Umar: Birokrat Lebih Pas, Leiwakabessy: Yang Penting Kapabel dan Ledersip

  • Bagikan
Jefri Leiwakabessy

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — Jabatan Gubernur Maluku diinformasikan akan berakhir 31 Desember 2023.

Ada sejumlah orang yang dikabarkan bakal mengantikan Murad Ismail sebagai pejabat gubernur mengisi kekosongan pemerintahan, ketika masa kepemimpinan Murad dan Orno sebagai wakil selesai.

Mereka adalah Sekretaris Daerah Provinsi Maluku, Sadli Iie, Rekor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Zainal Abidin Rahawarin, dan Deputi Bidang Operasi Keamanan Siber dan Sandi Mayjen TNI Dominggus Pakel. Tiga nama ini semuanya berdarah Maluku.
Akademisi IAIN Nasaruddin Umar mengatakan, sipil dalam hal ini pejabat eselon I berhak mengisi jabatan ini ketimbang TNI atau Polri.

“Banyak pejabat atau PNS kita di Maluku ini yang memenuhi syarat. Ada banyak pejabat eselon I, Sekda itu pejabat eselon I, pejabat tinggi madya, rektor juga jabatan eselon I,” kata Nasaruddin Umar kepada Rakyat Maluku, Kamis, 2 November 2023.

Pengangkatan pejabat eselon I, menurutnya, sangat demokratis. Paham akan birokrasi pemerintahan,” ujarnya.

Sementara dari kalangan militer maupun Polri, dirinya menilai kalau mereka pas pada bidang pertahanan dan keamanan saja.

“Kewenangan institusi kepolisian dan TNI, merujuk pada pasal 30, UUD 1945 jelas, tupoksi mereka itu pada wilayah konstitusi pertahanan keamanan negara dan penanganan hukum. Kalau kedua institusi ini digiring masuk ke dalam pemerintahan daerah, bertentangan dengan konstitusi. Kalau ada kebutuhan mendasar dalam
konteks jabatan-jabatan pemerintahan itu pun kewenangan pusat. Misalnya TNI terlibat di pemrintahan, di BNPT, lembaga Narkoba, bencana, itu relevan dengan fungsi keamanan,” ujarnya.

Fungsi TNI dan Polri ini sudah jelas tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004, dan UU Nomor 2 Tahun 2002.
Karena itu, penetapan kepala daerah, jika bicara basic konstitusi sangat lemah bahkan tidak memeliki pijakan konstitusional.

“Nah, kalau kita kaitkan dengan perundang-undangan itu juga sudah jelas diatur dalam baik dalam UU Kepolisian TNI. (Di TNI) diatur dalam Pasal 47 UU TNI. Kalau TNI ingin menduduki jabatan-jabatan sipil, maka dia harus mengundurkan dari atau pensiun dari dinas aktif. Pasal 47 ini tidak bisa ditafsir lagi,” ucapnya.

Dirinya menambahkan, bila menempatkan militer pada jabatan kepala daerah, maka itu melanggar konstitusi.

“Jabatan Gubernur itu jabatan publik jadi tidak bisa diisi anggota TNI Polri. Kalau dari sisi manajerial, tidak cocok. TNI itu dari sisi pengalaman kerja dia tidak dilatih untuk memimpin pemerintahan. Dia hanya dilatih untuk keadaan perang, mempertahankan negara. Kalau dia mengundurkan diri boleh,” tandasnya.
Lain halnya dengan Nasrudin Umar, akademisi Fisipol Unversitas Pattimura (Unpatti) Dr. Jeffry E . M. Leiwakabessy, SPi. M.Si., menyebutkan, yang terpenting, Pejabat Gubernur Maluku mestinya sosok yang capable, punya jiwa leadership, serta paham peraturan perundang-undangan.

“Maluku tidak butuh latar belakang TNI, Polri, atau ASN. Artinya bahwa pimpinan yang disodorkan oleh pemerintah pusat, haruslah orang-orang yang punya kapasitas dan kompetensi sesuai tiga kriteria tadi. Kalau misal kita bicara berdasar latar belakang karir itu pikiran yang sangat naif dan picik, apa lagi sampai masuk pada unsur ras dan agama” ungkap Jeffry saat diwawancarai via selulernya, Kamis 02 November 2023.

Pasalnya, kata Jeffry, dari sisi akademisi intelektual, jangan pernah membatasi pikiran soal latar belakang siapa yang diusul, baik TNI Polri atau ASN.

“Pertama orang Maluku ketika berhadapan dengan konflik yang terjadi, pasti dikotomi pikir itu akan terjadi. Pertama ras diperhitungkan, dan kedua latar belakang diperhitungkan. Dua hal itu menjadi penilaian utama kita siapa yang layak memimpin. Inilah yang mesti kita hindari, ” ungkap Dosen Jurusan Sosiologi itu.

Menurut pandangan dirinya bahwa kalau masukan TNI atau Polri pasti pertimbangannya berbeda. Atau masukan dengan momentum agama pun sangat berbeda.

“Tapi nilai kepemimpinan itu, harus dilihat dan dimaknai bahwa orangnya punya jiwa kepemimpinan yang capable, leadership dan paham akan peraturan perundang-undangan. Itu yang dibutuhkan,” tandasnya.

Jika bicara dari latar belakang sosok atau figur, katanya pula, maka nuansa politik akan sangat kuat. Bahkan sampai pada tingkat pusat pasti pembelaanya beragam. Pasti ada titipan-titipan politik.

”Oleh karena itu, marilah kita membuka wawasan, membuka diri untuk tidak melihat dari mana dia berasal, karena kita akan terjebak dalam proses itu,” papar dia.

Ditambahkan pula, orang Maluku dengan berbagai kondisi dan pikirannya kalau mau bicara tentang Polri, bahwa pangkatnya Jenderal. Namun ketika memimpin, pasti ada dikotomi-dikotomi pikiran yang terbentuk di masyarakat bahwa dia ini tidak layak menjadi pemimpin. Karena yang dia bawa ialah institusi dan segala sesuatu yang menurut pikirannya itu benar dan menurut pikiran masyarakat tentu mereka bertanya-tanya.

“Netralitas juga penting dan harus dijaga. Ddikotomi latar belakang bukan mempengaruhi kita tapi mempengaruhi dikotomi-dikotomi sebagai pimpinan. Sehingga tidak ada orang yang disudutkan,” imbuhnya.

(AAN-SSL)

  • Bagikan

Exit mobile version