La Ega dan Fredy Pattipeilohy Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Unpatti

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Prof. Dr. Ir. La Ega, MS dan Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si, akan dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Pattimura (Unpatti), bertempat di aula lantai 2 Gedung Rektorat Unpatti, Rabu, 8 Mei 2024, pukul 09.00 Wit.

Prof. Dr. Ir. La Ega, MS, adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pangan Fakultas Pertanian yang akan menyampaikan pidato ilmiah di hadapan sidang senat terbuka dengan judul “Peta Potensi dan Kebutuhan Untuk Memperkuat Ketahanan Pangan Lokal di Era Maluku Emas 2025-2045”.

Sedangkan Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si, adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Hasil Perikanan yang akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul “Komersialisasi Produk Hasil Perikanan Melalui Hilirisasi Inovasi Tekhnologi Pengawet Alami Atung (Parinarium glaberimum, Hassk) Dalam Rangka Mendukung Pengembangan Ekonomi Biru (Blue Economy) Provinsi Maluku.

Dalam rilis pidato ilmiah Prof. Dr. Ir. La Ega, MS dikatakan bahwa pangan sangat penting mengingat memasuki dua dekade pembangunan kedepan, 2025-2045, manusia akan berhadapan dengan 10 megatren dunia. Enam di antaranya adalah meningkatnya penduduk yang sangat signifikan, perkembangan teknologi yang dapat menggantikan sekitar 40 % pekerjaan saat ini, adanya urbanisasi yang menyebabkan penduduk perkotaan mencapai 65 % dan peranan PDB 70%, perdagangan global akan tumbuh 3.4% per tahun, terjadi persaingan memperebutkan sumber daya alam, dan perubahan iklim ke cuaca ekstrim yang cenderung menimbulkan bencana.

“Keenam poin tersebut salah satunya sangat berhubungan dengan penyediaan pangan dunia, termasuk di Indonesia, utamanya juga Maluku yang terkait dengan pangan lokal (Kementerian PPN/Bappenas RI, 2023),” katanya.

Menurutnya, ketersediaan pangan yang baik belum menjamin pemenuhan kecukupan pangan yang baik bagi masyarakat, karena hal ini sangat bergantung dari keterjangkauan atau daya beli masyarakat. Untuk itu, peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang perlu terus ditingkatkan.

Apalagi, salah satu indikator proxy yang memperlihatkan kuatnya ketahan pangan lokal di suatu daerah adalah data garis kemiskinan. Dicontohkan gambaran garis kemiskinan pada tiga Provinsi Kepulauan di Kawasan Timur Indonesia, Maluku, Maluku Utara dan NTT. Data menunjukan bahwa garis kemiskinan dari tahun 2015 sampai 2023 terus meningkat.

“Dan Maluku peningkatannnya cukup tinggi, di tahun 2023 mencapai Rp684.020 per kapita/bulan, Maluku Utara sebesar Rp564.733 per kapita/bulan (selisihnya Rp119,29) dan NTT sebesar Rp507.203 per kapita/bulan (selisihnya Rp176,82). Ini berarti bahwa salah satu indikasinya adalah ketahanan pangan lokal kita masih rendah, sehingga produksi dan produktivitas pangan perlu ditingkatkan, diikuti dengan pembenahan cost logistic distribusi,” papar Prof. La Ega.

Untuk tantangan global pengadaan pangan lokal saat ini dan kedepan, kata Prof. La Ega, diprediksikan akan menghadapi beberapa tantangan, khusus Provinsi Maluku dipengaruhi paling sedikit oleh empat hal utama, yaitu perubahan iklim global yang ekstrim, krisis geopolitik dan geoekonomi, terjadinya alih fungsi lahan pertanian, dan Maluku bergeografis kepulauan.

“Masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi laut dan jalan di sejumlah lahan potensial, seperti di antaranya Buru Selatan, SBT, Aru dan MBD sangat membatasi usaha peningkatan produksi. Selain itu, di musim cuaca buruk, bulan Mei sampai pertengahan September sangat menghambat kegiatan distribusi pangan, terutama ke kabupaten/kota di wilayah bagian Tenggara, sehingga biaya distribusi cenderung meningkat yang juga meningkatkan harga pangan,” unkapnya.

