Fahmi Sallatalohy:
Staf pengajar Universitas Islam Negeri AM Sangadji Ambon
Sebagai anak daerah, saya sangat berterima kasih kepada Saudara Gubernur Maluku yang mulai mengedepankan aspek identitas kemalukuan, yaitu mewacanakan hilirisasi sagu dalam strategi pembangunan Maluku ke depan. Walaupun beberapa pihak pasti bertanya, bagaimana dengan hilirisasi sopi? Tulisan ini tidak ingin mewacanakan sopi sebagai minuman lokal yang harus dilegalkan. Sopi memang memiliki nilai budaya dan sejarah yang kuat di tengah masyarakat Maluku, namun kompleksitasnya melibatkan aspek kesehatan, hukum, dan sosial yang tidak bisa disederhanakan. Sopi sebagai minuman fermentasi tradisional, menyimpan nilai-nilai simbolik yang terkait dengan ritual adat, solidaritas kolektif, dan ekspresi budaya lokal. Namun demikian, perlu kita membedakan antara pelestarian nilai budaya dengan legalisasi praktik konsumsi yang berisiko bagi kesehatan publik. Masuk dalam agenda hilirisasi seperti sagu, sopi perlu ditempatkan dalam kerangka yang lebih etnografis dan sosiokultural—sebagai bagian dari warisan tak benda yang menuntut kebijakan pelestarian berbasis edukasi dan kontrol sosial, bukan industrialisasi.
Fokus pada sagu adalah langkah strategis yang lebih berorientasi pada ketahanan pangan, ekonomi hijau, dan revitalisasi pengetahuan lokal yang produktif. Dalam konteks ini, sagu bukan hanya komoditas, melainkan representasi dari paradigma pembangunan alternatif yang berakar pada kekayaan lokal dan keberlanjutan hidup masyarakat kepulauan. Hilirisasi sagu dapat menjadi pintu masuk untuk mendobrak ketergantungan pada model pembangunan ekstraktif, dan mulai menata masa depan Maluku berdasarkan prinsip keberlanjutan, keadilan ekologis, dan kedaulatan pangan.
Selama hampir duapuluh terakhir masa kepemimpinan gubernur Maluku Sagu adalah salah satu pangan lokal yang tidak pernah diperhitungkan, bahkan dalam beberapa rencana starategis pembangunan daerah, Sagu tidak pernah menjadi prioritas. Beberapa hal memang bisa difahami, bahwa sebagai pangan lokal sagu tidak memiliki daya tarik di luar komunitas masyarakat Maluku, sehingga memperhitungkan Sagu sebagai makanan pokok dalam segmentasi masyarakat homogen sedikit terasa janggal. Akan tetapi problemnya bukan pada masalah apakah Sagu menjadi makanan pokok atau tidak, tetapi selama ini pemerintah tidak memberikan kewenangan pada daerah kabupaten kota untuk membuat program-program yang berciri khas Maluku. Di samping sagu, ada kopra, cengkih, pala, bia, lola, dan beragam jenis sumber daya alam lain yang sejatinya dapat menopang keunggulan lokal dan menciptakan fondasi ekonomi berbasis keragaman hayati, budaya, dan pengetahuan komunitas.
Komoditas-komoditas tersebut bukan hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga memuat nilai historis, simbolik, dan ekologis yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir dan kepulauan selama berabad-abad. Dalam konteks pembangunan daerah, potensi ini seharusnya tidak diposisikan semata sebagai objek eksploitasi pasar global, melainkan sebagai subjek utama dalam upaya menciptakan model ekonomi alternatif yang lebih adil, lestari, dan berakar pada kehidupan nyata masyarakat.
Pengembangan nilai tambah dari komoditas lokal seperti pala dan cengkih misalnya, dapat diarahkan pada industri rempah yang mengintegrasikan unsur sejarah, kesehatan, dan gaya hidup kontemporer; sementara produk laut bernilai tinggi seperti bia dan lola dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi biru berbasis konservasi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi lokal tidak harus direduksi menjadi industrialisasi besar-besaran yang melepas kendali dari komunitas, tetapi justru didekati melalui model hilirisasi partisipatif yang memadukan teknologi tepat guna, akses pasar yang adil, dan perlindungan hak atas tanah serta sumber daya.
