Papua, AS dan Enembe

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Menyikapi kondisi terkini Papua setelah Gubernur Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka — diikuti penolakan massa pendukung Lukas Enembe atas dugaan korupsi dan pencucian uang yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 5 September 2022 mengingatkan saya pada Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Scot Marciel.

Dalam suatu wawancara saya bersama Dubes Scot Marciel di Ambon, Rabu, (20/6/12), ia pernah mengingatkan tentang Papua. Menurutnya, dalam sebuah negara demokrasi setiap orang boleh menyampaikan keinginan.

Meski demikian persoalan hukum oleh aparat penegak hukum juga harus ditegakkan biar semua orang tidak ada yang merasa sewenang-wenang.

Saya tadinya ragu mewawancarai soal Papua. Maklum sehari sebelum sang Dubes ini tiba terjadi sebuah insiden di sana antara aparat dengan mereka yang pro-kemerdekaan.

Tak mau kehilangan moment langka ini berlalu begitu saja, saya pun mengajukan pertanyaan.

Maklum Papua terlalu sensitif bagi AS terutama soal tambang Freeport. Asumsi saya itu ternyata meleset. Dubes Scot Marciel dengan tangan terbuka mau memberikan statemen.

Seminggu sebelumnya, saya memang mendapat telepon dari Staf Konsul AS di Surabaya Mbk Esti Durahsanti atas rencana kedatangan dan pertemuan khusus bersama Dubes di hotel.

Dubes Negara Adi Kuasa ini kali pertama tiba di Ambon. Begitu sampai di bandara tak lama kemudian terdengar bunyi handphone dari Mbk Esti. Ia menyampaikan kalau Dubes dan rombongan pagi itu sudah tiba dan menginap di Swiss Bellhotel, Ambon.

Sesaat kemudian saya pun meluncur ke hotel. Ini untuk kali pertama saya bertemu Dubes AS itu.

Di restoran terlihat duduk disampingnya yakni Konsul AS untuk Surabaya Kristen F Bauer. Saya duduk berada di antara Dubes dan Konsul.

Sementara di deretan samping kanan saya setelah Dubes ada Mbk Esti. Dan duduk di sebelah sayap kiri Konsul Kristen ada beberapa staf kedutaan.

Memanfaatkan kesempatan langka itu kami pun berbincang banyak hal. Dari soal kondisi terkini Papua, Ambon/Maluku pasca konflik, investasi hingga pendidikan.

Kedatangan Dubes AS ini tentu menarik bagi saya. Tapi rasa pesimistis membuat saya ragu untuk wawancara soal Papua di tengah konflik kekerasan berupa penembakan dan pembakaran rumah-rumah penduduk hingga memakan korban jiwa itu.

Dalam hati saya jangan-jangan ia keberatan memberikan tanggapan. Sebab konflik di Papua bagi AS terlalu riskan untuk ditanyakan karena kerab menyeret negara Presiden Joe Biden itu.

Pemerintah AS, menurut Scot Marciel, tetap mendukung kedaulatan Provinsi Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Terkait konflik Papua pemerintah Indonesia diminta bersikap arif dan bijaksana dengan tetap mengedepankan asas-asas hukum dan keadilan sehingga tidak ada masyarakat Papua yang merasa dikorbankan ataupun dipermainkan akibat sikap sewenang-wenang pemerintah.

Ia mengajak semua pihak untuk menahan diri dalam mengatasi konflik antarkelompok masyarakat dan aparat keamanan karena itu pemerintah Indonesia harus bersikap bijaksana mengatasi masalah di sana. “Tegakkan keadilan sehingga tak ada yang merasa dirugikan,” ujarnya.

Dalam negara demokrasi setiap orang berhak menyampaikan aspirasi. Tapi tuntutan yang disampaikan harus dihormati berdasarkan asas-asas kepatutan agar tidak ada yang merasa diabaikan.

Tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku hingga harus mengorbankan jiwa dengan jalan kekerasan yang dapat mengganggu ketentraman umum.

Berbagai konflik antarkelompok yang terjadi saat ini di Indonesia mengingatkan kita semua untuk saling menghargai dan menghormati agar kedamaian dan ketentraman bisa tercipta.

“Orang yang kerjanya hanyalah mengganggu dan melakukan perpecahan mereka itulah orang yang merusak masa depannya sendiri,” ujarnya.

