17 Tahun Kabupaten MBD Berada di Belakang Beranda NKRI

  • Bagikan
Anggota Komisi IV DPRD Maluku, Yan Noach,
Anggota Komisi IV DPRD Maluku, Yan Noach,

RAYKATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON — Di tengah gegap gempita peringatan Hari Ulang Tahun ke-17 Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) yang jatuh pada 21 Juli kemarin, terselip suara lirih yang menggugah nurani. Sebuah suara dari batas negeri yang menjadi garda terdepan Indonesia, namun hingga kini masih tertinggal dari denyut kemajuan bangsa yang katanya merata. Di balik semarak acara, MBD seperti sedang berteriak: “Kami juga Indonesia!”

Anggota Komisi IV DPRD Maluku, Yan Noach, mengungkapkan keresahan yang tak lagi bisa ditahan. Dalam pandangannya, 17 tahun usia kabupaten bukan waktu yang sebentar. Tapi di wilayah perbatasan yang bersebelahan langsung dengan Timor Leste itu, kehidupan warga masih diwarnai keterbatasan infrastruktur dasar, pendidikan yang belum menjangkau seluruh pelosok, hingga layanan kesehatan yang jauh dari layak.

“Anak-anak muda kita bukan cuma butuh semangat, mereka butuh pendampingan dan dukungan nyata dari negara. MBD ini bukan halaman belakang, ini wajah depan Indonesia yang dilihat negara lain,” kata Noach, dengan nada prihatin, Selasa, 22 (22/7/25)

Wilayah MBD memang dikenal sebagai bagian dari kawasan 3T terdepan, terluar, tertinggal. Namun ironinya, wilayah ini yang seharusnya menjadi simbol kehadiran negara di ujung timur Indonesia, justru kerap merasa seperti daerah yang terlupakan. Ketimpangan antara pusat dan perbatasan semakin terasa ketika masyarakat lebih mudah menjangkau pelayanan dasar di negara tetangga daripada ke pusat provinsi sendiri.

Salah satu contoh nyata adalah pelayanan kesehatan. Di beberapa pulau di MBD, rumah sakit belum memiliki fasilitas dan tenaga medis memadai. Tak jarang, warga harus menempuh perjalanan berhari-hari ke Ambon hanya untuk mendapat penanganan medis. Padahal, dari lokasi mereka, fasilitas kesehatan di Timor Leste hanya berjarak 17 kilometer.

“Mereka juga manusia. Kalau rumah sakit di sini tak siap, bagaimana mungkin kita bicara soal keselamatan? Ini bukan soal jarak atau logistik. Ini soal keadilan,” tegas Politisi PDIP itu.

Ketika warga Indonesia di MBD merasa lebih cepat ditangani di luar negeri daripada di dalam negeri sendiri, di sanalah harga diri sebuah bangsa dipertanyakan. Ketimpangan itu menimbulkan luka psikologis dan memunculkan pertanyaan besar: apakah keadilan sosial masih menjadi tujuan pembangunan?

MBD di usia 17 tahun seperti remaja yang sedang bertumbuh dengan segala potensinya. Namun pertumbuhan itu terhambat karena kurangnya perhatian dari pemerintah pusat. Yang dibutuhkan bukan hanya bangunan megah, tapi pembangunan manusia. Sumber daya manusia yang kuat akan membuat MBD tak hanya bertahan, tapi menjadi wilayah strategis dan produktif.

Pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat harus menjadi fokus utama. Tidak adil jika pembangunan hanya dinikmati kota-kota besar sementara di perbatasan, rakyat harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Bagi Noach, peran semua pihak dibutuhkan, tak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat, tokoh adat, gereja, sekolah, hingga para ASN.

“Kita semua punya peran. Tidak bisa lagi saling lempar tanggung jawab. Kalau kita sayang negeri ini, mari kita mulai dari wilayah terjauh. Kalau MBD kuat, Indonesia juga kuat,” ujar mantan Anggota DPRD Kabupaten MBD ini.

Ulang tahun MBD kali ini bukan hanya peringatan administratif. Ia menjadi momen reflektif: apakah NKRI benar-benar telah hadir dan adil bagi seluruh warganya? Atau masih ada wilayah yang selama ini hanya menjadi simbol di peta, namun kosong dalam perhatian?

Masyarakat MBD tak menuntut lebih. Mereka hanya ingin hadirnya negara dalam arti yang sesungguhnya: infrastruktur yang layak, layanan yang merata, dan keadilan yang tak hanya tinggal dalam konstitusi. Sebab, mereka tahu, mereka bukan penonton mereka adalah penjaga gerbang republik.( CIKO )

  • Bagikan

Exit mobile version