Polemik Ranperda Pertanggungjawaban APBD Tidak Produktif

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Wakil Dekan I Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Ambon (IAIN) Ambon, Dr. Nasaruddin Umar, SH., M.H, menilai polemik seputar pembahasan Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau (PPAPBD) Provinsi Maluku Tahun 2022, tidaklah produktif.

Menurut dia, secara filosofis pembahasan Ranperda PPAPBD seharusnya dipandang sebagai satu agenda bersama pemerintahan daerah untuk kepentingan masyarakat Maluku, namun demikian pembahasannya tidak bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah.

“Sebab berbicara soal Ranperda PPAPBD 2022 adalah kesatuan semacam one unified system dari sistem pengelolaan keuangan daerah yang sudah paten sifatnya meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta pengawasan keuangan daerah, dan harus didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih atau principles of good and clean governance seperti dilakukan secara tertib, transparan, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat kepada masyarakat atau kepentingan umum guna terciptanya pemerintahan yang baik,” tandas dia kepada media ini kemarin.

Maka, lanjutnya, prinsip ini yang harus dipegang bersama yaitu aturan main dan prinsip pengelolaan keuangan daerah, jadi tidak tepat jika dilandasi prinsip atau motivasi individu, kelompok politik tertentu, apalagi sampai pada ego kelembagaan untuk saling menjatuhkan, saling menghakimi satu sama lain, mencari-cari kesalahan atau merasa diri paling benar dan bersih.

“Termasuk cara pandangnya dalam konteks sistem pemerintahan daerah baik pemerintah daerah Provinsi Maluku maupun DPRD posisinya memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama, karena produk hukum APBD secara perencanaan dibuat melalui Perda yang dibahas dan ditetapkan secara bersama, dan dalam APBD itu memuat anggaran bukan hanya pemerintah daerah tetapi juga di dalamnya ada anggaran DPRD yang juga harus dipertanggungjawabkan,” Kata Nasaruddin

Menurutnya, paradigam prinsip pengelolaan keuangan dan sistem pemerintahan daerah yang demikian, maka desain ketetanegaraannya.
Dikatakan pula, menyangkut mekanisme pemeriksaan pelaksanaan APBD sudah diatur bukan pada lembaga DPRD tetapi diberikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai badan yang dibentuk negara untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23 E UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, di mana mekanismenya adalah pemeriksaan BPK dilakukan paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir, alur pertanggungjawabannya diawali dengan laporan keuangan yang dibuat bendahara dan BPK melakukan pemeriksaan apabila terdapat kekurangan kas/barang maka diberi waktu pertanggunjawaban bendahara untuk menyelesaikan, sehingga jika ada masalah pertanggungjawaban pada tahap ini sudah diselesaikan.

Selanjutnya, tandasnya pula, laporan keuangan yang telah diperiksa (audite finacial statements) tentang pelaksanaan APBD dilaporan ke DPRD oleh BPK dan dilampirkan dalam rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD (ranperda PPAPBD) jadi sifatnya laporan untuk selanjutnya dibahas bersama dengan Pemerintah Daerah paling lambat 7 bulan setelah pelaksanaan APBD 2022 berakhir.

Lebih lanjut Nasaruddin menambahkan, jika mengacu pada ketentuan Pasal 320 UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan evaluatif atas Ranperda PPAPBD ada ditangan Menteri dalam hal ini Kementerian dalam Negeri Dirktorat jenderal Bina Administrasi Keuangan Keuangan Daerah, bukan di tangan DPRD.

”Materi evaluasinya lebih bersifat audit atributif artinya apakah Raperda PPAPBD yang telah disetujui bersama DPRD telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti Perda Provinsi tentang APBD dan apakah telah menindaklanjuti temuan laporan hasil pemeriksaan BPK, jika tidak sesuai maka DPRD dan Gubernur melakukan penyempurnaan paling lama 7 hari setelah hasil evaluasi dari menteri diterima,” tambahnya.

Selanjutnya, katanya pula, apabila terdapat indikasi kerugian negara dalam pelaksanaan pengelolaan kuangan daerah, hal itu telah mekanismenya dalam UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, seperti jika terjadi kekurangan kas/barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara maka BPK memberikan batas waktu pertanggungjawaban bendahar atas kekurangan kas/barang yang terjadi hal ini mekanismenya telah diatur dalam Peraturan BPK No. 03 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara.

