Terorisme Gunung Api

  • Bagikan
Komisaris SKH Rakyat Maluku, Ahmad Ibrahim (kiri_red) dan Ketua FKPT Maluku, Abdul Rauf (kanan_red), berbincang mengenai Terorisme.

MUNCULNYA aksi ledakan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, pada Rabu pagi, (7/12/22), mengagetkan banyak pihak.

Ledakan bom mana telah menyisakan pertanyaan dan spekulasi ada apa tiba-tiba aksi terorisme itu meletup dan harus menewaskan dua orang dan 11 luka-luka?

Untuk menjawab pertanyaan itu saya mewawancarai Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku DR. Abdul Rauf, Sabtu, (10/12/22).

Bertempat di sebuah kedai kopi Rifq Kafe, Jl.AY.Patty, Ambon, saya mendapat banyak cerita dari dosen Fakultas Syariah IAIN Ambon, itu.

Seperti mendapat kuliah enam semester ia menceritakan begitu detail soal gerakan mematikan itu.

“Terorisme itu sebuah gerakan spontan. Tiba-tiba ada ledakan bom. Ibarat gunung api. Kapan terjadi letupan kita tak tahu,” ujarnya.

Pun aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi pada pengeboman Gereja Katedral di Makassar, Minggu, (28/3/21), merupakan bagian dari pola-pola yang dilakukan oleh para teroris.

Pelaku bom bunuh diri selamanya tunggal. Tapi dalam kasus terorisme di Tanah Air banyak dijumpai pelakunya juga bisa berkelompok seperti dalam kasus Bom Bali 2002 lalu.

Kalau yang di Astana Anyar itu dalam dunia penanggulangan terorisme bisa dikatakan sebagai: Weasel Walks Alone.

“Artinya musang yang berjalan sendiri. Pola ini tentu berbahaya karena kita tak bisa mendeteksi. Ya ibarat gunung api tadi. Tidak tahu waktunya tiba-tiba sudah meletus,” ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Maluku, itu.

Di antara dua kelompok itu punya pengagumnya masing-masing. Mereka ini yakni pelaku berbasis individu dan pelaku berbasis kelompok memiliki tokoh sentral yang menjadi patronnya. Mereka membentuk sel-sel hingga ke jaringan paling kecil.

Di tengah era digitalisasi saat ini mereka bisa dengan mudah membuat sel-sel baru dan membentuk jaringan dan komunitas. Selain mengindoktrinasi paham-paham keagamaan secara radikal mereka juga mempraktekkan cara-cara membuat atau merakit bom.

Saat ini tak ada yang sulit. Orang dengan mudah bisa belajar di internet untuk membuat atau merakit bom.

“Nah, tugas kami di FKPT ini melawan indoktrinasi itu dengan melakukan sosialisasi kepada semua komponen tentang bahaya dan ancaman radikalisme dan terorisme,” ujarnya.

Sejelek apapun manusia pasti punya pengagumnya. Tergantung kepada siapa mereka berbaiat. Jika dalam kasus bom bunuh diri di Astanya Anyar dimana pelakunya disebut-sebut bernama Agus Sujatno alias Abu Muslim adalah bagian dari afiliasi pada kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) bisa jadi ada benarnya. Selain JAD juga ada kelompok yang sama yakni Jamaah Islamiyah (JI).

Melalui sel-sel inilah mereka membentuk program untuk mengindoktrinasi paham-paham keagamaan seperti program masuk surga dengan jalan kekerasan melalui bom diri.

Awal mula teroris itu berpangkal dari radikal. Radikal terbagi menjadi dua yakni radikal dalam pemikiran dan radikal dalam tindakan. Namun tidak semua radikal adalah teroris. Tapi mereka yang teroris sudah pasti radikal.

Untuk melawan sebuah pemahaman yang telah terpapar doktrin radikalisme tak ada cara lain kita harus melawan dengan cara-cara indoktrinasi pula.

Jadi kalau ada indoktrinasi dari pelaku terorisme atau radikalisme harus pula kita balas dengan indoktrinasi. Kalau kekerasan dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.

Itulah dalam berbagai kesempatan sosialisasi baik pelatihan, diskusi dan seminar yang dilakukan FKPT yang dipimpin Dr. Abdul Rauf yang alumnus Pesantren Gontor ini salah satunya memberikan pemahaman akan bahaya radikalisme dan terorisme.

“Tugas kami tentu memberikan informasi agar mereka tak memasuki link dari kelompok radikalisme sehingga tidak mudah terindoktrinasi paham-paham radikal,” ujarnya.

Bukankah aksi terorisme itu tak bisa terdeteksi?

