Perang Iran vs Israel plus Amerika Serikat telah memicu sentimen pro dan antimazhab: Syiah-Sunni. Dan, seperti yang berkembang di banyak kanal di dunia maya itu kita jumpai begitu tajam polemik kedua mazhab itu. Republik Islam Iran yang Syiah dan Kerajaan Arab Saudi yang Sunni seolah dibuat dikotomi untuk dihadap-hadapkan.
Pun, seperti biasanya setiap kali konflik yang melibatkan barat vs timur tengah sebagaimana perang antara Iran vs Israel yang berlangsung selama 12 hari pekan lalu propaganda soal Syiah-Sunni seolah mendapat momentum. Tak kurang dari yang ahli soal timur tengah hingga amatiran larut dalam polemik.
Bagi kita yang awam soal Syiah dan Sunni akhirnya juga ikut-ikutan paham dan menjadi tahu dalam memperkaya salah satu kekayaan terbesar pada khazanah pengembangan pemikiran dalam dunia intelektual muslim yang berkembang semenjak awal Islam itu.
Tak heran di tengah perang Iran vs Israel yang terjadi dua pekan terakhir tersebut muncul banyak perdebatan di dunia medsos setelah negeri para mullah di bawah Presiden Republik Islam Iran Imam Ali Khamenei itu mendrone Israel bak kembang api dari jarak jauh.
Aksi Iran ini sebagaimana kita tahu mendapat simpati dunia. Israel di bawah rezim Zionis yang telah lebih 70 tahun menduduki tanah Palestina dan disokong oleh hegemoni barat dalam hal ini Amerika Serikat tak luput menjadi sasaran.
Tak heran serangan Iran atas Israel ini muncul banyak spekulasi, dari yang ahli soal Iran hingga amatiran seperti saya seolah ikut-ikutan menjadi pengamat dadakan.
Seketika saya pun teringat pada dosen yang juga dekan saya pada Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar, Almarhum Prof. Dr.H.Abdurrahman Musa. Ia tak lain adalah gurubesar yang bergelut dalam mata kuliah untuk studi pemikiran dalam dunia Islam khususnya Sunni-Syiah.
Sejak mengawali kuliah di Kampus Hijau tersebut, kajian tentang gerakan pemikiran dalam Islam pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, yang dibawakan beliau sudah merupakan mata kuliah wajib yang harus diikuti.
Prof.Abdurahman Musa termasuk satu di antara dosen kami yang sangat kritis. Terutama terkait soal pandangan atau kajian beliau terhadap studi pemikiran yang dilakukan oleh para orientalis barat terhadap sejarah, gerakan, dan pemikiran dalam Islam.
Ia termasuk yang menolak pandangan sebagian pemikir orientalis barat yang memetakan dua kelompok pemikiran dalam Islam khususnya Syiah dan Sunni.
Bagi Prof Abdurahman Musa penggunaan kata Islam dengan menggunakan diksi: “Islam Syiah” dan “Islam Sunni” tak lepas dari upaya para orientalis untuk mempetakonflikkan kekuatan dalam Islam.
Pemetaan dua kelompok pemikiran itu tak lepas dari cara pandang mereka untuk menghadap-hadapkan atau membenturkan Islam. “Islam ya Islam. Islam tak boleh dibuat dikotomi,” kata beliau.
Dalam penggunaan istilah studi pemikiran, ia tak sependapat menggunakan term atau kata: “pemikiran Islam”, atau “filsafat Islam”. Ia lebih memilih menggunakan terminologi: “pemikiran dalam Islam” atau “filsafat dalam Islam.”
Penggunaan kata “dalam” di sini untuk memposisikan bahwa Islam adalah agama wahyu. Agama samawi. Agama yang diwahyukan Tuhan. Bukan agama budaya. Yakni agama yang diturunkan tanpa menggunakan campur tangan manusia.
Karena itu Islam tidak boleh diidentikkan atau dipersonifikasikan ke dalam bentuk-bentuk yang lain apalagi tujuannya untuk memposisikan, mendikotomikan, mengadu-domba atau membenturkan.
Tentu, dengan penggunaan term pemikiran dalam Islam atau filsafat dalam Islam dengan menggunakan kata “Islam Syiah” dan “Islam Sunni” dalam konteks hegemoni perang Iran vs Israel ini menjadi tanda tanya. Begitu massifnya upaya mempetakonflikkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam yang bersifat sektarianisme seolah membuka mata kita.
Tidak saja untuk mempertajam pengetahuan kita tentang apa itu Syiah-Sunni tapi juga menguatkan mata batin kita tentang Iran sebagai satu-satunya saat ini sebagai negara Syiah terkuat di Kawasan Timur Tengah yang berani menentang atas hegemoni barat.
Iran menjadi imperium yang berani melawan ketimpangan serta ketidakadilan yang selama ini sengaja diciptakan oleh barat di Semenanjung Tanah Arab termasuk yang dilakukan oleh Zionis Israel atas warga Palestina.
Karena itu, polemik soal Syiah-Sunni dalam konteks perang Iran vs Israel kali ini harus dilihat tidak secara parsial. Kita tahu Iran yang didominasi berpaham Syiah termasuk satu-satunya negara yang selama ini tidak pernah tunduk pada barat di bawah tekanan rezim Amerika Serikat semenjak Revolusi Islam dikumandangkan oleh Presiden Republik Islam Iran Ayatullah Rohullah Khomeini pada 1979.
Inilah negara Islam di Kawasan Timur Tengah yang mampu bertahan hingga kini di bawah tekanan setelah diisolasi oleh dunia barat dalam hal ini Amerika Serikat selama lebih 40 tahun.
Yang kita baca selama ini walau hidup di bawah tekanan oleh dunia barat tidak membuat negeri para mullah itu terpuruk, justeru sebaliknya mereka malah menjadi lebih kuat dan mapan baik dalam hal ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, sumber daya alam (minyak dan gas), juga ilmu pengetahuan dan teknologi justeru berkembang lebih maju.
Dalam konteks ini, upaya membenturkan atau mengadu-domba isu-isu berbau sektarianisme seperti Syiah dan Sunni menghadapi konflik di timur tengah yang didalangi barat perlu menjadi perhatian.
Sikap keras Iran kali ini menunjukkan bahwa sudah saatnya tidak ada lagi kekerasan, ketimpangan, dan ketidakadilan dalam penguasaan sumberdaya alam dan mineral baik minyak dan gas dengan mempetakonflikkan warga di Semenanjung Tanah Arab oleh dunia barat dengan jalan perang.
Menghadapi hegemoni barat atas ketidakadilan dan penindasan di Kawasan Timur Tengah itu tak ada cara lain kita perlu terus membangun sebuah kesadaran baru untuk tetap bersatu melawan kesewenang-wenangan melalui upaya adu-domba.
Dan, bukan saatnya lagi kita menjadikan perbedaan paham Syiah-Sunni dalam konteks sektarianisme yang sudah lama berkembang dan menjadi khazanah intelektual muslim semenjak awal Islam itu untuk dikotomikan sebagai alasan agar sesama kita saling curiga, mencaci, menuduh, dan memusuhi segala.(*)