Makam Basah dan Hak Ahli Waris

  • Bagikan

Tulisan ini masih terkait lanjutan dari catatan saya sebelumnya soal materi kajian yang disampaikan Ustad Fachri Alkatiri, Lc, M.Si tentang: Harta dan Anak, Antara Nikmat dan Ujian, di acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Alkhairaat Ambon, pekan lalu, (11/12/23).

Kajian yang dimoderatori Pimpinan Alkhairaat KH.Ikram Ibrahim, Lc, itu masih berkisah soal harta, anak, dan pasangan suami-istri.

Anak, harta, suami dan istri, kata Ustad Fachri, dalam hidup ini semua adalah ujian.

Bila ajal kita tiba, semua yang kita cintai akan berpisah saat sampai di kuburan. Yang bisa membawa keselamatan di alam sana hanyalah harta dan amal kebaikan, anak yang saleh, serta ilmu yang bermanfaat.

“Begitu ajal kita tiba tanpa kecuali pasangan suami-istri yang telah diikat oleh sebuah perkawinan pun harus ikhlas kita lepaskan bersama pasangan kita,” ujarnya.

Tidak sedikit di antara kita banyak yang kita temukan bagaimana sebuah pasangan rumah tangga yang tadinya mengaku “sehidup-semati” tapi dengan kehendak Allah SWT mereka harus berpisah.

Ungkapan “sehidup-semati” pada hakikatnya hanyalah sebuah kata-kata. Meski pada kenyataannya tidak demikian.

Sebab faktanya tidak ada suami-istri yang kekal hidup di dunia. Atau ketika istrinya meninggal ia harus rela ikut masuk ke dalam kuburan. Begitupun sebaliknya.

Jadi ungkapan rasa cinta-kasih itu boleh diucapkan tapi jangan berlebihan. Apalagi sampai diikuti sumpah “sehidup-semati” atau sampai berjanji tidak kawin lagi, walau kenyataannya tidak sedikit banyak yang menikah lagi.

“Ungkapan rasa cinta suami kepada istrinya tidak dilarang. Begitupun cinta istri kepada suaminya boleh tapi jangan berlebihan,” ujar Ustad Fachri.

Ada sebuah cerita diungkapkan Ustad Fachri. Suatu waktu ada pasangan suami-istri yang telah 10 tahun hidup rukun dalam berumah-tangga namun tiba-tiba oleh sang suami di hadapan istrinya mengungkapkan keinginannya untuk kawin lagi dengan WIL (Wanita Idaman Lain).

Mendengar permintaannya itu sang istri menolak. Istrinya tak ingin dimadu karena saking cintanya kepada suaminya.

Sang istri yang belum dikaruniai anak itu keberatan dengan berbagai alasan. “Pokoknya jangan coba-coba,” begitu kata istrinya.

Rupanya suaminya tidak puas. Pada setiap kesempatan ia lagi-lagi meminta pendapat yang sama kepada istrinya untuk kawin lagi. “Kira-kira bagaimana pendapatmu,” katanya untuk kesekian kalinya.

“Apa?,” tanya istrinya.

“Yang itu. Kawin lagi,” kata suaminya lagi.

“Pokoknya jangan Anda coba-coba,” ujar istrinya mengancam.

Rupanya insting sang istrinya tajam. Ia tahu kalau suaminya itu tak berhenti bertanya untuk menikah lagi dengan WILnya.

Walhasil, masih cerita Ustad Fachri, karena sudah menjadi kehendak Tuhan istrinya tiba-tiba jatuh sakit.

Meski dilanda kabar tidak sedap soal WIL sang suami tetap setia menemani istrinya yang mendadak sakit itu. Kehidupan rumah tangganya tetap langgeng. Saling sayang.

Seiring berjalannya waktu selama sebulan kondisi kesehatan istrinya semakin menurun. Sang istri punya firasat tidak baik bahwa ajalnya untuk menemui Sang Khalik tidak lama lagi.

Melihat staminanya semakin menurun istrinya memanggil lagi suaminya ke kamar untuk menyampaikan prihal WILnya itu. Ia meminta suaminya untuk tidak berbohong soal permintaan kawin lagi dengan wanita pujaannya.

