Habib dan Uskup

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — “Amor omnia vincit. Verba docent, exempla trahunt. Cinta mengalahkan segalanya. Kata cuma mengajar, tetapi contoh itulah yang menarik.”

      Salam, Uskup Mandagi

Kutipan dalam bentuk pepatah Latin di atas saya ambil dari laman WhatsApp yang dikirim oleh seorang Uskup nun di Papua. Ia tidak lain adalah Uskup Agung Merauke bernama Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC, Sabtu, (5/11/22).

Saya memang menelepon Uskup Mandagi meminta tanggapannya setelah melihat gambar dan video kunjungan Habib Rifqi Alhamid dari Ambon bersama Habib Hasan Ismail Almuhdar dari Jawa Timur ke Keuskupan Merauke, Minggu, (30/10/22).

Pertemuan dua Habib bersama Uskup Mandagi ini tentu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi oleh Uskup Mandagi ia merasa bangga dan mengaku kagum.

Uskup Mandagi tidak menyangka ada Habib yang mau berjumpa dengan dirinya di Keuskupan Merauke itu.

Uskup kelahiran Kota Minahasa, Manado, 28 April 1949 itu merasa sangat terhormat atas kedatangan Habib Rifqi dan Habib Hasan.

“Ini contoh yang baik. Cinta telah menembus semua dinding batas dan mengalahkan segalanya. Amor omnia vincit. Verba docent, exempla trahunt,” ujar Uskup Mandagi.

Kedatangan dua Habib ke Kota Merauke ini selain mengunjungi Keuskupan Merauke juga dalam rangka Safari Dakwah Peringatan Maulid Nabi Muhammad, SAW, di tanah Papua.

Makna kunjungan oleh Habib Rifqi ke Keuskupan Merauke tersebut bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya menjalin persaudaraan.

Paling tidak ini merupakan bagian dari apa yang dikatakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang populer itu: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”

Di mata Habib Rifqi, Maluku-Papua dan khususnya kita yang berada di Indonesia Timur tentu haruslah terus bergandengan tangan memupuk dan menjaga hubungan persaudaraan yang lebih baik.

“Terutama untuk kedamaian di tanah Papua yang kita cintai. Ini juga menjadi contoh dan langkah yang baik untuk memperkokoh hubungan antartokoh agama di tanah Papua dan juga untuk Indonesia,” ujar Habib Rifqi Senin, (31/10/22).

Uskup Mandagi memang bukan orang baru. Tokoh agama Katolik yang populer karena sikapnya yang kritis itu sebelumnya adalah Kepala Keuskupan Amboina di Ambon yang telah menjabat sebagai Uskup Amboina kurang lebih 27 tahun sejak 18 September 1994.

Ia baru saja digantikan oleh Uskup Inno Ngutra yang belum lama ini ditahbiskan di Ambon, Sabtu, (23/4/22).

Di Papua oleh Pemimpin Katolik di Roma yakni Paus Fransiskus Uskup Mandagi dipercayakan sebagai Koordinator Uskup Agung yang berkedudukan di Merauke membawahi lima Keuskupan yakni Keuskupan Manokwari/Sorong, Keuskupan Timika, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Asmat, dan Keuskupan Merauke.

Kunjungan Habib Rifqi selain sebagai sahabat lama juga merupakan bagian dari bentuk penghormatan sebab selain pernah bertugas di Ambon — dari segi usia Uskup Mandagi termasuk mantan tokoh agama di Maluku yang sangat dihormati dan dituakan.

Karena itu Habib Rifqi menyatakan terima kasih atas kesediaan Uskup Mandagi menerima kedatangan mereka itu. “Padahal pada hari yang sama (Minggu,red) merupakan hari ibadah beliau, tapi beliau mau menerima kami. Ini luar biasa,” ujarnya.

                      *

USKUP Mandagi merasa kedatangan dua Habib ini menunjukkan sebuah sikap sebagai sahabat dalam kemanusiaan. Sahabat sebagai sesama orang Indonesia. “Saya bangga menerima mereka,” ujarnya lagi.

Ia ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa kedatangan Habib ke Keuskupan Merauke ini bisa menjadi representasi bagi yang lain bahwa Islam sebagai agama sangat mencintai kedamaian. Itu berarti Islam melawan segala bentuk kekerasan.

Keuskupan dalam hal ini sangat terbuka. Kunjungan dua Habib semacam ini memperlihatkan kepada orang lain biar tidak ada kecurigaan.

“Jangan sampai ada anggapan Keuskupan itu tempat untuk menyerang orang lain. Anggapan itu salah. Di Keuskupan tidak ada yang disembunyikan,” ujarnya.

Dengan kunjungan semacam ini biar orang luar tahu lebih dalam tentang Keuskupan dan melihat dari dekat dimana tempat makan. Dan dimana tempat untuk beribadah atau berdoa.

Dua tahun lagi Sang Uskup ini akan memasuki usia 75 tahun. Itu berarti beliau akan memasuki masa pensiun.

Ia tadinya telah ditugaskan di Kota Ambon di Keuskupan Amboina selama 27 tahun. Ini bukan waktu yang pendek.

