MASOHI ; respon hadirnya kecerdasan buatan, (AI) antara keberlimpahan ataukah bencana teknologi

  • Bagikan
Foto : Ode Abdurrachman. Ketua IGI Maluku. (Pelatih Ahli dan Narasumber Kurikulum Sekolah penggerak)

Penulis; Ode Abdurrachman
Ketua IGI Maluku/Fasilitator Sekolah Penggerak

Akhir-akhir ini  hadirnya artificial Intelligence atau kecerdasan buatan makin hangat dibincangkan, karena dampaknya besar mempengaruhi eksistensi profesi pendidik secara umum, khususnya guru, sebagai pimpinan organisasi guru di Maluku, tentu harus merespon dengan bijak, baik secara opini maupun aksi. Terakhir telah melakukan berbagai aksi dini, guna mengadvokasi sesuai kompetensi dan kapasitas organisasi, menyikapi fenomena ini.

tentu peran kolaborasi dengan akademisi, juga birokrasi tidak bisa sendiri-sendiri, bahasa lokal kita di Maluku, mengenal istilah Masohi (kolaborasi), bukan sekedar narasi tapi suatu aksi, mungkin lebih pas, agar tidak hanya membentengi dengan narasi dini, bisa juga dilanjutkan dengan berbagai kajian akademik, guna menjelaskan ke publik utamanya  kaum cerdik pandai,  tentang ‘tsunami’ teknologi kecerdasan buatan ini.

Secara  organisatoris, lebih di komunitas guru lintas provinsi hingga level nasioal kami, di Ikatan Guru Indonesia (IGI) khususnya IGI Maluku, Ketika membahas tentang kemunculan fenomena teknologi kecerdasan buatan yang kini berhadapan dengan  kecerdasan manusia, saat ini, menjadi tantangan bagi guru yang digawangi oleh organisasi profesi  Guru IGI, dan bahkan menjadi bahan kajian-kajian akademik di profesi dosen, karna harus menjawab situasi ini dengan aksi dan advokasi, pertanyaan berikutnya, bahwa apakah teknologi AI ini, merupakan keberimpahan teknoligi semata atau malah potensi bencana yang mengancam guru, pendidik secara profesi.

Bagaimana tidak, kemajuan Artificial Intelligence (AI), sangat bisa memberikan  solusi cepat bahkan dalam hitungan detik menyelesaikan berbagai pertanyaan akademik, dan administrasi guru dengan ratusan narasi rekomendasi positif,  selevel dengan konsultan IT, atau selevel praktisi akademisi atau bahkan setara ahli. Lebih luar biasa lagj solusi sebagai respon jawaban yang dihasilkan memberi hasil kajian analisis mendalam dengan metode kritikal thinking atau berfikir kritis yang sistematis tertata rapi.

Meski harus diuji tapi rata-rata resume atau konklusi, kesimpulan yang dihasikan menyertakan referensi jurnal terkini dengan penelusuran otentik per halaman. Berbagai produk digital baik visual atau audiovisual mampu dihadirkan singkat dengan teknologi ini, bahkan wajah, gimik, gestur bisa ditiru dan berganti secara visual maupun dalam bentuk kloning, 3D, munculah robot asisten seperti humanoid, mirip manusia dicetak dengan print 3D, yang bisa menggantikan guru ketika gurunya tidak ada di tempatnya  dan anda bisa diskusi apa saja dan dia akan menjawab secara profesional. Bukan ide, ini sudah dan sedang terjadi.
Di Amerika kini sudah tersedia aplikasi AI yang bertugas memberi pertimbangan hukum pidana, dan bisa melakukan analisis nemanfaatkan cela hukum untuk meringankan terdakwa dalam berperkara di pengadilan. Dengan berbiaya murah dan menjadi tantangan baru bagj profesi pengacara dengan tugas memberi pertimbangan hukum, yang terkadang sulit terjangkau oleh masyarakat awam.

Di sisi lain teknologj  AI hadir selevel dengan developer programer coding yang harus belajar lama di keilmuan developer programer bertahun tahun, namun dengan AI, bisa memberikan jawaban dalam 60 detik.