Menjawab pertanyaan itu DR. Abdul Rauf mengatakan sulit karena polanya tertutup. Atau apa yang disebut dalam gerakan terorisme itu dikenal dengan istilah: keep silent.

“Tiba-tiba mereka diam. Merasa diri aman mereka istirahat sejenak. Tapi begitu ada aksi diam-diam mereka pun bergerak,” ujarnya.

Munculnya terorisme dan radikalisme itu memiliki banyak dimensi yang ikut mempengaruhi sehingga membuat orang menjadi radikal dan teroris.

Dalam tradisi intelektual di dunia kampus pemahaman terkait radikal dalam pemikiran merupakan sebuah konsep pendidikan yang sangat dijunjung tinggi.

Sampai sejauh ini semua sepakat atas pemahaman soal radikal dalam artian akademis bisa diterima dan ditolerir. Selagi radikal dalam arti tak mengganggu tentu bisa diterima.

Sebaliknya bila pemahaman dalam artian radikal itu berujung pada kekacauan atau mengganggu keamanan ini yang tak bisa ditolerir.

Radikal dalam artian akademis tidak dipersoalkan, karena ajakan untuk berpikir sampai ke akar-akar untuk mendalami ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan.

Di Barat bagi mereka yang memiliki aliran keagamaan yang ekstrim lebih dikenal dengan istilah ekstrimisme. Bukan radikalisme atau terorisme.

Tapi karena kekuatan media massa Barat yang membuat opini sehingga terbangun sebuah framing bahwa mereka yang ekstrim seolah-olah dicap sebagai radikal dan identik dengan teror.

“Karena istilah terorisme ini membuat semua orang ketakutan. Itulah kekuatan opini yang berhasil dibangun oleh media massa Barat,” ujarnya.

DR.Abdul Rauf mengaku aksi-aksi terorisme di Tanah Air saat ini tidak lepas dari banyak hal yang menjadi pemicu sehingga orang menjadi radikal.

Salah satunya faktor lapangan kerja, kesenjangan ekonomi, politik kekuasaan, ketimpangan hukum dan ketidakadilan, juga karena faktor global.

Karena itu ia membantah anggapan banyak pihak jika dalam persoalan bom berbasis bunuh diri dan aksi-aksi teror bom berbasis kelompok di Tanah Air kerab diidentikkan ada upaya yang sengaja dilakukan oleh negara melindungi kelompok radikal ini.

“Memang nyawa manusia punya cadangan. Dibayar berapa miliarpun tak ada yang mau. Karena ini sudah menyangkut keyakinan maka apapun mereka rela melakukan. Termasuk nyawa sekalipun mereka ikhlas korbankan,” ujarnya.

Jika kemudian ada anggapan karena faktor ketidakadilan hukum, kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik kekuasaan yang tak berpihak ke masyarakat menjadi trigger (pemicu) terjadinya gerakan teror tentu ini tak bisa pula dibantah.

Belakangan kondisi kontemporer Indonesia kita memang sedang tidak dalam baik-baik saja. Dalam konteks hubungan keIndonesiaan dan keIslaman, misalnya.

Pun dalam konteks kohesi sosial banyak persoalan yang kita temukan seolah-olah ada upaya pertentangan atau polarisasi antarkelompok masyarakat yang pro dan anti-kebhinekaan, dan juga upaya saling melemahkan dengan mengedepankan isu politik identitas.

Persoalan hutang luar negeri yang menggunung, ekonomi yang rapuh, kesenjangan sosial melebar, dan banyak problem besar lainnya. Sayang, di tengah problem politik itu pola penanganan isu seringkali Islam berada dalam posisi tersudut.

Saat korupsi merajalela, wacana radikal yang booming. Ketika rupiah melemah, yang dipertentangkan justru Islam versus budaya dan ke-Bhinekaan.

Belakangan kita juga disuguhkan sebuah wacana oleh Menag RI yang menyebut Islam sebagai agama pendatang, memancing rakyat terus-menerus saling menegasi dan melemahkan kohesivitas sosial.

DR.Abdul Rauf mengingatkan persoalan kesenjangan antara pusat dan daerah juga harus disikapi dengan arif.

Sebab bukan tidak mungkin jika managemen pengelolaan isu dalam konteks ekonomi, sosial, dan politik kesejahteraan, tidak dikelola dengan baik bisa menjadi trigger bagi kelompok kepentingan atau pihak asing untuk meraup keuntungan politik.

Ibarat gunung api semua ini tentu bisa menjadi trigger. Dan, kedepan kita tentu berharap semoga tak ada “letupan” melalui tangan-tangan terorisme dan radikalisme.(*)

  • Bagikan