Selama di Ambon ia menjadi salah satu tokoh agama yang disegani dan dihormati karena daya kritisnya terhadap praktek-praktek ketidakadilan dan kekerasan terhadap kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu, oknum pejabat, atau negara.

Karena tugas ia terpaksa harus berpindah tempat kerja ke Papua. “Kita ini seperti tentara. Kemanapun ditugaskan kita harus siap. Karena ini perintah Paus Fransiskus di Roma saya harus ke Papua. Berjuang lagi di tanah Papua mulai dari nol,” ujar putra Kota Kawanua yang kini berusia 73 tahun, itu.

Itulah contoh dari ungkapan rasa cinta. Karena cinta atas tanah Papua segala kenikmatan, baik fasilitas dan kemewahan hidup yang telah dimiliki selama bertugas di Ambon harus ia tinggalkan dan memulai hidup baru di Papua.

Papua yang selama ini kita pahami sebagai tempat menyimpan banyak peristiwa kekerasan ingin ia dialogkan dan mengampanyekan tentang pentingnya kedamaian dengan semua komponen yang ada di sana. Dan itu dimulainya dari Merauke.

Dari kota dengan jumlah umat Katolik terbanyak di Papua itu ingin ia memperkenalkan arti dari sebuah kedamaian ke seluruh penjuru dunia atas tanah Papua.

“Kalau ada usaha bangsa lain ingin menghancurkan identitas Papua saya akan lawan. Saya ini orang yang setia pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), persatuan dan kesatuan yang Berbhineka Tunggal Ika,” ujarnya.

Lalu apa tanggapan Uskup Mandagi menghadapi Pilpres 2024 yang kini sudah mulai marak dengan “jualan” politik identitas?

Di mata Uskup Mandagi, orang yang mengedepankan politik identitas termasuk mereka yang tidak paham agama dan kemanusiaan.

“Mereka ini tidak mengerti apa itu identitas. Apa itu manusia. Sejak lahir manusia sudah dibekali oleh identitas baik suku, agama, adat istiadat dan budaya,” ujarnya.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial dengan identitasnya masing-masing. Sebagai makhluk sosial mereka tidak lepas dari cinta dan kasih. Saling membutuhkan.

Politik itu bukan sarana untuk saling membunuh atau saling mencelakai. Politik itu seni untuk membangun kepentingan bersama.

Bukan menghancurkan. Bukan pula menyombongkan identitas masing-masing. Kalau ini yang dikembangkan sangat berbahaya.

Agama itu, kata Uskup Mandagi, “alat” untuk mendekatkan manusia dengan TuhanNya. “Jadi kalau ada yang jualan politik identitas mereka ini sesungguhnya tidak paham agama. Agama itu mencari orang baik dan benar. Bukan mencari orang jahat,” ujarnya.

Manusia diciptakan oleh Tuhan tanpa membedakan agama, suku, dan budaya. Manusia adalah refleksi dari Tuhan. “Kehadiran manusia di dunia merupakan wujud dari gambaran Tuhan yang saling mencintai. Bukan saling mendendam,” ujarnya.

Perbedaan agama, suku, dan budaya merupakan hal yang alami. Berbeda itu normal. Sebab kita ini hidup di dunia, bukan di surga. Jadi perbedaan itu harus dimaknai sebagai hal yang normal.

Berbeda di sini bukan berarti harus berselisih. “Perbedaan itu harus saling menguatkan. Bukan menghancurkan,” ujarnya lagi.

Dalam konteks kehidupan maupun berbangsa kita juga mengenal ada negara kaya dan negara miskin. Dari yang kaya kita belajar kelebihan mereka. Yang kurang dan terbelakang kita belajar kepada negara yang maju.

“Yang belum maju kita berikan kesempatan untuk berkembang. Begitulah kehidupan selalu bergerak aktif dan dinamis,” ujarnya.

Pun kehidupan. Kita punya keterbatasan. “Ada salah. Ada benar. Kalau ada yang salah dalam berbicara itu normal. Kalau ada yang marah kemudian berbuat kekerasan itu hak seseorang. Tapi ingat, di balik hak ada kewajiban Anda untuk bertobat dan memaafkan,” ungkapnya.

Jangankan dalam konteks relasi lintas agama, dalam keluarga pun kita kerab menjumpai ada konflik dan gesekan dalam rumah tangga.

Di atas konflik dan gesekan itu ada yang namanya cinta. Dengan cinta kita bisa bersikap sabar, lembut, dan saling mengampuni dan menghormati terhadap yang lain.

Dalam politik pun demikian. Kita harus saling berdialog dan menghargai. Bukan menghancurkan, menghakimi, dan memfitnah.

Menghadapi Pemilu 2024 ia mengharapkan perlunya mengedepankan dialog. Jangan menjatuhkan lawan politik dengan jalan kekerasan, menghancurkan, dan memfitnah. Apalagi harus ada dendam politik segala.

Kita tahu bahwa ujung dari politik itu kekuasaan. Jangan sampai persoalan kekuasaan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan cinta-kasih.

Juga bisa pula menghancurkan nilai-nilai kebersamaan bila saja kecintaan itu tidak diikuti oleh ketulusan hati oleh setiap orang yang mencintai kedamaian. Tanpa ketulusan hati semua itu bisa menjadi semu.(*)

  • Bagikan