Saya pribadi menantang hal yang sedikit rumit, menelusuri kodifikasi teks hadits dengan sanad dan matan dalam tradisi keIsaman yang membutuhkan waktu lebih lama dengan aplikasi software yang lain, sepanjang inj bisa dijawab dalam hitungan detik, meski harus terus diuji otentisitasnya, namun ini sebuah kemajuan yang perlu direspon juga secara bijak.

Memang benar selama ini kita terbantu dengan search engine Google yang populer namun ternyata potensi dominasinya akan bersaing atau malah bisa berganti ke berbagai teknologi artificial intelligence. Ya  kecerdasan buatan.

Menjadi bencana ataukah  tantangan teknologi? Pertanyaan yang harus dijawab di internal keprofesian guru, guna bisa menjelaskan kepada para guru hingga kepada peserta didik dan publik termasuk orangtua dan masyarakat luas bagaimana kita bersikap.

Secara akademik banyak sudah kajian teori tentang keberlimpahan teknologi di era informasi atau era industri 5.0, dan saat ini sudah menyebar dengan jejaring global tentang fenomena AI (baca; Artifical Intelligence), dan kini berhadap-hadapan dengan kecerdasan intelektual, sosial dan utamanya adat ketimuran. religiusitas.

Sepanjang bisa dijelaskan sebagai praktisi di komunitas organisasi profesi guru, IGI Maluku, kita bisa mengurai dalam berbagai pandangan, baik saintis, dan relasi sosial dan etik, beberapa titik temu dalam pandangan ini, berusaha kami jelaskan.

Bahwa scara faktual dari segi kecerdasan, kita manusia semua memiliki potensi atau kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Kecerdasan juga dapat dilihat dari bagaimana manusia mampu menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan belajar dari berbagai pengalaman sesuai latar belakang dan kebutuhannya.

Dan seiring perkembangan teknologi kemudian untuk memudahkan manusia, selanjutnya dicetuslah kecerdasan buatan (AI) yang didisain atau dirancang untuk meniru kemampuan manusia, tadi, khusus dalam berbagai responnya, termasuk dalam berpikir, memproses informasi, dan membuat keputusan. Nah sisi ini secara komputerisasi meskipun kecerdasan buatan dapat menghasilkan output yang cepat dan akurat, namun tentunya kecerdasan ini masih terbatas pada program yang diinput manual, atau bahasa aslinya algoritma yang sudah diatur sebelumnya.

Sebagaimana teknologi yang mempermudah manusia,
teknologi dan kecerdasan buatan dapat memberikan kemajuan dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, transportasi, dan lingkungan. Namun, penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan haruslah diimbangi dengan pertimbangan etika dan sosial. Contohnya, penggunaan teknologi dapat menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi, sehingga perlu ada upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan tersebut. Selain itu, risiko keamanan dan privasi juga perlu dipertimbangkan, terutama karena teknologi dan kecerdasan buatan terus berkembang dengan pesat.

Dari sudut pandang saintis, teknologi dan kecerdasan buatan dapat memberikan kemajuan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, saintis juga mengakui bahwa penggunaan teknologi haruslah dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Dari segi kecerdasan, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Kecerdasan juga dapat dilihat dari bagaimana manusia mampu menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan belajar dari pengalaman. Di sisi lain, kecerdasan buatan dirancang untuk meniru kemampuan manusia dalam berpikir, memproses informasi, dan membuat keputusan.

Namun perku disadarj bahwa, meskipun kecerdasan buatan dapat menghasilkan output yang cepat dan akurat, kecerdasan ini masih terbatas pada algoritma yang sudah diatur sebelumnya, yakni terprogram secara otomasi.

Dalam narasi pandangan akademik, teknologi dan kecerdasan buatan dapat memberikan kemajuan dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, transportasi, dan lingkungan. Namun, penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan haruslah diimbangi dengan pertimbangan etika dan sosial, dan harus dikawal dengan profesi guru atau akademisi yang mapan guna mengadvokasi lompatan-lompatan temuan teknologi modern ini agar bisa dicerna pada publik, itulah harapan secara fungsional organisasi atau komunitas itu dibentuk dengan respon dsn pikiran kritisnya.

