Perginya Bapak Bangsa

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — “Manusia memang akan dikenang dari apa yang dilakukannya…,” tulis Masayu Indriaty Susanto dalam tanggapannya tentang terbitnya buku memoriam almarhum Margiono berjudul: Extraordinary Margiono: Wartawan Cerdik & Dalang Nyentrik, yang diterbitkan Harian Rakyat Merdeka, dalam rangka mengenang 40 hari wafatnya tokoh pers Tanah Air Maret 2022 lalu.

Buku setebal 244 halaman ini merupakan kumpulan tulisan yang ditulis oleh 56 penulis diantaranya terdapat beberapa penulis hebat seperti tokoh pers, duta besar, dan mantan menteri.

Mereka adalah begawan media Pak Dahlan Iskan, mantan Pimred Jawa Pos Dr Dhimam Abror, Dubes Indonesia untuk Singapura Suryopratomo, Ketua Dewan Pers Prof H Muhammad Nuh, Ketua PWI Pusat Atal Sembiring Depari, Ilham Bintang dan lainnya.

Beragam pandangan terungkap dari tulisan tentang sosok Margiono. Ia tidak saja sekadar tokoh pers yang banyak berhadapan dengan soal hukum karena keberaniannya memberitakan sebuah berita melalui surat kabar yang dibidaninya, tapi juga karena sikapnya memilih jalan berbeda di tengah kemapanan media massa.

Ungkapan “manusia akan dikenang dari apa yang dilakukannya” sebagaimana ditulis wartawan senior Rakyat Merdeka Mbk Indriaty Susanto di atas boleh jadi ada benarnya.

Sebagai contoh kita lihat kepergian mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof DR.Ahmad Syafii Ma’arif, Jumat, (27/5/22), lalu. Begitu banyak orang dari rakyat biasa hingga kepala negara merasa sangat kehilangan atas wafatnya tokoh egaliter itu.

Beragam komentar menghiasi ruang-ruang publik bahkan sampai proses pemakaman begitu banyak yang melayat hingga mengantarkannya ke pemakaman.

“Manusia akan dikenang dari apa yang dilakukkannya” menunjukkan sosok tokoh Ahmad Syafii Ma’arif telah membuktikan sikapnya selama ini yang membelah hak-hak sipil warga termasuk kelompok minoritas ikut membawa harum nama tokoh Muhammadiyah ini.

Itu pula membuat penobatannya sebagai Bapak Bangsa oleh banyak kalangan atas kepergian Buya Syafii Ma’arif itu tidak ada yang salah karena keberpihakan dan sikapnya yang sederhana yang selama ini dilakukan almarhum ikut dirasakan oleh banyak orang baik lintas kelompok dan agama.

Almarhum Prof Syafii Ma’arif sesungguhnya bukan orang baru dalam dunia pergerakan dan intelektualisme.

Di era pertengahan tahun 1980-an nama yang satu ini telah masuk dalam deretan tokoh intelektual yang cukup populer di dunia kampus di Tanah Air.

Selain Buya Syafii Ma’arif juga terdapat Nurcholish Madjid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Adi Sasono, dan Jalaluddin Rakhmat.

Dari deretan tokoh intelektual muslim itu tiga di antaranya yakni Ahmad Syafii Ma’arif, Nurcholish Madjid dan Amien Rais merupakan alumni terbaik Amerika Serikat.

Ide-ide gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang coba mereka kembangkan di Tanah Air bukan melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Timur Tengah tapi justeru pada universitas ternama tepatnya di Chicago tempat dimana pakar Islam asal Pakistan yang dikenal tokoh Neo Modernisme Islam Prof. DR. Fazlur Rahman sebagai gurunya.

Buya Syafii Ma’arif menyelesaikan sarjananya di FKIS IKIP Yogyakarta (1968). Belajar sejarah di Amerika Serikat di Northern Illions University, Chicago (1973).
Sementara MA-nya diperoleh dari Ohio University of Chicago (1982) semuanya di Amerika Serikat.

