RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Medan pertempuran melawan radikalisme saat ini telah bergeser ke ruang-ruang publik melalui jejaring sosial personal dan digital. Provinsi Maluku dengan dinamika sosial-budaya dan religius yang unik, membutuhkan pendekatan yang inklusif dan progresif. Literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan agar masyarakat kita tidak hanya terhubung secara digital, tetapi juga tercerahkan secara spiritual dan kebangsaan.
Demikian kesimpulan materi acara yang disampaikan Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku Dr. Saidin Ernas, M.Si, dalam rangka Rakor Ditintelkam Polda Maluku bersama Ditbinmas, Bidhumas Polda Maluku dan para Kasatintelkam Polres/Ta Jajaran dengan tema: Menuju Polri yang Presisi Mencegah Terorisme/Radikalisme dan Intoleransi di Provinsi Maluku, di Manise Hotel, Ambon, Senin, (14/7/25).
Menurut Dr.Saidin Ernas, di era digital saat ini transformasi masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi telah menjadi fenomena global termasuk di Maluku.
Salah satu tantangan besar dalam transformasi ini adalah potensi penyebaran paham radikal melalui media digital. Data terbaru dari Survey BNPT/FKPT Tahun 2024 mengungkapkan fakta penting yang patut menjadi perhatian bersama, terutama dalam konteks penguatan literasi digital sebagai bagian dari upaya deradikalisasi.

Dr Ernas Saidin menyebutkan berdasarkan Indeks Potensi Radikalisme (IPR) di Maluku tahun 2024 tercatat sebesar 9,8, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2023 sebesar 8,9.
“Kenaikan ini mengindikasikan perlunya langkah serius dan kolaboratif dari berbagai pihak untuk mencegah penyebaran paham radikal, khususnya melalui media sosial dan platform digital,” ujarnya sebagaiman diuraikan dalam makalahnya berjudul: Literasi Digital dan Indeks Potensi Radikalisme di Provinsi Maluky: Sekilas Survey BNPT/FKPT Tahun 2024, itu.
Menariknya, kata dia, dimensi sikap menjadi indikator tertinggi dalam indeks ini, disusul oleh pemahaman dan tindakan. Hal ini menunjukkan bahwa radikalisme kerap bermula dari cara berpikir dan sikap yang tertanam secara ideologis sebelum diwujudkan dalam tindakan nyata.
Khusus pada dimensi pemahaman, kata dia, terjadi kenaikan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Ini menandakan bahwa persepsi dan pengetahuan publik mengenai ajaran-ajaran yang berpotensi radikal turut meningkat, baik melalui interaksi sosial maupun eksposur media digital.
Hasil survei menunjukkan pula bahwa 69% netizen di Maluku mencari konten keagamaan di internet, dan lebih dari setengahnya (53%) secara aktif menyebarkannya kepada orang lain. Platform yang paling banyak digunakan untuk mencari konten keagamaan adalah Youtube, Facebook, dan Tiktok, dengan preferensi pada video berdurasi kurang dari 30 menit.
Sementara itu, mayoritas masyarakat menerima konten keagamaan dari Facebook, disusul oleh WhatsApp dan Youtube.
Konten-konten tersebut umumnya berasal dari orang tua atau keluarga, dan juga dari pemuka agama, yang diterima dengan intensitas beberapa kali dalam seminggu. Ini menandakan bahwa diseminasi informasi keagamaan tidak hanya terjadi melalui institusi formal, tetapi juga melalui jejaring sosial personal dan digital.
Menariknya, satu dari dua netizen juga menjadi agen penyebar konten keagamaan, terutama melalui Facebook, Podcast, dan Youtube, menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menjadi konsumen tetapi juga produsen informasi keagamaan.
Dalam konteks ini, literasi digital menjadi penting agar masyarakat dapat memilah konten yang moderat, toleran, dan tidak mengandung unsur provokasi atau ajakan radikal.
Penetrasi internet di kalangan generasi muda juga tercatat sangat tinggi, terutama Generasi Z yang mencapai 81%. Artinya, mayoritas remaja dan pemuda di Maluku sangat terhubung dengan dunia digital, yang bisa menjadi peluang sekaligus tantangan.
“Jika diarahkan dengan tepat, mereka bisa menjadi agen literasi digital dan promotor Islam yang ramah. Sebaliknya, jika tidak dibekali pemahaman kritis, mereka rentan menjadi sasaran propaganda radikal yang beredar secara masif di ruang-ruang digital,” ujar staf pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) AM.Sangadji, Ambon, itu.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa radikalisme tidak muncul dalam ruang kosong. Ia tumbuh dalam lingkungan sosial dan informasi yang tidak terfilter, di mana kebutuhan religius masyarakat tidak diimbangi dengan kapasitas literasi yang memadai.
“Maka membangun imunitas masyarakat terhadap paham ekstrem membutuhkan pendekatan yang integratif antara literasi digital dan literasi keagamaan,” ujarnya.
Literasi digital bukan hanya kemampuan mengakses internet, melainkan juga kecakapan dalam mengenali informasi yang valid, memahami konteks, serta berpikir kritis atas narasi-narasi yang mengandung ajakan intoleransi.
“Literasi keagamaan, pada sisi lain, adalah fondasi dalam memahami ajaran agama dengan cara yang kontekstual, damai, dan sesuai dengan prinsip kebangsaan,” ujarnya sebagaimana diuraikan dalam makalahnya itu.(DIB).