Dalam kerangka ini, keunggulan lokal bukanlah slogan kosong, melainkan visi politik-ekonomi yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alamnya sendiri. Maka, penguatan kelembagaan komunitas seperti BUMDes, koperasi adat, dan jaringan UMKM menjadi kunci dalam membangun sistem ekonomi lokal yang tidak rapuh terhadap tekanan pasar global. Lebih jauh, intervensi negara seharusnya hadir bukan untuk menggantikan peran masyarakat, melainkan memperkuat posisi tawar komunitas melalui regulasi yang melindungi hak ulayat, insentif produksi berbasis ekologi, serta fasilitasi riset dan inovasi yang berpihak pada rakyat
Konsep hilirisasi sagu yang didengungkan oleh Gubernur Maluku merupakan cerminan dari kepedulian terhadap arah pembangunan daerah yang selama ini terjebak dalam logika tunggal eksploitasi sumber daya mineral. Ketergantungan masyarakat pada tambang dan sumber daya alam yang melimpah telah membentuk narasi seolah-olah kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui aktivitas ekstraktif yang padat modal dan rawan konflik.
Dalam konteks ini, hilirisasi sagu harus dipahami bukan sekadar sebagai program teknokratik untuk peningkatan nilai tambah komoditas, tetapi juga sebagai strategi ekonomi-politik untuk mendekolonisasi struktur pembangunan yang eksploitatif. Sagu, sebagai pangan lokal yang adaptif terhadap iklim dan telah teruji secara historis dalam menopang ketahanan komunitas di Maluku, menyimpan potensi besar untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk produk turunan—baik pangan fungsional, bioenergi, maupun bahan baku industri ramah lingkungan. Pendekatan hilirisasi ini mendorong penguatan ekonomi berbasis komunitas, pembukaan lapangan kerja di sektor pedesaan, serta restorasi nilai-nilai ekologis dan kultural yang selama ini terpinggirkan oleh model pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi semata. Oleh karena itu, sagu bukan hanya soal pangan, tetapi simbol perlawanan terhadap model pembangunan yang tidak inklusif dan tidak berkelanjutan.
Selama ini, upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat dalam mengelola sagu cenderung bersifat subsistem dan berbasis pengalaman lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, praktik-praktik ini sering kali tidak mendapat pengakuan formal dalam kerangka kebijakan pembangunan daerah. Alih-alih diberdayakan, pengetahuan lokal tersebut justru terpinggirkan oleh pendekatan modernisasi yang mengabaikan nilai-nilai kultural dan ekologis yang melekat pada pengelolaan sagu. Padahal, inisiatif masyarakat dalam menjaga hutan sagu, mengatur pola panen berkelanjutan, serta memproduksi beragam olahan sagu secara tradisional merupakan fondasi penting dalam membangun hilirisasi yang inklusif dan kontekstual.
Hilirisasi sagu belum menunjukkan pengaruh langsung maupun dampak jangka panjang yang konsisten terhadap pembangunan daerah, karena prosesnya masih terhambat oleh lemahnya infrastruktur pendukung, keterbatasan inovasi teknologi pascapanen, serta minimnya intervensi kebijakan yang menyasar penguatan kelembagaan lokal dan pelaku usaha kecil menengah. Selain itu, kurangnya integrasi antara program hilirisasi dengan sistem distribusi dan pemasaran berbasis komunitas menyebabkan sagu tetap terpinggirkan dari rantai nilai ekonomi yang kompetitif.
Tanpa strategi holistik yang mencakup dukungan riset, akses pembiayaan, regulasi insentif, serta kampanye konsumsi pangan lokal, hilirisasi sagu dikhawatirkan hanya menjadi jargon pembangunan simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan struktural di daerah penghasil. Maka, diperlukan perubahan paradigma pembangunan yang tidak semata berorientasi pada komodifikasi, tetapi juga pada keberlanjutan, kedaulatan pangan, dan keadilan sosial bagi masyarakat adat dan petani sagu.