Misalnya dari sudut pandang saintis, teknologi dan kecerdasan buatan dapat memberikan kemajuan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, saintis juga mengakui bahwa penggunaan teknologi haruslah dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Ambil contoh penggunaan teknologi kecerdasan buatan tidak serta merta menghilangkan peran dan fungsi guru secanggih apapun responnya karena kecerdasan buatan tidak menyuguhkan emosi, etika sisi humanisme yang tidak bisa tergantikan oleh peran dan fungsi guru untuk menuntun siswa, bukan hanya mentransformasikan iptek dan seni tetapi memberi teladan sikap  karakter yang tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan.

Dalam pandangan teknologi, kecerdasan buatan dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, secara pikiran praktisi secara advokasi organisasi juga menyadari bahwa penggunaan teknologi haruslah diatur dan dikendalikan dengan baik, agar tidak menimbulkan dampak negatif pada kemanusiaan.

Oleh karena itu, pikiran baik kami, menyampaikan agar sesegeramungkin serempak mendeklarasikan untuk melakukan mitigasi, mengadvokasi pengembangan teknologi dan kecerdasan buatan secara masif, sebisa mungkin, dengan tetap  memperhatikan aspek etika dan moral publik, juga mempertimbangkan local wisdom, karakteristik lokal yang harus dihormati kesakralannya bahkan secara lokal dilindungi hak-haknya oleh regulasi secara otonomi.

Peran  kolaborasi lokal di sini yang menjadi langkah mitigasi prefentif, membentengi secara psikologi dan emosional, sejalan dengan karakter budaya lokal,   menyikapi ancaman nyata di depan kita semua, bahwa potensi ancaman kesalahan penggunaan teknologi yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya sekat birokrasi, legislasi utamanya, nilai-nilai kemanusiaan karakter lokal, kepedulian, bahkan hilangnya fungsi profosi edukasi.

Dalam kesimpulannya, kecerdasan buatan tetap memiliki peran yang penting dalam perkembangan teknologi. Meski demikian kehadiran teknologi yang dapat memberikan kemudahan dalam kolaborasi dan  sinergisitas program, tetapi butuh peren opini moderat mencerahkan bagaimana seharusnya sikap komunitas memberi pencerahan dan solusi.

Sehebat apapun Penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) haruslah diatur dengan baik dan diimbangi dengan pertimbangan moderasi kolaborasi, kita di lokal mengenal Masohi sebagai bentuk simpul kolaborasi sinergi yang hadir mencerahkan  dan memoderasi secara gotong royong, keroyokan, bakukele.

Istilah-istilah ini menjelaskan proporsi etika dan moral untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan dan kemanusiaan secara kolaborask, maka kami rekomendasikan slogan, ‘Ayo,
katong Masohi akang’ (baca= ayo kita kolaborasi) menyikapi lompatan artificial intelligence ini.

Peran organisasi guru IGI dan komunitas di sini adalah memitigasi, mengadvokasi lanjutannya  merancang aksi praktik baik ‘Masohi’ atau kolaborasi sebagai aksi sinergisitas dengan seluruh elemen potensial nasional hingga lokal termasuk birokrasi dan yang menaungi profesi guru dan pendidik lainnya, membangun kerjasama dengan birokrasi, akademisi, sekolah, termasuk orang tua dan komunitasnya memberi pencerahan baik opini, dalam aksinya memitigasi, mengadvokasi langsung, memanfaatkan teknologi baik daring maupun luring semaksimal mungkin. Kami yakin melalui berbagaj aksi best practice, dan berbagaj pandangan moderat,  akan berkontribusi positif terhadal kemajuan profesi guru di Maluku, lebih utama lagi makin menguatkan pandangan dan komunikasi dengan para orang tua agar bekerjasama memantau perkembangan peserta didik di rumah. Sebab kolaborasi Masohi ini, secara lokal akan meneruskan opini positif dan mencerahkan, memberi respon positif organisasi profesi, sebagai solusi atas kehadiran artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

Kalo bukan kita siapa lagi, kalo bukan sekarang kapan lagi.
Saatnya Masohi.

Ambon, 17 Maret 2023.

  • Bagikan