Mendengar keluhan itu ia meminta istrinya tidak lagi mengingat-ingat ucapannya itu, dan meminta istrinya agar fokus pada kesehatannya agar sembuh. “Saya tidak kawin lagi, yang penting mama sehat dulu,” kata suaminya.

Ajakan itu tidak ditanggapi sang istri, karena ia punya firasat kondisi kesehatannya tidak lagi memungkinkan untuk pulih karena itu ia meminta kepastian. “Karena saya yakin Anda pasti kawin lagi,” ujar istrinya.

Mendengar ucapan tersebut sang suami terdiam. Tak bisa mengelak.

Sampai di sini apakah ada yang salah?

“Tidak ada yang salah,” kata Ustad Fachri.

Kalau istri meninggal kemudian suami kawin lagi, kata Ustad Fachri, tidak ada yang bisa menghalangi. Begitupun sebaliknya kalau suami meninggal kemudian istri kawin lagi tidak ada yang bisa melarang.

Untuk istri yang suaminya meninggal kemudian menikah lagi ada syaratnya. Dalam tenggak waktu setelah 4,10/bulan menandai berakhirnya masa iddah baru bisa dinikahi oleh lelaki lain. Dan oleh agama itu dibolehkan.

Sebaliknya untuk suami yang ingin menikah lagi tidak punya batas waktu. “Tapi mar talalu lae (terlalu berlebihan) kalau istrinya meninggal siang hari malamnya suami sudah menikah lagi dengan perempuan lain,” ujar Ustd Fachri dengan dialek Ambon, ketawa.

Di sini ada pengecualian untuk istri-istri yang ditinggal mati suami dilarang dinikahi. Siapakah gerangan istri-istri yang suaminya meninggal tapi kita tidak dibolehkan menikahinya itu?

“Mereka adalah istri-istri Rasulullah SAW. Haram hukumnya istri Rasulullah kita nikahi. Sebab Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang diberi hukum Allah SWT yang istri-istrinya itu menjadi ummatul muslimin. Menjadi ibu bagi kita semua yang haram hukumnya untuk dinikahi,” ujarnya.

Karena itu, selain istri nabi seorang suami tidak boleh merasa hebat kemudian mengharamkan istrinya untuk tidak kawin lagi. “Itu tidak dibenarkan. Kita tidak punya hak. Yang punya hak seperti itu hanya Nabi SAW,” ujarnya.

Itulah mengapa penting bagi kita untuk tidak mengucapkan kata-kata cinta diikuti kata sumpah secara berlebihan kepada pasangan kita.

                          *

Kembali ke cerita awal karena istrinya tadi yakin suaminya akan kawin lagi ia lagi-lagi meminta suaminya untuk berkata jujur.

“Beta (saya) tidak mau dengar kata-kata yang tidak betul. Sebab kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan lagi untuk sehat. Tidak lama lagi ajal saya akan tiba dan kita berpisah,” ujar istrinya.

Belakangan istrinya menyadari bahwa ia tidak punya hak menghalangi suaminya kawin lagi. “Toh kalau sudah meninggal saya tidak punya kewenangan menahan Anda untuk kawin,” begitu kata istrinya.

Mendapat pertanyaan itu suaminya seolah kelabakan menjawabnya. “Demi Allah, selama mama punya kuburan masih basah saya tidak akan kawin,” ujar suaminya.

“Sumpah,” kata suaminya.

Tak lama kemudian istrinya pun meninggal dunia.

Bulan berganti kuburan istrinya tetap basah. Di bulan ketiga saat suaminya ziarah ia mendapati kuburan istrinya masih tetap basah. Ia curiga ada yang tidak beres.

Janji suami untuk tidak kawin lagi yang telah diikuti sumpah di hadapan istrinya ketika masih hidup dengan sendirinya terhalang.

Untuk memastikan apa gerangan setelah tiga bulan berlalu kuburan istrinya masih tetap basah. Pada suatu hari ia pun harus menyewa penjaga kuburan untuk memata-matai siapa gerangan yang datang ke kuburan. Hingga suatu waktu dari kejauhan ia mengintip dari balik kuburan tak disangka yang datang menyiram kuburan istrinya itu justeru adik iparnya.

Adik ipar ini memang telah diberi wasiat oleh istrinya untuk menyiram kuburannya bila kelak almarhumah telah wafat. Itu disampaikan oleh istrinya beberapa saat setelah pertemuan dengan suaminya berikut janji untuk tidak kawin lagi selama kuburannya basah. Begitupun soal pembagian harta warisan oleh almarhumah juga sudah disamapaikan kepada adik iparnya itu.