Padahal, jika dikelola dengan visi jangka panjang, sagu dapat menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi berbasis kedaulatan pangan dan ketahanan ekologis. Kelebihannya sebagai tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim, tidak memerlukan pupuk kimia
berlebih, serta dapat tumbuh di lahan marginal menjadikannya solusi strategis di tengah krisis pangan global dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, hilirisasi sagu harus disertai kebijakan afirmatif yang menyentuh petani sagu, koperasi lokal, lembaga riset, serta pelaku industri kecil menengah yang mampu mengangkat sagu dari simbol budaya menjadi motor ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Oleh karena itu, strategi hilirisasi sagu perlu dirancang secara partisipatif dan kontekstual dengan melibatkan komunitas adat sebagai subjek utama pembangunan. Rancangannya harus mencakup penguatan ekosistem produksi, inovasi teknologi pascapanen yang ramah lingkungan, serta akses pasar yang adil dan berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah sagu sebagai komoditas lokal, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan kedaulatan pangan masyarakat Maluku. Dengan demikian, hilirisasi sagu tidak semata-mata dimaknai sebagai industrialisasi, melainkan sebagai jalan menuju transformasi sosial-ekonomi yang berakar pada nilai-nilai lokal dan prinsip keberlanjutan.
Berbeda dengan pengelolaan tambang nikel, batu bara, dan emas yang cenderung menimbulkan dampak ekologis jangka panjang, konflik agraria, serta dominasi modal besar yang terputus dari kehidupan komunitas lokal, hilirisasi sagu justru menawarkan pendekatan pembangunan yang lebih berakar pada ekosistem dan nilai-nilai kultural masyarakat. Eksploitasi sumber daya tambang seringkali menghasilkan ketimpangan sosial, mempercepat kerusakan lingkungan, dan meninggalkan ruang hidup yang terdegradasi, sementara keuntungan ekonominya lebih banyak mengalir keluar daerah.
konsesi tambang secara masif sering kali tidak memberikan jaminan keberlanjutan ekologis maupun keadilan sosial bagi masyarakat lokal. Dampaknya justru memperbesar ketimpangan, mempercepat degradasi lingkungan, serta meminggirkan peran petani dan komunitas adat dari pusat pengambilan keputusan. Sejumlah studi menunjukkan bahwa wilayah yang mengandalkan sektor pertambangan kerap mengalami gejala resource curse, yakni paradoks di mana kekayaan sumber daya alam justru menjadi sumber konflik dan stagnasi ekonomi (Sachs & Warner, 2001; Auty, 1993).
Sebaliknya, pengembangan sagu berpotensi memperkuat struktur ekonomi domestik, memperluas lapangan kerja lokal, serta membangun kemandirian pangan dari bawah. Hilirisasi sagu bukan hanya soal pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi, tetapi juga transformasi cara pandang terhadap sumber daya alam sebagai bagian dari kehidupan yang harus dirawat, bukan sekadar dieksploitasi. Dalam konteks Maluku, ini merupakan pijakan awal menuju pembangunan yang berbasis kearifan lokal, regeneratif, dan berkeadilan ekologis.
Dari sikap pemerintah Provinsi Maluku yang serius dalam melakukan program hilirisasi sagu, dapat dibaca adanya perubahan orientasi pembangunan yang mulai menggeser ketergantungan terhadap ekstraktivisme tambang menuju pemanfaatan sumber daya lokal yang lebih lestari dan berbasis budaya. Program ini mencerminkan kesadaran baru bahwa sagu bukan hanya komoditas pangan, melainkan juga simbol identitas kultural, ketahanan pangan, dan ekonomi komunitas. Oleh karena itu, hilirisasi sagu perlu dirancang tidak hanya dari sisi industri dan pasar, tetapi juga dengan menghargai nilai-nilai sosial-ekologis yang telah lama hidup dalam praktik masyarakat adat. Langkah ini membuka ruang untuk memperkuat peran masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam rantai nilai sagu, mulai dari budidaya, pengolahan, hingga distribusi. Dengan melibatkan pengetahuan lokal dan memperkuat kapasitas komunitas, hilirisasi sagu dapat menjadi model pembangunan alternatif yang berkelanjutan dan berkeadilan. Maka, keberhasilan program ini tidak cukup diukur dari angka produksi atau nilai ekspor semata, melainkan dari sejauh mana ia mampu memperkuat kedaulatan pangan, menjaga ekosistem, dan memberdayakan masyarakat adat secara menyeluruh.(AAN)