Suasana Ruangan Auditorium Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon seketika hening. Terdengar suara tangis dari balik podium.
Suara tangis itu tidak lain datang dari seorang maha guru bernama Prof DR Zainal Abidin Rahawarin, M.Si, Sabtu, (18/3/23).
Prof Zainal yang Rektor IAIN Ambon saat itu sedang menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar dalam bidang pemikiran politik Islam dengan judul: Demokrasi Modern dan Politik Transaksional dalam Perspektif Pancasila dan Islam.
Di tengah pidatonya itulah Prof Zainal tak kuasa menahan kesedihan saat menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tuanya dan para guru.
Mengenang jasa orang tua dan gurunya yang telah membimbingnya hingga mencapai puncak akademik tertinggi yang ditandai oleh pengukuhannya sebagai guru besar itulah membuat ia sedih dan meneteskan air matanya.
Suasana seketika menjadi hening. Semua mata memandang kepada sang professor. Tanpa kecuali Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) RI Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramadhani, S.TP, MT, juga para Anggota Senat IAIN Ambon yang dipimpin Ketua Senat DR.Abdullah Latuapo, itu.
Pagi menjelang siang itu ruang auditorium telah dipenuhi ratusan pengunjung. Ada akademisi, birokrat, mahasiswa, para staf akademika di lingkungan kampus IAIN Ambon, dan sanak keluarga Prof Zainal.
Mereka ini tidak lain undangan yang sedang menanti prosesi Pengukuhan Guru Besar Prof Dr. Zainal itu. Dirjen Kemenag Prof Muhammad Ali Ramadhani juga ikut dibuat terharu menyaksikan kesedihan Prof Zainal.
“Ini tanda orang hebat. Ciri orang hebat itu selalu menghormati kedua orang tua. Terutama sang ibu,” ujar Prof Ali.
Mengapa ibu yang utama? Dari hasil studi yang dilakukan oleh para ahli kesehatan menyebutkan 20 persen air yang dialirkan kepada sang anak sejak masih dalam jabang bayi berasal dari sang ibu.
Dari hasil studi itu, ada lima jenis air yang mengalir dari tubuh ibu yakni air darah saat menjadi janin, air ketuban, air susu, air keringat, dan air mata saat ia mendoakan anaknya. “Hormatilah ibumu dan ayahmu maka semua rakhmat akan datang,” ujarnya.
Selain menyebutkan nama kedua orang tuanya Muhammad Sidiq Rahawarin dan Ibunda Zainab Rahawarin (Almh), ia juga menteskan air mata saat menyapa guru, dosen, dan saudara kakak-beradik. Keluarga Rahawarin termasuk dikenal sebagai keluarga pendidik dan birokrat.
Ciri lain dari orang hebat itu, menurut Prof Ali yakni selalu bersyukur atas rakhmat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dan, kehebatan dari rasa syukur itu telah dibuktikan oleh Prof Zainal ditandai dengan pengukuhannya sebagai guru besar hari ini.
Dengan dikukuhkannya Prof Zainal sebagai maha guru berarti IAIN Ambon kini sudah punya guru besar baru di bidang ilmu pemikiran politik Islam.
Studi pemikiran Islam oleh Prof Zainal ini telah lama didalaminya sejak ia duduk di bangku S1 pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat di Kampus IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Kemudian dilanjutkan S2 di UGM Jogya, dan S3 di IAIN Sunan Kalijaga Jogya.
Prof Zainal lahir di Kota Tual 3 Maret 1964, Maluku Tenggara. Ia satu di antara guru besar yang punya spesifikasi di bidang ilmu pemikiran politik Islam di IAIN Ambon.
Ia termasuk 30 guru besar lainnya dari berbagai perguruan tinggi di bawah Kemenag pada 2 Januari 2023 diputuskan melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) RI yang diserahkan langsung Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas pada puncak peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Kemenag ke-77 pada 3 Januari 2023.
Saya tentu berterima kasih kepada sobat Ismail “Mael” Hehanussa atas pemberian undangannya menghadiri pengukuhan maha guru di bidang pemikiran Islam pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, itu.