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku, 2024, melaporkan bahwa selama ini terdapat sejumlah komoditi pangan dan non pangan yang sering menyebabkan inflasi di Maluku, yaitu Komoditi Pangan (beras, bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabe besar, sawi, bayam, dan kangkung).

“Kemudian ikan (cakalang, layang, selar dan tongkol), juga telur ayam (daging tidak menyebabkan inflasi karena keseharian masyarakat Maluku dominan mengkonsumsi ikan). Sedangkan untuk Komoditi Non Pangan & Administrasi Price yaitu Rokok dan Transportasi/ tiket pesawat,” jelas Prof. La Ega.

Dikatakan Prof. La Ega, strategi yang perlu dilakukan untuk penguatan pangan lokal adalah menjamin penyediaan pasokan/stok pangan melalui kegiatan pencegahan konvensi lahan pertanian ke non pertanian, peningkatkan produksi dan produktivitas secara intensifikasi dan ekstensifikasi, difersifikasi pemanfaatan sumber pangan yang tersedia.

Di antaranya adalah tanaman aren yang bertumbuh disebagian besar hutan di Maluku, serta meningkatkan ketersediaan stok cadangan pangan, melakukan digitalisasi produksi dan pemasaran hasil pangan lokal unggulan. Selain itu, menjamin kelancaran distribusi pangan lokal yang didukung dengan kegiatan penurunan disparitas harga pangan lokal antar wilayah dan antar waktu, terutama dimusim cuaca buruk.

“Melakukan komunikasi yang efektif untuk memastikan kelancaran koordinasi dan pengawasan untuk penyediaan pasokan, distribusi dan pencegahan spekulan, dan juga menjamin keterjangkauan harga pangan lokal melalui kegiatan operasi pasar dan bantuan pangan sosial serta untuk jangka panjang perlu dilakukan kegiatan peningkatan usaha ekonomi maupun pembukaan lapangan kerja baru,” terangnya.

Sementara dalam rilis pidato ilmiah Prof. Dr. Ir. Fredy Pattipeilohy, M.Si, yang pada kesimpulannya mengatakan bahwa komersialisasi produk hasil perikanan secara umum dalam bentuk segar (ikan utuh) dapat dilakukan dengan aplikasi penggunaan serbuk pengawet alami sebesar 0,3%, sedangkan dalam bentuk tuna loin dan surimi dengan larutan atung 4% (B/V).

“Untuk produk olahan lebih difokuskan pada ketersedian limbah produksi tuna loin utama yaitu daging merah (dark meat) atau tetelan yang cukup tersedia dengan rendemen sebesar 18%,” katanya.

Selain itu, lanjut Prof. Fredy, komersialisasi produk hasil perikanan secara umum dalam bentuk produk olahan juga dapat dilakukan dengan aplikasi penggunaan pengawet alami sebesar 4% (B/V). Dimana, untuk produk olahan lebih difokuskan pada ketersedian limbah produksi tuna loin utama yaitu daging merah (dark meat) atau tetelan yang cukup tersedia dengan rendemen sebesar 18%.

“Keuntungan usaha dari masing-masing produk yang lebih menguntungkan per satuan produksi. Khusus produksi tuna loin selisih penjualan yang dapat dipterima para nelayan Rp. 17.200 27.200 tergantung harga yang berlaku,” terangnya.

Dia menjelaskan, pada gilirannya komersialisasi produk hasil perikanan dapat menunjang kegiatan kaji tindak bila Provinsi Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan mendukung pengembangan Ekonomi Biru (Blue Economic) Hilirisasi Inovasi Teknologi Pengawet Alami Atung di Kawasan Gugus Pulau yang belum tersentuh perlu dilakukan dan strategis untuk diterapkan.

“Hilirisasi Inovasi Teknologi Pengawet Alami Atung di Kawasan Gugus Pulau yang belum tersentuh perlu dilakukan dan strategis untuk diterapkan, kaitan dengan digulirkannya 457 program pemberdayaan UKM di 12 Provinsi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2024,” pungkasnya. (RIO)

  • Bagikan

Exit mobile version