan adptasi menghadapi perubahan iklim.
Masyarakat adat harus berdaulat, menanam merupakan bagian dari perjuangan berdaulat dengan pangan,
“Jadi semua anak-anak muda itu pulang melakukan penanaman ada yang tanam pisang dan sayur-sayuran dan itu semua diberikan dana untuk modal usaha, ada yang punya peternakan juga,” kata Lenny.
Isu perubahan iklim, kata Lenny, menguat saat ini, tentu ketahanan pangan merupakan pilar yang harus dikuatkan. Terutama bagi perempuan, sebab mereka harus berpikir setiap hari bagaimana pangan keluarga tetap terpenuhi.
“Jadi ini yang sementara kita lakukan di semua komunitas adat agar bisa nantinya sangat menguat dan menyebar di semua tempat. ” kata Lenny.
Tradisi Tana Ile, penyematan gender di Honitetu
![](https://rakyatmaluku.fajar.co.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-07-31-at-10.21.14-PM.jpeg)
Di Desa Honitetu seorang bayi yang baru lahir harus melakukan tradisi “Tana Ile” sebelum bayi boleh keluar rumah dan berbaur dengan Masyarakat ia harus mengikuti serangkaian upacara adat yang dipercaya membawa berkah untuk bayi itu. Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun.
Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD )Desa Uraur mengatakan, tradisi Tana Ile merupakan pesta besar yang hingga kini masih dilestarikan dan dihargai.
Ritual Tana Ile menyematkan peran gender yang spesifik bagi anak. Jika bayi itu laki-laki orang yang mengeluarkan bayi itu akan membawakan parang sebagai tanda anak laki-laki harus kuat bekerja serta menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.
Jika bayi itu perempuan biasanya membawa pontong api, garuru dan sapu lidi. garuru melambangkan perempuan harus berkebun, garuru adalah istilah lokal, membawa umbi-umbian dengan cara diletakan di atas kepala atau biasanya juga disebut keku. Begitu juga sapu lidi menggambarkan aktivitas perempuan, kalau pontong api artinya perempuan yang melayani keluarga.
”Upacara itu dibikin subuh pukul lima pagi. Anak dikeluarkan, itu yang masih dibilang Tana Ile, dan masih berlaku sampai sekarang,” jelasnya.
Penduduk di desa itu terdiri dari lima marga, yaitu Ihalawey, Latumadina, Serihollo, Tayane dan Rumahmale.
Akademisi Universitas Pattimura, Profesor Non Sahusilawane, mengatakan, perempuan adat di Maluku sangat dihormati. Seperti di Seram Bagian Barat, Maluku Tenggara dan Maluku Tengah. Namun karena konstruksi sosial yang melahirkam budaya patriarki sering mendiskriminasi perempuan.
Menurutnya, pemahaman soal kesetaraan gender penting untuk menciptakan keadilan gender bagi perempuan. Pandangan masyarakat terhadap perempuan adat beergantung dari cara pandang dan budaya.
“Sebab tidak bisa menggeneralisasi semua. Jadi itu tergantung dari masyarakat sendiri,” pungkasnya.