Walhasil sampai di situ suaminya paham. Ia pun ingat kisah Nabi Jusuf yang terjebak dalam godaan Zulaiha sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran. Dalam riwayat itu Allah SWT sebutkan: “Inna qaidah kum addim”. Artinya: “Sesungguhnya tipu daya kalian wahai perempuan itu dahsyat.”

Di sini muncul pertanyaan dari seorang penanya yang juga seorang ibu kepada Ustad Fachri.

“Lalu, bagaimana sumpah yang telah diucapkan sang suami. Kan jatuhnya dosa kalau dia tidak wujudkan niatnya untuk kawin lagi bila kemudian dia harus berzinah dengan wanita lain. Lebih baik dia kawin lagi daripada berzinah,” ujar penanya.

Di sini Ustad Fachri menjelaskan terhadap suami yang telah bersumpah untuk tidak kawin lagi selama kuburan istrinya masih basah itu hanya ada dua cara.

Pertama, sang suami bisa kawin lagi kalau adik iparnya meninggal. “Kalau meninggal berarti tidak ada lagi yang menyiram kuburan. Artinya kuburan istrinya dengan sendirinya kering,” kata Ustad Fachri ketawa.

Kedua, membayar kafarat atau melanggar sumpah/janji dengan dua cari yakni memberi makan kepada 10 orang fakir miskin atau memberikan pakaian lengkap yang lazim dipakai, dan kedua memerdekakan satu orang budak. “Jadi, tetap ada jalan keluar untuk suaminya bisa kawin lagi dari pada dia berzinah,” ujarnya.

Selain anak, suami dan istri, harta di sini juga adalah ujian. Terhadap harta berdasarkan hadis Nabi, menurut Ustad Fachri, disebutkan:

“Harta yang sebenarnya adalah harta yang telah Anda keluarkan di jalan Allah. Itulah harta yang akan kau nikmati. Sementara harta yang kau simpan itu bukanlah hartamu, tapi harta ahli waris.”

Itulah mengapa kita dianjurkan untuk tidak menyimpan harta yang banyak, sebab setelah kita meninggal yang akan nikmati harta kita adalah orang lain.

Tapi kan ada anak-anak kita sebagai ahli waris?

“Betul. Tapi mereka tidak dapat harta ahli waris. Yang mereka dapat adalah hibah dari orang tua,” ujarnya.

Pernah suatu waktu Nabi Muhammad bertanya kepada sahabatnya: “Sebenarnya kalian ini lebih senang harta kalian atau harta ahli waris kalian?”

Nabi kemudian katakan: “Harta itu ada dua. Ada harta kalian dan ada harta ahli waris kalian. Kalian senang yang mana?”, tanya Nabi.

Sahabatnya kemudian menjawab: “Kami lebih senang harta kami ya Rasulullah!”

Nabi pun jawab: “Tidak benar. Kalian pasti lebih senang harta ahli waris kalian.”

Nabi melanjutkan: “Malukum maa qaddamtum. Wama luwa rikikum utaa hartum.” Artinya: “Harta kalian adalah apa yang telah Anda belanjakan atau keluarkan. Dan, harta ahli waris kalian adalah yang masih Anda tahan di tangan.”

Lalu bagaimana dengan harta atas anak-anak kita? “Mereka tidak dapat kecuali warisan di dunia yang telah dibagi-bagi oleh orang tuanya saat masih hidup,” ujar Ustad Fachri.

Itulah mengapa penting bagi kita sebagai orang tua, menurut Ustad Fachri, ketika orang tua masih sehat agar sudah harus membagikan harta warisan bukan menjelang kematian baru hartanya dibagi-bagi.

Nabi jauh sebelumnya telah mengingatkan kita sebagai orang tua agar tidak boleh saat sakit-sakitan atau menjelang meninggal dunia baru kita kasih wasiat. Kalau masih sehat baru dibagi-bagi hak ahli waris itu bebas. Tapi kalau sudah sakit-sakitan atau menjelang kematian maka itu tidak boleh lebih dari 1/3. Sebab di sana ada potensi untuk menghilangkan hak ahli waris.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version