Sekembalinya mereka dari studi di negara Paman Sam 1980-an itu gagasan mereka tentang konsep modernisme Islam coba mereka kembangkan di dunia kampus tempat dimana mereka mengabdi maupun melalui halaqah atau kelompok-kelompok studi dan pengajian.

Bagi Anda yang senang bergelut pada dunia pergerakan pemikiran Islam di Tanah Air, gagasan Prof.DR.Ahmad Syafii Maarif boleh jadi bisa menjadi salah satu catatan penting dalam menelaah pemikiran tokoh kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat tahun 1935 itu.

Saya termasuk satu di antara yang ikut melakukan kajian pemikiran sang tokoh ini dalam ujian munaqasah berjudul: Orientasi Pemikiran Cendekiawan Muslim Pasca Orde Baru, saat mengakhiri studi di IAIN Alauddin Makassar, 1982.

Kajian ini dilakukan berdasarkan pendekatan perpustakaan (library aproach) pada beberapa pola orientasi pemikiran cendekiawan muslim yang dilakukan intelektual muslim Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam bukunya berjudul: Merambah Jalan Baru Islam, Mizan, 1986.

Salah satu studi yang dilakukannya itu yakni pemikiran Neo Modernisme Buya Syafii Maarif. Ciri paling menonjol dalam pemikiran ini adalah upaya untuk menyelaraskan pemahaman keislaman sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman modern dengan menekankan aspek-aspek pendekatan rasional.

Menurut aliran ini, sebagaimana dikutip H.A.R.Gib dalam bukunya: Modern Trends in Islam, dalam terjemahannya oleh Machnun Husein dalam Aliran-Aliran Modern dalam Islam loc.cit, hl.73, disebutkan bahwa jalan menuju ke arah inilah tercapainya cita-cita pembaharuan pemikiran Islam dimulai meskipun dalam studi kritis yang dilakukan oleh pemikiran modernisme tersebut tidak melepaskan diri mengeritik eksistensi pemikiran-pemikiran kaum modernis sendiri.

Kecenderungan pemikiran ini tentu bisa dilihat pada pola pemikiran tokoh egaliter Buya Syafii Maa’rif itu. Dalam berbagai tulisannya yang berhasil dijumpai terungkap tekanan yang diberikan Buya Syafii Maarif beraksentuasi pada kisaran sosial-politik umat Islam dalam percaturan politik kekuasaan.

Kritik yang dilontarkannya itu banyak tertuju pada elite politik muslim modernis khususnya yang berpandangan pada orientasi ideologi-ideologi Islam sebagai alternatif.

Yang tidak bisa dilupakan dalam konteks pemikiran modernisme ini bahwa meskipun kritik yang dilontarkan tertuju pada pemikiran para modernis masa lalu namun dalam konteks ini pula mereka secara kritis tidak melepaskan diri melakukan kajian-kajian dalam persoalan-persoalan modernitas.

Dalam sebuah tulisannya berjudul: Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal berjudul Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta, LEPPENAS, 1983, Buya Syafii menyebutkan bahwa untuk melihat kondisi kekinian langkah yang harus diambil dalam melihat fenomena sosio-politik masa lalu.

Bagi Buya Syafii Ma’arif, konsepsi kenegaraan antara Islam dan negara dalam konteks modern saat ini — menurutnya tidak sependapat dengan menekankan bahwa negara dalam konteks politik kekuasaan ia hanyalah merupakan alat untuk tercapainya cita-cita kemanusiaan.

Buya Syafii Maarif mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran politik Islam Indonesia yang menurutnya adalah suatu hal yang menggembirakan bahwa umat Islam Indonesia tanpa kecuali adalah pembela demokrasi.

Selamat jalan sang pemikir modernis. Sang Bapak Bangsa.(DIB)

  • Bagikan