Dua Guru Besar Unpatti Dikukuhkan

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Universitas Pattimura mengukuhkan dua Guru Besar. Keduanya dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Pattimura (Unpatti), bertempat di aula lantai 2 Gedung Rektorat Unpatti, Rabu 8 Mei 2024.

Keduanya adalah Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si dan Prof. Dr. Ir. La Ega, MS.

Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si, dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Hasil Perikanan yang akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul “Komersialisasi Produk Hasil Perikanan Melalui Hilirisasi Inovasi Tekhnologi Pengawet Alami Atung (Parinarium glaberimum, Hassk) Dalam Rangka Mendukung Pengembangan Ekonomi Biru (Blue Economy) Provinsi Maluku.

Prof. Dr. Ir. La Ega, MS dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pangan Fakultas Pertanian yang akan menyampaikan pidato ilmiah di hadapan sidang senat terbuka dengan judul “Peta Potensi dan Kebutuhan Untuk Memperkuat Ketahanan Pangan Lokal di Era Maluku Emas 2025-2045”.

Dalam pidato ilmiahnya, Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si mengatakan, komersialisasi produk hasil perikanan secara umum dalam bentuk segar (ikan utuh) dapat dilakukan dengan aplikasi penggunaan serbuk pengawet alami sebesar 0,3 perse. Sedangkan dalam bentuk tuna loin dan surimi dengan larutan atung 4 persen.

Untuk produk olahan sendiri, lebih difokuskan pada ketersedian limbah produksi tuna loin utama yaitu daging merah (dark meat) atau tetelan yang cukup tersedia dengan rendemen sebesar 18 persen.

Selain itu, komersialisasi produk hasil perikanan secara umum dalam bentuk produk olahan juga dapat dilakukan dengan aplikasi penggunaan pengawet alami sebesar 4 persen (B/V), karena untuk produk olahan lebih difokuskan pada ketersedian limbah produksi tuna loin utama yaitu daging merah (dark meat) atau tetelan yang cukup tersedia dengan rendemen sebesar 18 persen.

“Keuntungan usaha dari masing-masing produk yang lebih menguntungkan per satuan produksi. Khusus produksi tuna loin selisih penjualan yang dapat dipterima para nelayan Rp. 17.200 27.200 tergantung harga yang berlaku,”ujarnya

Komersialisasi produk hasil perikanan dapat menunjang kegiatan kaji tindak bila Provinsi Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan mendukung pengembangan Ekonomi Biru (Blue Economic) Hilirisasi Inovasi Teknologi Pengawet Alami Atung di Kawasan Gugus Pulau yang belum tersentuh perlu dilakukan dan strategis untuk diterapkan.

Karena hilirisasi Inovasi Teknologi Pengawet Alami Atung di Kawasan Gugus Pulau yang belum tersentuh, perlu dilakukan dan strategis untuk diterapkan, kaitan dengan digulirkannya 457 program pemberdayaan UKM di 12 Provinsi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2024.

Dia mengaku, beberapa tahun belakangan, terjadi penolakan oleh importir di Amerika Serikat terhadap ekspor tuna loin dari Maluku, karena mengandung escherichia coli dan salmonella.

Bahkan UKM Nelayan Tonda Tuna di pantai Utara Seram sejak tahun 2010, telah memproduksi tuna loin kotor (masih dengan kulit dan sedikit duri dan tulang) dari ikan tuna yang beratnya > 30 kg dan ikan asin dari tuna yang < 30kg dan ikan cakalang (2 – 5 kg dengan rerata 3,5 kg) (Moniharapon dkk.2021).

Permasalahan klasik yang selalu mendera adalah posisi tawar yang rendah terhadap para pengumpul (tuna loin maupun produk olahan) karena kuantitas dan kualitas produk yang masih rendah karena ketersediaan sebagai pengawet yang terbatas bahkan tidak sama sekali.

“Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan praktek penyewaan rumpon (alat pengumpul gerombolan ikan) dan ketersediaan bahan bakar yang terbatas dan hargayang tinggi, lebih tinggi dari patokan harga industri berkisar dari Rp. 350.000-Rp. 650.000. Kebutuhan bahan bakar per nelayan tonda tuna yang terus dipantau dari pelaksanaan Penelitian Stategis Nasional (PSN (2018-2019), Program Pengembangan Produk Unggulan Daerah (PPPUD (2019-2021), Penelitian Terapan Kompetetif Nasional -PTKN (2021-2023) dan ProgramMatching Fund Kedaireka-MF Kedaireka (2022),”jelasnya.

Dijelaskan, bahan pengawet alami atung (Parinarium glaberimum, Hassk) adalah endemik daerah Maluku telah terbukti sangat ampuh dan cocok untuk mengawetkan hasil perikanan segar maupun olahan karena mengandung asam aselaik.

Penelitian dan hilirisasi pengawet alami atung yang intens dilakukandalam beberapa tahun belakangan ini (pelaksanaan PPPUD, Stranas PTKN,Stranas 2018-2019 dan Program Matching Fund-Kedaireka 2022 untukmemproduksi kualitas produk loin tuna (produk ekspor andalan Maluku setelah udang).

“Hal-hal diatas yang mengilhami saya untuk mempresentasekan saya dalam karya ilmiah ini. Maka dengan berpatokan pada nilai rendemen yang dihasilkan dan dianalisan, maka keuntungan usaha dari masing-masing produk yang lebih menguntungkan per satuan produksi,”katanya.