Di fakultas dan jurusan yang sama mengingatkan saya 37 tahun lalu juga pernah “nyambi” di Kampus IAIN Alauddin Makassar dengan studi serupa.
Setelah puluhan tahun berlalu, rupanya studi pemikiran politik Islam tidak termakan zaman. Ia selalu saja menarik dan tetap aktual mengikuti dinamika politik Tanah Air.
Studi di bidang ilmu pemikiran politik Islam di kampus yang dipimpin Prof Zainal itu — sampai sejauh ini baru punya satu guru besar di bidang studi yang terbilang langka itu.
Iklim politik Indonesia hari ini menuntut kajian pemikiran politik Islam harus lebih banyak melahirkan para pemikir atau intelektual dari kampus yang berbasis Islam. Dan, IAIN Ambon dalam hal ini Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, tentu harus menjadi pelopornya.
Politik kontemporer Indonesia saat ini yang kerab menghadap-hadapkan antara hegemoni kekuasaan dengan politik pemikiran Islam menuntut kerja-kerja intelektual dari dunia kampus harus lebih digairahkan dan diberdayakan.
Semakin dekatnya Pemilu menandai gesekan politik dengan Islam kerab semakin meruncing. Dan itu tentu bisa menjadi studi menarik bagi para cerdik-pandai dari kampus hijau.
Kita tahu saat ini untuk meraih kantong-kantong suara peran elite politisi kita begitu dominan menghiasi wacana politik. Aneka idiom-idiom politik antarpendukung dengan elite partai terus menghiasi jagat politik kita.
Kita ketahui pula iklim politik di Tanah Air selalu dihiasi oleh hegemoni kekuasaan hingga mengakibatkan benturan antarelite. Tidak saja di pusat tapi juga merembes ke daerah.
Alih-alih karena politik kekuasaan membuat gerakan pemikiran politik Islam menjadi sebuah politik fenomenal. Dan, jauh sebelum, saat, atau pasca kemerdekaan, gesekan pemikiran politik Islam dan kekuasaan telah mendominasi jagat politik Indonesia.
Pengaruh politik kekuasaan itu tentu tidak lepas dari perkembangan internalisasi pemikiran politik yang dikembangkan di Timur Tengah oleh para pemikiran Islam abad pertengahan seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dll menghadapi ekspansi yang dikembangkan melalui imperialisme dan kolonialisme Barat.
Prof Zainal menunjukkan pergulatan politik Islam dan demokrasi berikut praktek-praktek demokrasi di Indonesia serta politik uang yang terjadi belakangan ini tidak lepas dari hasil adaptasi ala demokrasi liberal yang mengagumkan individu.
Ikhtiar untuk mengkritik penerapan demokrasi di Indonesia bukan merupakan sikap penolakan terhadap demokrasi tetapi sejatinya dimaksudkan untuk menempatkan gagasan demokrasi dalam konteks yang lebih Indonesia.
“Kita harus menyadari bahwa demokrasi liberal adalah gagasan yang lahir dari rahim historis dan pergumulan yang sangat panjang pada masyarakat Barat. Sehingga nilai-nilai filosofis yang dikandungnya terutama tentang kebebasan individu menjadi bagian yang sangat fundamental dalam demokrasi liberal,” ujarnya.
Sejatinya demokrasi adalah gagasan yang kita impor atau di bawah ke Indonesia melalui para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers) sebagai dasar bagi bangunan negara republik Indonesia yang hendak didirikan.
Sejak awal para pendiri bangsa menyadari adanya kelemahan dari sistem demokrasi, sehingga terdapat kesadaran untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai Indonesia yang bersumber dari budaya dan agama.
Itulah mengapa ia mengajak kita harus berani melakukan kritik dan evaluasi apakah demokrasi yang sedang kita kembangkan dalam bentuk demokrasi elektoral saat ini sudah sesuai nilai-nilai Pancasila, religiusitas dan tradisi yang hidup di Indonesia atau ia hanya sekadar adaptasi dari gagasan demokrasi liberal yang mengagungkan kebebasan individu, sekularisme dan pengabaian pada norma-norma budaya dan agama.
