RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID –AMBON– Ratusan karyawan PT Spice Island Maluku (SIM) akhirnya dirumahkan karena penutupan sementara perusahaan tersebut.
Ini yang memicu kemarahan publik sehingga jalan diblokir warga di Seram Bagian Barat (SBB).
Direktur Rumah Inspirasi dan Literasi (RIL) Maluku Muhamad Fahrul Kaisuku, menanggapi polemik yang dinilainya sarat pembiaran struktural.
“Keputusan penghentian aktivitas PT SIM berdampak pada konsekuensi sosial berupa PHK massal,” ujar Fahrul, Minggu, 27 Juli 2025.
Menurutnya, selama ini perhatian publik dan DPRD terlalu terfokus pada aspek bisnis, sementara peran pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan justru luput dari pengawasan.
“Ini bukan sekadar masalah industrial. Ini soal tata kelola kekuasaan yang berdampak luas pada kehidupan rakyat,” tegasnya.
Fahrul juga menyentil kinerja DPRD SBB yang dinilainya belum menunjukkan nyali politik untuk bertindak sebagai pengawas kekuasaan yang sejati.
“DPRD jangan jadi penonton dalam krisis,” sindirnya.
Ia menegaskan bahwa nasib buruh yang kehilangan pekerjaan bukan sekadar data statistik dalam laporan, tapi kenyataan pahit yang harus ditanggung oleh keluarga-keluarga pekerja.
“Ratusan buruh di Hatusua dan Kawa kini hidup dalam ketidakpastian. Siapa yang bertanggung jawab atas piring kosong di meja makan mereka? Ini soal kemanusiaan, bukan semata administrasi,” tegasnya.
Fahrul juga menggarisbawahi pentingnya skema mitigasi dalam setiap kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan investasi dan konflik agraria. Menurutnya, keputusan penghentian operasi harusnya dilakukan dengan perencanaan sosial yang matang.
“Kalau alasan penghentian karena ingin melindungi hak masyarakat adat, itu langkah yang patut diapresiasi. Tapi bagaimana bisa kebijakan itu tidak dibarengi dengan solusi bagi buruh yang terdampak? Ini menunjukkan lemahnya perencanaan,” kritiknya.
Sebagai jalan keluar, RIL Maluku mendorong pembentukan forum mediasi permanen yang melibatkan pemerintah, perusahaan, masyarakat adat, buruh, dan pihak independen sebagai pengawas partisipatif.
“Ini saatnya membuka ruang dialog permanen agar investasi di SBB berjalan dengan adil, transparan, dan berpihak pada semua elemen,” pungkas Fahrul. (AAN)