Masyarakat dan semua komponen di Papua tentu harus bahu-membahu memulihkan situasi keamanan bila terjadi konflik dan kekerasan di sana.

Sebab untuk mencapai kedamaian harus tumbuh dari masyarakat sendiri bukan dari orang lain. Dan orang Papua bisa melakukan hal itu.

Suatu daerah bisa berkembang manakala keamanan daerah itu terjamin. Ini berlaku umum. Tidak saja di Papua. Di Maluku pun sama.

Investor tidak akan datang bila stabilitas keamanan terganggu. Karena itu banyak peluang investasi dan pengembangan pendidikan yang bisa dikerjasamakan antara pemerintah AS dan pemerintah Indonesia.

                      *

Sambil menunggu proses hukum yang kini menjerat Gubernur Lukas Enembe yang adalah politisi Partai Demokrat besutan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini pemerintah tentu harus lebih bersikap arif dan persuasif.

Terkait kasus Lukas Enembe ini tentu tidak harus melakukan pendekatan dengan cara-cara berlebihan atau arogan dengan menggunakan kacamata Jakarta tapi harus dengan kacamata Papua, tentu.

Sebagaimana kita sudah tahu, berdasarkan hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diketahui adanya dugaan korupsi dan pencucian uang yang dilakukan Gubernur Lukas Enembe.

Dari hasil penelisikan PPATK itu ditemukan dugaan transaksi oleh Lukas Enembe senilai SGD 55 juta atau sekitar Rp560 miliar ke kasino di luar negeri.

Sayang laporan PPATK disusul penetapan tersangka oleh KPK yang diumumkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD seketika berujung protes oleh ribuan massa pendukung.

Mereka menolak Lukas Enembe diperiksa KPK. Sebab mereka menganggap penetapan tersangka oleh KPK itu lebih bermuatan kriminalisasi dan politis.

Menurut pegiat anti-korupsi dari Indonesia Coruption Watch (ICW) apa yang terjadi di Papua ini “menjadi lebih rumit” karena selama ini Papua merupakan “wilayah hotspot (titik panas)” dalam hal politik, sosial, dan ekonomi.

“Sehingga ketika ada isu besar semacam ini di-trigger (dipicu), kemudian muncul berbagai macam reaksi, baik elite lokal dan masyarakat,” ujar Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.

Ini bukan kali pertama. Sikap berlawanan elite Papua dengan pemerintah pusat juga pernah diperlihatkan Lukas Enembe dua tahun lalu.

Kita tentu masih ingat ketika Lukas Enembe untuk kali pertama melawan pemerintah pusat atas keputusannya melakukan lockdown terbatas atau karantina lokal dengan jalan menutup pintu-pintu bandara dan pelabuhan akibat Covid-19 Maret 2020 lalu.

Ia satu-satunya gubernur di Tanah Air yang melakukan perlawanan dengan menggunakan kacamata Papua demi menyelamatkan nyawa masyarakatnya dari ancaman virus mematikan itu.

Sikap yang diambil gubernur Papua
ini boleh dikata bukan langkah populer, tentu. Tapi untuk keselamatan rakyatnya Lukas Enembe harus menempuh
cara ini walau harus berlawanan dengan pemerintah pusat sekalipun.

Dan, kini protes massa pendukung Lukas Enembe yang diperlihatkan pekan lalu itu tentu menunjukkan sentimen soal Papua begitu kuat di tengah persoalan dan konflik politik antara Jakarta dan Papua yang belum tuntas.

Bila hal ini tidak disikapi dengan bijak bukan tidak mungkin persoalan penegakan hukum Lukas Enembe ini bisa dipolitisir oleh kelompok kepentingan dan hal ini tentu dapat memicu lebih tajam sentimen kedaerahan hingga berujung konflik dan memperparah situasi.

Betul yang dikatakan Dubes Scot Marciel bahwa di tengah persoalan konflik dan politik antara Jakarta dan Papua yang belum tuntas selama ini menuntut pemerintah Indonesia harus bersikap arif dan bijaksana.

Pemerintah harus mengedepankan asas-asas hukum dan keadilan sehingga tak ada masyarakat Papua yang merasa dikorbankan ataupun dipermainkan, dikriminalisasi atau dipolitisasi akibat sikap sewenang-wenang pemerintah.(DIB)

  • Bagikan