Misalnya tentang eksistensi Pemilu, dimana setiap individu memiliki suara yang sama. Konsepsi demokrasi liberal mengandaikan bahwa semua orang adalah sama dan karena itu memiliki suara yang sama.
“Tidak peduli dari mana kualitas suara tersebut berasal sehingga suara seorang ulama, seorang cendekiawan, seorang peneliti, seorang aktifis, seorang penjahat, atau seorang residivis kelas berat semuanya dinilai sama di hadapan demokrasi,” ujarnya.
Salah satu gagasan demokrasi liberal untuk melibatkan semua orang dalam penentuan pemimpin politik telah menciptakan biaya politik yang tinggi, dan melahirkan praktik permisif politik uang yang sangat massif di Indonesia.
Muncullah percakapan yang kerab kita dengar: “Orang sebaik apapun bila masuk ke dalam sistem politik seperti saat ini, selalu memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan,” karena sistem ini telah menciptakan kondisi untuk melakukan perbuatan koruptif.
“Politisi yang tidak memiliki pendanaan yang cukup terpaksa berkoalisi dengan pemilik modal, atau pihak lain yang mampu membiayai proses politik. Pada akhirnya para politisi terjebak dalam benang kusut korupsi dan kolusi yang menjadi penyakit pembangunan yang masih sulit diselesaikan hingga saat ini,” ungkapnya.
Jauh sebelum ini, saat dan pasca kemerdekaan hingga saat ini intrik politik kekuasaan telah membawa pengaruh besar pada sejarah panjang perkembangan politik kontemporer Tanah Air.
Di Indonesia sendiri gesekan politik itu semakin tajam dan mendapat bentuknya ditandai oleh hegemoni politik Orde Baru 1970-an oleh rezim Soeharto diikuti oleh dominasi kekuataan militer.
Benturan itu ditandai dengan diredamnya partai-partai politik dari sistem multi partai menjadi tiga partai: Partai Golkar, PPP, dan PDI, membuat iklim politik berbasis Islam termarginalkan dalam kancah politik kekuasaan.
Tidak sampai di situ. Hegemoni politik kekuasaan dan Islam yang ditandai oleh benturan kepentingan menjelang Pemilu lagi-lagi selalu menjadi topik menarik.
Kita tentu bangga punya Prof Zainal yang mendalami studi pemikiran politik Islam ini. Kedepan, kita tidak akan kekurangan narasumber untuk meminta pendapat soal perkembangan pemikiran politik Islam terutama menyambut tahun politik 2024 dari maha guru kelahiran Kota Tual, Maluku Tenggara, itu.
Ungkapan Dirjen Prof Ali bahwa setiap ucapan atau perkataan dari seorang guru besar pada hakikatnya adalah ilmu dan setiap tindakan yang dilakukan adalah hikmah sangatlah tepat.
Karena itu pemikiran-pemikiran Prof Zainal ini haruslah dikolaborasi dan diimplementasikan. Sebab pemikiran saja tidaklah cukup kalau tidak diikuti oleh dukungan semua pihak untuk diwujudkan. Dan, satu tindakan tentu lebih berarti dari pada seribu retorika.
Bagaimana menciptakan iklim politik di Tanah Air yang sehat sebagaimana yang diharapkan Prof Zainal tidak ada cara lain kecuali semua pihak harus duduk bersama.
Ini penting untuk menghindarkan pandangan negatif dari sebagian masyarakat kita yang menyebut bahwa politik itu najis dan kotor.
Padahal dengan politik akan melahirkan permufakatan yang mulia. Menghindarkan kita dari praktek politik transaksional. Menjauhkan kita dari fitnah atau ghibah yakni mencari-cari kesalahan orang lain.
Dengan memandang politik itu mulia tentu akan melahirkan kandidat yang baik pula. Karena itu politik Islam sangat relevan terutama saat mana kita sedang menghadapi tahun politik.
Semoga dari kampus IAIN Ambon ini kelak lahir pemikir-pemikir politik Islam yang hebat di tengah kian tajamnya gesekan politik kontemporer di Tanah Air.(*)