Ombak Itu Membawa Pergi 2 Mahasiswa UGM untuk Selamanya

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO ID. — LANGGUR — Langit tampak tenang siang itu di atas Pulau Warwu, Maluku Tenggara. Laut berkilau diterpa matahari, seperti menyambut 12 jiwa yang dengan penuh semangat menyeberang untuk satu tujuan: mengabdi. Tapi siapa sangka, di balik keindahan alam itu, maut sedang menunggu dalam senyap.

Siang kelabu itu, Selasa, 1 Juli 2025, sekitar pukul 13.30 WIT, gelombang setinggi 2,5 meter menggulung sebuah speedboat yang membawa mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama warga lokal. Mereka baru saja menyelesaikan tugas mulia, mengambil pasir untuk membangun Tempat Pembuangan Sampah di Desa Debut.

Speedboat itu tak pernah sampai ke tujuan. Dua anak muda, Septian Eka Rahmadi (22) dan Bagus Adi Prayogo (21), tenggelam dalam pengabdian, terapung di antara riak laut yang sunyi, seolah lautan sendiri yang menolak melepaskan mereka.

Matahari belum terlalu tinggi ketika mereka berangkat dari Pelabuhan Debut pukul 11.00 WIT. Di atas perahu, tawa dan semangat terpancar dari wajah para mahasiswa dan warga. Mereka membawa niat mulia, bukan senjata, bukan dendam, hanya karung-karung kosong untuk diisi pasir pembangunan.

Setelah muatan pertama diantar dan dibongkar, speedboat kembali ke Pulau Warwu untuk pengambilan pasir kedua. Tidak ada firasat buruk. Tidak ada isyarat bahwa laut hari itu menyimpan kemarahan.

Namun saat mereka berlayar kembali ke Desa Debut dengan 16 karung pasir, tragedi itu datang. Hanya 300 meter dari bibir pantai, gelombang besar tiba-tiba menghantam. Speedboat oleng, lalu terbalik. Semua penumpang tercebur ke laut, berjuang di antara hempasan ombak dan kepanikan.

Beberapa berhasil berenang menuju tepian. Salah satu mahasiswa UGM yang selamat segera mengabarkan kabar duka melalui telepon, memohon bantuan. Namun bagi Septian dan Bagus, harapan itu telah hanyut, tenggelam bersama waktu.

Pukul 15.00 WIT, warga Desa Debut yang dipimpin Cornels Oskar Jamlean datang mengevakuasi. Tubuh Septian Eka Rahmadi ditemukan lebih dulu. Ia masih bernapas lemah, namun takdir telah menetapkan jalan lain. Ia meninggal dunia dalam perjalanan menuju RSUD Karel Sadsuitubun Langgur.

Sementara Bagus Adi Prayogo belum ditemukan. Operasi pencarian dari Tim SAR Kota Tual dihentikan sementara pada pukul 20.00 WIT karena cuaca gelap. Tapi warga Desa Debut tak rela menyerah pada gelapnya malam. Mereka bangkit dengan kekuatan solidaritas.

Pukul 22.00 WIT, lima unit speedboat berisi relawan desa berangkat kembali ke lokasi. Pencarian berlangsung di tepi-tepi curam dan gelap. Pukul 22.30 WIT, seorang warga bernama Yakobus Letsoin melihat sesosok tubuh mengambang di antara batu karang. Itu Bagus. Diam. Membisu. Namun damai.

Jenazah Bagus segera dinaikkan ke speedboat dan dievakuasi kembali ke Desa Debut. Pukul 23.30 WIT, tubuhnya tiba di RSUD Karel Sadsuitubun. Bupati Maluku Tenggara, Drs. Hi. M. Taher Hanubun, datang di tengah malam, menemui sang almarhum, menyampaikan duka bukan hanya sebagai pemimpin, tapi sebagai ayah dari bumi yang sedang menangis.

Tragedi ini menyisakan tanya, mengapa nyawa harus dibayar dengan pasir? Mengapa standar keselamatan tak jadi prioritas?

Laporan awal menyebutkan bahwa speedboat kelebihan muatan, tidak dilengkapi alat keselamatan seperti pelampung, dan nekat berlayar di tengah cuaca buruk. Laut yang seharusnya dijinakkan dengan kehati-hatian justru dihadapi dengan kecerobohan.

Bagi bangsa ini, Septian dan Bagus bukan sekadar angka dalam daftar korban kecelakaan laut. Mereka adalah wajah-wajah muda Indonesia yang memilih jalan sunyi, pengabdian di pelosok. Mereka adalah pelita yang sempat menyala terang di tanah jauh, sebelum padam dipeluk ombak.

Kini, kenangan mereka hidup dalam pasir yang mereka kumpulkan, dalam tangis rekan-rekan yang ditinggalkan, dalam doa orang tua yang kehilangan, dan dalam hati setiap anak muda yang masih berani bermimpi dan mengabdi.

Dan laut, meski telah merenggut, akhirnya mengembalikan mereka. Bukan dalam kepanikan, tapi dalam keheningan, sebagai pahlawan yang pulang tanpa suara. (RIO)

  • Bagikan