Awas! PT Batulicin Incar Ohoiwait

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Setelah menambang galian C berupa pasir dan batu kapur di Desa Nerong dan Desa Mataholat, Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), sejak 2024, PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) kini mengincar Ohoiwait sebagai lokasi ekspansi berikutnya.

Rencana perluasan itu memicu kekhawatiran masyarakat adat Kei dan sejumlah elemen pemuda Maluku. Mereka menilai aktivitas pertambangan PT Batulicin berpotensi kuat menyebabkan banjir, merusak lingkungan, mencemari laut, serta mengancam mata pencaharian petani dan nelayan lokal.

Meski demikian, hingga kini belum ada kesepahaman antara pihak perusahaan dengan masyarakat pemilik lahan di Ohoiwait. Pro dan kontra pun terus bergulir di tengah masyarakat.

“Ada yang berpendapat Pulau Kei Besar termasuk kategori pulau kecil yang tidak layak untuk kegiatan tambang. Ada juga yang khawatir terhadap potensi kerusakan lingkungan, harga lahan yang tidak wajar. Sementara di sisi lain, ada pula kelompok yang mendukung investasi demi kemajuan daerah,” ungkap Pemerhati Lingkungan Maluku, Hendrik Koedoeboen, kepada Rakyat Maluku, Selasa, 17 Juni 2025.

Koedoeboen menekankan bahwa pemerintah harus bertindak berdasarkan kerangka kebijakan pembangunan yang menyeluruh, termasuk perizinan, investasi, dan kesejahteraan masyarakat.

“Salah satu langkah strategis adalah melakukan kajian titik temu antara pemanfaatan sumber daya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.

Menurut mantan Kepala Bidang Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup di Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi-Maluku itu, bahwa aspek lingkungan sebaiknya dianalisis dengan pendekatan kuadran berkelanjutan, yakni melalui sumbu X (indeks kesejahteraan) dan sumbu Y (nilai kualitas lingkungan hidup).

“Melalui simulasi, kita bisa mengetahui apakah wilayah sasaran investasi, seperti Maluku Tenggara atau Kei Besar, berada di kuadran Peradaban Ekologis, Underutilized, Over-Eksploitasi, atau Darurat Ekologis,” tandasnya.

Jika masuk dalam kuadran Peradaban Ekologis, lanjut Koedoeboen, berarti kesejahteraan masyarakat meningkat dan lingkungan tetap terjaga. Sebaliknya, jika berada di kuadran Darurat Ekologis, kondisi masyarakat memburuk dan lingkungan rusak parah.

“Pemerintah harus memiliki landasan kuat dalam mengambil keputusan. Meskipun tidak semua pihak akan senang, minimal keputusan itu didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan terukur,” pungkasnya. (AAN)

  • Bagikan