Belajar dari Madrasah

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.COM — Setelah polemik soal hilangnya frasa “agama” dalam sistem pendidikan nasional pada Penyusunan Peta Jalan Pendidikan 2020-2035, kali ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mencatat polemik baru bahkan menimbulkan reaksi keras dari publik.

Yakni soal rencana merevisi khususnya penyebutan kata madrasah yang tidak dicantumkan secara eksplisit sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional pada draf undang-undang itu.

Dengan tidak menyebutkan kata madrasah muncul penafsiran bahwa langkah tersebut menjadi bagian dari upaya pemerintah Cq Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengaburkan peran madrasah dalam sistem pendidikan nasional.

Ini untuk kesekian kalinya Menteri Nadiem membuat polemik. Sebelumnya, upaya menghilangkan frasa “agama” pada sistem pendidikan nasional dinilai janggal pada sebuah negara yang berdasarkan Ketuhanan.

Tak kurang Ustad Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya di Ambon dalam sebuah acara Isra Miraj, Maret 2021, ia sempat menyentil hal itu. Meski tidak menyebutkan namanya, langkah menghilangkan frasa “agama” itu oleh UAS dianggap sebagai upaya menyelisih undang-undang.

Selain tak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945, hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan konstitusi. Karena berdasarkan hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan pendidikan nasional tak boleh menyelisihi peraturan di atasnya yakni peraturan pemerintah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UUD 1945, dan Pancasila yang akan berdampak pada aplikasi dan ragam
produk kebijakan di lapangan. (Baca: UAS dan Abu Jahal, 15 Maret 2021).

Meski Menteri Nadiem sudah menjelaskan bahwa tidak ada upaya penghilangan peran madrasah dalam draf dan sistem madrasah dicantumkan dalam penjelasan undang-undang dianggap tidaklah cukup. Tuntutan tetap muncul agar Menteri Nadiem mengubah draf itu dan mencantumkan secara eksplisit kata madrasah pada batang tubuh undang-undang.

Upaya penghilangan penyebutan kata madrasah tentu terlampau peka. Sebab sebagai negara yang berasaskan Ketuhanan dimana madrasah menjadi salah satu sokoguru pendidikan memiliki peran strategis dalam sejarah panjang republik ini.

Banyak tokoh nasional dan tokoh pergerakan bangsa ini adalah mereka para pejuang yang lahir dan dibesarkan dari bangku madrasah. Karena itu upaya penghilangan penyebutan nama madrasah dari peta jalan pendidikan nasional tentu berlawanan dengan sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan bangsa ini.

Langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dinilai terlampau liberal dan sekularistik. Upaya menyerahkan pendidikan nasional pada sekolah dan persoalan pendidikan agama dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat tentu berlebihan.

Sejarah mencatat penyebutan kata madrasah sudah begitu familiar dalam sejarah panjang pendidikan di Tanah Air. Bahkan melalui madrasah selain menjadi lokomotif perubahan juga menjadi simbol perlawanan bagi para tokoh pergerakan melawan hegemoni Barat melalui tangan-tangan imperialis.

Sejarah juga mendokumentasikan bagaimana Madrasah Nizamiyah di Baghdad pada abad pertengahan membidani hingga melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan hebat seperti Imam Al-Ghazali dll.

Dari madrasah pula lahir Ibnu Sina yang oleh dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna itu. Ia tak lain adalah filosof dan ahli kedokteran yang bukunya menjadi rujukan literatur kedokteran di Barat hingga kini.

Pun ada namanya Al-Khawarizim seorang ahli ilmu matematika yang salah satu cabang ilmunya dikenal dengan nama Aljabar dan penemu angka “0” itu.

Juga ada yang namanya Ibnu Khaldun ahli sejarah dan sosiolog yang oleh dunia Barat ia mendapatkan gelar sebagai Father of Historiography.

Selain itu, ada pula nama Ibu Rusyd yang ahli filsafat, dan ilmu fiqh. Juga ada Abul Qasim Khalaf ibn Al-Abbas Az- Zahrawi yang dikenal dengan karya-karya fenomenalnya di bidang kedokteran.

Kitab-kitab mereka hingga kini menjadi rujukan literatur keilmuwan modern. Mereka ini tak lain adalah orang hebat yang juga ahli di bidang agama yang lahir dan dibesarkan pada lembaga-lembaga pendidikan bernama madrasah.

Di Tanah Air madrasah dan pendidikan Islam memainkan peran penting dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia. Jauh sebelum Indonesia terwujud kalangan Islam sudah melakukan upaya pendidikan bangsa melalui pesantren dan madrasah.

Pada 1909 madrasah pertama di Indonesia muncul yaitu Madrasah Abadiyah di Kota Padang, Sumatera Barat, didirikan Syekh Abdullah Ahmad disusul madrasah lainnya.

Madrasah Schoel didirikan pada 1910 di Kota Batu Sangkar, Sumatera Barat oleh Syekh M. Talib Umar. Kemudian pada 1912 berdiri Muhammadiyah dengan fokus perjuangan pada pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem modern dengan memadukan kurikulum agama dan umum.

Berturut-turut setelah itu pada 1913 ada Madrasah Al Irsyad di Jakarta, didirikan oleh Syeikh Ahmad Sukarti. Kemudian pada 1915 muncul Diniyah Schoel di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, didirikan oleh Zainuddin Labai el Janusi. Berikutnya pada 1926, salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahab Hasbullah dan setelah itu mulai banyak mendirikan madrasah.

Pendidikan melalui madrasah dan pesantren adalah bentuk perlawanan paling kongkret oleh umat Islam terhadap imperialisme penjajah.

Mengutip Asep Hermawan dalam tulisannya: Pendidikan Madrasah di Indonesia (16/12/16) mengatakan, tumbuh dan berkembangnya madrasah di dunia Islam di Timur Tengah dan di Indonesia bisa dilihat pada banyaknya petualang intelektual Indonesia di masa lalu menuntut ilmu ke Timur Tengah.

Dengan pengalaman mereka belajar di sana setelah sekembalinya ke Indonesia mereka mendirikan lembaga serupa untuk mengajar Islam ke masyarakat di mana mereka tinggal.

Mengutip Martin van Bruinessen (dalam Mastuki, M.Ishom el-Saha) dikatakan, melalui madrasah inilah menjadi bagian gerakan reformis pendidikan Islam. Dari pengalaman pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah tentunya kita tak sulit untuk melacak dari mana asal usul pendidikan madrasah di Indonesia sebagai upaya tandingan terhadap pendidikan modern yang diselenggarakan kolonial Belanda dalam bidang pendidikan dan lainnya yang diskriminatif.

Dari madrasah dan pesantren inilah ikut memberikan respon sebagai upaya untuk memberikan pendidikan yang unggul kepada ummat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

Belajar dari sejarah inilah upaya menghilangkan penyebutan nama madrasah dari peta jalan pendidikan nasional oleh pemerintah melalui “tangan” Menteri Nadiem tentu sebagai langkah yang tidak tepat. Dan tidak menyejarah.(*)

  • Bagikan