Suyono, Pengusaha Tahu Puluhan Tahun di Ambon

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Tahu dan tempe memang bukan makanan khas orang Maluku. Tapi karena kandungan gizi-nya, tahu dan tempe kini menjadi salah satu makanan favorit. Jatuh bangun para pengusaha berupaya agar tahu dan tempe tetap menjadi makanan pelengkap di dapur.

Jenis olahan makanan dari biji kedelai ini populer di tengah banyaknya kuliner yang semakin menjamur saat ini.
Dari beberapa penjual tahu dan tempe di Kota Ambon, poduk milik Suyono, SP menjadi salah satu pilihan masyarakat. Apalagi,
pabrik tahunya sudah berdiri sejak tahun 1950 dan masih eksis hingga saat ini.

“Usaha tahu ini turun temurun dari orang tua saya,” ungkap Shuken –sapaan Suyuno– kepada koran ini di tempat pabrik tahu, Lorong Tahu, Batu Merah Kota Ambon, kemarin.

Pria lulusan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura yang sudah berusia 52 tahun ini bercerita, orang tuanya mendirikan pabrik tahu pada tahun 1950. Saat itu pembuatan masih manual. Caranya menggiling biji kedelai menggunakan batu.

Awal mula pabrik tahu mereka berdiri di wilayah Skip, Ambon. Hanya saja usaha keluarga ini sempat terhenti karena konflik kemanusian tahun 1999.

Tidak begitu lama, pabrik tahu mereka kembali dibuka kembali tahun 2001, tapi lokasinya sudah berpindah.
”Orang tua pindahkan ke AY Patty, samping Puskud. Jadi sejak tahun 1950 sampai 1999, karena konflik kemanusiaan sempat terhenti. Saat itu pembuatan tahu masih manual,” kata pria tiga anak itu.

Seiring perkembangan, pabrik tahu lalu pindah ke Lorong Tahu di Batu Merah, Kecamatan Sirimau Kota Ambon, pada tahun 2004.

Setelah ikut perkembangan teknologi modern, yang tadinya pembuatan tahu secara manual. Kini sudah menggunakan mesin pengelolaan tahu, mesin itu disebut mesin penggiling tahu.

“Dari tahun 2004 itu kita sudah mengunakan mesin pembuatan rahu,” tutur suami dari Dewi Suyono ini.

Lelaki yang hoby offroad dan balapan motor dengan tim BMR ini mengatakan, dia melanjutkan usaha tahu orang tuanya karena diminta bapak ibunya.
Pasalnya, waktu itu adik dan kakak-kakaknya sekolah di Jawa. Sehingga Suyono yang sekolah di Ambon dipercayakan melanjutkan usaha orang tua.

“Saya memang ditunjuk langsung, kebetulan saya di Ambon. Saat itu usia masih 30 tahun. Sejak saat itu usaha orang tua ini saya lanjutkan hingga sekarang,” tutur dia.

Suyono yang juga Pembina Indonesia Offroad Federation (IOF) Pengda Maluku ini juga menambahkan, dia terpaksa menerima amanah yang diberi agar usaha tahu dan tempe tidak mati di Ambon.
“Hal itu saya dibuktikan dengan masih beroperasi hingga sekarang,” optimisnya.

Menariknya, Suyono berkisah juga bahwa, kendati dia seorang sarjana, ia tidak malu untuk melanjutkan usaha orang tuanya.

Dari penjualan tahu, Suyono bersyukur sudah penuhi kebutuhan hidup, sedikit demi dikit bisa menabung bahkan bisa sekolahkan anak. Bukan hanya itu, jika punya uang yang lebih, ia juga bisa berinvestasi beli tanah, rumah, kendaraan dan semua itu adalah hasil produksi tahu.

“Saya bersyukur dari penjulan tahu bisa menghidupi keluarga saya, dan tiga orang anak saya bisa sekolah,” cerita Suyono.

Ia mengisahkan, harga tahu dan tempe saat awal produksi ketika dikelola orang tuanya hanya dihargai Rp.800 untuk setiap potong. Namun produksi tahu ini terus naik harga karena bahan baku juga naik.

“Ini bahan baku dari kayu dan kedelai. Kalau kayu naik pasti harga tahu naik. Begitu juga harga kedelai. Kita ambil kayu dari langganan, jika kayu abis kita cari alternatif lain misalnya minyak tanah,” terangnya.

Soal jumlah yang diproduksi, ia mengaku sangat tergantung pasar.
”Di Ambon produksi tahu tergantung harga ikan dan sayur di pasar. Jika ikan dan sayur murah berarti produksi tahu dikurangi, jika mahal maka produksi tahu tambah, harganya pun lumayan,” beber dia.

Dikatakannya, ada beberapa industri tahu di Ambon, sehingga persaingan semakin banyak. Hanya saja jika, terkadang ada juga persaingan tidak sehat.
” Ada yang jual di pasar di bawa harga standar.
Kalau persaingan tidak sehat itu yang biar bagaimanapun ada pengaruh juga bagi produksinya kita. Intinya tidak ada target per hari. Masalah pendapatan itu tergantung,” katanya.

Di akhir ceritanya, pri yang lahir di Kota Ambon ini mengatakan, semua orang boleh sekolah untuk menambah ilmu, tapi tidak selamanya yang bergelar sarjana harus jadi pegawai negeri.
”Jangan malu, bertitel sarjana pun, kalau punya niat usaha, jangan tanggung-tanggung. Yang penting analisa dengan baik jenis usahanya dan mulailah bekerja, kendati modal kita sedikit. Ingat, semangat berusaha itu lebih penting. Apalagi kalau sudah bisa menghidupkan orang lain. Sensasinya beda,” ajak Suyono. (**)

  • Bagikan