Dengan itu, sebelum mengakhiri pidatonya, dia juga menyampaikan beberapa pokok pikiran terkait KomersialisasiProduk Hasil Perikanan Melalui Hilirisasi Inovasi Teknologi Pengawet AlamiAtung (Parinarium glaberimum, Hassk) Dalam Rangka MendukungPengembangan Ekonomi Biru (Blue Economic) Provinsi Maluku.

Sementara itu, Prof. Dr. Ir. La Ega, MS dalam pidato ilmiahnya mengatakan, bahwa panganadalah kebutuhan yang sangat penting.

Menururnya, memasuki dua dekade pembangunan kedepan, yakni 2025-2045, manusia akan berhadapan dengan 10 megatren dunia.

Yang mana enam diantaranya adalah meningkatnya penduduk yang sangat signifikan, perkembangan teknologi yang dapat menggantikan sekitar 40 persen pekerjaan saat ini dengan adanya urbanisasi yang menyebabkan penduduk perkotaan mencapai 65 persen dan peranan PDB 70 persen, perdagangan global akan tumbuh 3.4 persen per tahun, terjadi persaingan memperebutkan sumber daya alam, dan perubahan iklim ke cuaca ekstrim yang cenderung menimbulkan bencana.

Dimana poin-poin itu salah satunya sangat berhubungan dengan penyediaan pangan dunia, termasuk di Indonesia dan utamanya di Maluku yang terkait dengan pangan lokal (Kementerian PPN/Bappenas RI, 2023).

“Dengan itu sehingga, ketersediaan pangan yang baik belum menjamin pemenuhan kecukupan pangan yang baik bagi masyarakat, karena hal ini sangat bergantung dari keterjangkauan atau daya beli masyarakat. Untuk itu, peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang perlu terus ditingkatkan. Apalagi, salah satu indikator proxy yang memperlihatkan kuatnya ketahan pangan lokal di suatu daerah adalah data garis kemiskinan,”ujarnya.

Dia mencontohkan gambaran garis kemiskinan pada tiga Provinsi Kepulauan di Kawasan Timur Indonesia, Maluku, Maluku Utara dan NTT. Dimana data menunjukan bahwa garis kemiskinan dari tahun 2015 sampai 2023 terus meningkat. Dan Maluku peningkatannnya cukup tinggi. Ditahun 2023 saja, angka itu mencapai Rp. 684.020 per kapita/bulan, Maluku Utara sebesar Rp564.733 per kapita/bulan (selisihnya Rp119,29) dan NTT sebesar Rp507.203 per kapita/bulan (selisihnya Rp176,82). Ini berarti bahwa salah satu indikasinya adalah ketahanan pangan lokal kita masih rendah, sehingga produksi dan produktivitas pangan perlu ditingkatkan, diikuti dengan pembenahan cost logistic distribusi.

“Sehingga untuk tantangan global pengadaan pangan lokal saat ini dan kedepan, saya memprediksikan akan menghadapi beberapa tantangan, khusus Provinsi Maluku dipengaruhi paling sedikit oleh empat hal utama, yaitu perubahan iklim global yang ekstrim, krisis geopolitik dan geoekonomi, terjadinya alih fungsi lahan pertanian, dan Maluku bergeografis kepulauan.

“Hal ini akibat masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi laut dan jalan di sejumlah lahan potensial, seperti di antaranya Buru Selatan, SBT, Aru dan MBD sangat membatasi usaha peningkatan produksi. Selain itu, di musim cuaca buruk, bulan Mei sampai pertengahan September sangat menghambat kegiatan distribusi pangan, terutama ke kabupaten/kota di wilayah bagian Tenggara, sehingga biaya distribusi cenderung meningkat yang juga meningkatkan harga pangan,”katanya.

Bahkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku, tercatat di tahun 2024, terdapat sejumlah komoditi pangan dan non pangan yang sering menyebabkan inflasi di Maluku, yaitu Komoditi Pangan (beras, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabe besar, sawi, bayam, dan kangkung).

Kemudian ikan (cakalang, layang, selar dan tongkol), juga telur ayam (daging tidak menyebabkan inflasi karena keseharian masyarakat Maluku dominan mengkonsumsi ikan). Sedangkan untuk Komoditi Non Pangan & Administrasi Price yaitu Rokok dan Transportasi/tiket pesawat.

“Untuk itu, strategi yang perlu dilakukan untuk penguatan pangan lokal adalah menjamin penyediaan pasokan/stok pangan melalui kegiatan pencegahan konvensi lahan pertanian ke non pertanian, peningkatkan produksi dan produktivitas secara intensifikasi dan ekstensifikasi, difersifikasi pemanfaatan sumber pangan yang tersedia, diantaranya adalah tanaman aren yang bertumbuh disebagian besar hutan di Maluku, serta meningkatkan ketersediaan stok cadangan pangan, melakukan digitalisasi produksi dan pemasaran hasil pangan lokal unggulan. Selain itu, menjamin kelancaran distribusi pangan lokal yang didukung dengan kegiatan penurunan disparitas harga pangan lokal antar wilayah dan antar waktu, terutama dimusim cuaca buruk,”jelasnya.

Dengan itu, perlu dilakukan komunikasi yang efektif untuk memastikan kelancaran koordinasi dan pengawasan untuk penyediaan pasokan, distribusi dan pencegahan spekulan, dan juga menjamin keterjangkauan harga pangan lokal melalui kegiatan operasi pasar dan bantuan pangan sosial serta untuk jangka panjang perlu dilakukan kegiatan peningkatan usaha ekonomi. (MON)

  • Bagikan