”Sehingga tidak elok rasanya jika ada anggota DPRD Maluku misalnya yang mengatakan ada kerugian negara dalam proyek APBD tanpa didasari dari hasil temuan BPK, apalagi jika membebankan pertanggunjawabannya kepada kepala daerah atau atau orang perorangan, tentu bukan lagi ranah DPRD untuk itu dan jelas ini bertentangan dengan alur mekanisme pertanggungjawaban keuangan daerah dan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah dan serta ketentuan peraturan perundang-undangan,” sanggahnya..

Apalagi, kata Nasruddin, Badan Pemeriksa Keuangan sendiri telah menyerahkan laporan hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Daerah Provinsi Maluku Tahun Anggaran 2022 seperti yang kita ketahui pada rapat Paripurna DPRD provinsi Maluku tanggal 23 Mei 2023, pada kesempatan tersebut disampaiakan empat kali berturut-turut Maluku yakni tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 memperoleh penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Pemerintah provinsi Maluku Tahun Anggaran 2022.

”Artinya laporan keuangan dibuat berdasarkan bukti-bukti dan dianggap telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku dapat dipertanggungjawabkan, maka menjadi aneh dan tidak relevan jika masih ada yang mempersoalkan pertanggungjawaban APBD Maluku Tahun 2022, kecuali jika ada dugaan terjadinya tindak pidana korupsi maka sudah barang tentu bisa diusut oleh pihak APH atau aparat penegak hukum,” tegasnya.

Itulah sebabnya, kata Nasaruddin, dalam penyampaian laporan rancangan PPAPBD, hasil laporan BPK tersebut juga dilampirkan dalam Ranperda PPAPBD sebagaimana perintah dalam pasal 194 ayat (1) PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

”Kepala Daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, jika hasil penilaiannya WTP maka secara pertanggungjawaban anggaran APBD 2022 seharusnya sudah clear dan clean,” tegasnya lagi.

Dia menambahkan, pihak DPRD maluku maupun Pemerintah Daerah sebaiknya saling menahan diri dan berpikir lebih jernih untuk kepentingan Maluku, sebab jika polemik seperti ini terus berlangsung maka dikhawatirkan akan mengganggu perencanaan anggaran untuk APBD tahun 2024 yang seharusnya justru lebih produktif untuk dikaji karena menyangkut kepentingan masyarakat dan pembangunan Maluku yang lebih luas.

Di sinlah point mendasarnya bahwa persoalan anggaran daerah menyangkut hajat hidup orang banyak karena itu mesti prinsipnya harus tertib, taat aturan, efisien dan mengesampinkan kepentingan-kepentingan diluar hukum. Termasuk prinsip tertib aturan, tidak boleh ada kesan saling “menyandera APBD” sebab pada sistem perencanaannya yang telah diatur sedemikian rupa dengan jadwal dan tahapan serta prosedur yang cepat, terukur dan efektif, sehingga meskipun DPRD Maluku tidak menyetujui atau tidak tercapai persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD dalam waktu 1 bulan sejak diterimanya Ranperda tentang PPAPBD oleh DPRD maka aturan memberikan kewenangan atributif kepada Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Kepala Daerah atau Perkada tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setelah memperoleh pengesahan dari Menteri,” ulas dia..

Lalu, kata dia, pengesahan dari menteri diperoleh setelah ranperkada PPAPBD beserta lampirannya disampaikan paling lamat 7 hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala daerah terhadap Ranperda PPAPBD selanjutnya dalam hal dalam batas waktu 15 hari Menteri tidak mengesahkan rancangan Perkada PPAPBD kepala daerah menetapkan rancangan Perkada tersebut menjadi Perkada, mekanisme seperti ini telah diantisipasi dan diatur Pasal 194-197 Peraturan Pemerintah 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah untuk memberikan solusi hukum apabila dalam proses pertanggungjawaban terjadi kendala atau disharmoni pola komunikasi dan relasi dalam pemerintahan daerah dan pemerintah pusat tujuan utamanya agar pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah tidak terganggu atau terhambat. (RIO)

  • Bagikan