Urgensi Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemilu

  • Bagikan
  • Catatan: Olivia Chadidjah Salampessy/L
  • WAKIL KETUA KOMNAS PEREMPUAN

PROSES perhelatan pesta demokrasi 2024 sedang berlangsung. Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu tengah disibukkan dengan berbagai kesiapan seperti perekrutan pengawas pemilu sebagaimana amanat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Berbagai Tim Seleksi Calon Anggota Bawaslu di seluruh Indonesia sedang melakukan pemilihan anggota Bawaslu di semua tingkatan. Tidak terkecuali Tim Seleksi Calon Anggota Bawaslu Provinsi Maluku yang membuka pendaftaran Calon Anggota Bawaslu Provinsi Maluku Periode 2023-2028 hingga 3 Mei 2023. Putra dan putri terbaik dipanggil untuk mendaftarkan diri.

Sebagaimana ketentuan Pasal 92 ayat (11) UU No. 7 Tahun 2017 yang menyatakan “Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”, hal ini diharapkan dapat diwujudkan seperti halnya komposisi Tim Seleksi Calon Anggota Bawaslu Provinsi Maluku yang menghadirkan 80% keterwakilan perempuan (hanya Provinsi Maluku yang melebihi ketentuan afirmasi 30%).

Keterwakilan perempuan bukan soal angka-angka namun merupakan perwujudan pemenuhan hak warga negara khususnya hak politik sebagaimana telah dijaminkan oleh konstitusi UUD 1945 maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Sebut saja Pasal 27 ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, UU No 68 Tahun 1958 (Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan), UU No. 7 Tahun 1984 (Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita/CEDAW), Pasal 46 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia, maupun UU No. 12 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR).

UU Pemilu telah memasukkan ketentuan 30% keterwakilan perempuan tidak saja pada komposisi penyelenggara pemilu  tetapi juga sebagai syarat bagi Partai Politik untuk dapat menjadi peserta pemilu (Pasal 10 ayat (7), Pasal 22 ayat (1), Pasal 92 ayat (11), Pasal 173 ayat (2e) dan Pasal 245).

Ketentuan afirmasi 30% merupakan jaminan hukum dalam bentuk tindakan khusus sementara adalah sangat penting, karena menurut penelitian yang dilakukan oleh PBB, jumlah minimum 30% adalah suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan.

Tindakan khusus sementara ini tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami perempuan selama berabad-abad. Apabila kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki sudah terjadi, maka tindakan khusus ini dihentikan.

Untuk mengoptimalkan kebijakan afirmasi, diperlukan aturan teknis/pedoman teknis pelaksanaan afirmasi 30% keterwakilan perempuan dalam setiap pentahapan seleksi pengawas Pemilu. Tim Seleksi harus memastikan proses dan hasil seleksi memenuhi keterwakilan perempuan sesuai amanat konstitusi dan undang-undang.

Hal ini penting untuk menghadirkan penyelenggaraan pemilu yang ramah perempuan dan inklusi (lansia & disabilitas) sehingga diperlukan kepekaan dari penyelenggara pemilu terhadap kerentanan perempuan dalam pemilu.

Kepekaan Penyelenggara Pemilu terhadap Kerentanan Perempuan dalam Pemilu

Penyelenggara Pemilu diharapkan peka terhadap kerentanan perempuan dalam Pemilu. Para penyelenggara Pemilu perlu mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk lansia dan disabilitas serta mencegah terjadinya kekerasan dalam pelaksanaan Pemilu.

Perempuan sebagai calon/kandidat, perempuan sebagai pemilih, perempuan sebagai pendukung politik,  perempuan sebagai penyelenggara pemilu maupun perempuan sebagai anggota keluarga rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang saling beririsan secara usia, etnis maupun agama.

Bentuk kekerasan yang harus dikenali yaitu kekerasan fisik seperti penculikan, penahanan dan pembunuhan, kekerasan psikis berupa pembunuhan karakter, kekerasan ekonomi berupa penolakan biaya politik, pencurian dan pengrusakan properti, kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual dan perkosaan  dan juga kekerasan siber seperti ujaran kebencian dan narasi hoax.

Kekerasan dapat dilakukan secara offline dan online secara pribadi maupun publik. Pelaku kekerasan juga beragam, mulai dari politisi, konstituen, pemilih, anggota keluarga, tokoh adat/agama, lawan politik, anggota parpol, jurnalis, komunitas hingga negara.

Tahun 2024 sebagai tahun politik karena perhelatan Pemilu serentak dan Pilkada  menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan dalam konteks demokrasi elektoral. Penyempitan ruang politik perempuan yang hendak mencalonkan diri akibat minimnya akses politik dan ekonomi, kuatnya politisasi agama dan adat, praktik budaya yang bias gender, dan stigmatisasi pada perempuan yang berkegiatan di politik serta  eksploitasi isu perempuan yang digunakan untuk menjatuhkan maupun menghalangi perempuan sebagai calon/kandidat, masih banyak digunakan lawan politik dan kelompok pendukungnya untuk kepentingan pemenangan.

Penyelenggara Pemilu patut mengenali kekhawatiran perempuan akan keamanan, baik sebelum, saat, dan setelah pemilihan  terutama menguatnya politisasi agama dan identitas yang menghambat mobilitas dan partisipasi perempuan dalam bersuara dan memberikan suara, terutama di daerah-daerah yang rawan konflik.

Menghadirkan Pemilu yang ramah perempuan dan inklusi membutuhkan kemauan, peran serta dan dukungan kuat bukan saja dari partai politik tetapi juga dari lembaga penyelenggara pemilu, media dan masyarakat.

Mengedepankan perspektif hak asasi manusia (HAM), mendekatkan perempuan dengan pengetahuan kepemiluan tentang aturan, proses, pelaksanaan, penetapan dan pelanggaran Pemilu.

Begitu pula dengan pengetahuan tentang keamanan digital terkait kampanye dan pencitraan diri di media sosial selain tentunya mengenali bentuk kekerasan, mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu dan menghentikan pembungkaman, juga menyediakan Posko Pengaduan dan Bantuan Hukum bagi perempuan.

Juga menjadikan Tragedi Pemilu 2019 sebagai pembelajaran, dimana terdapat satu anggota KPPS perempuan meninggal dalam keadaan hamil delapan bulan di Aceh, 11 anggota KPPS perempuan mengalami keguguran di Kediri, Tegal, Konawe, Grogol, Sragen, Koja, Kertanegara, Ngawi, Lamongan dan satu anggota KPPS perempuan melahirkan pada kehamilan lima bulan di Lombok Timur karena beban kerja, kelelahan dan penyakit yang diderita.

Pada akhirnya urgensi keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu tidak saja karena amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk keadilan dan kesetaraan tetapi juga untuk menghadirkan Pemilu yang ramah perempuan dan inklusi serta sebagai strategi untuk mensinergikan kontribusi dan manfaat pembangunan bagi laki-laki dan perempuan sebagai warga negara.(***)

  • Bagikan