Angka Indeks Potensi Radikalisme (IPR) di Maluku termasuk salah satu provinsi yang secara nasional mengalami penurunan 5,8 persen pada 2023 dari sebelumnya 10,12 persen. Ini menggambarkan bahwa indeks keragaman cukup baik.
Meski diakui IPR kita pada 2025 bakal mengalami kenaikan menyusul terjadinya 18 kali letupan konflik dan kekerasan antarpemuda di sejumlah daerah di Pulau Seram, Pulau Tanimbar, Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya termasuk Kota Ambon — langkah antisipasi atas potensi kekerasan dan konflik komunal ini haruslah terus dilakukan.
Statemen ini saya kutip saat mendengar diskusi lepas yang disampaikan Kabid Penelitian dan Survei Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku DR.Saidin Ernas, M.Si bersama Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Maluku Daniel E. Indey, S.Sos, M.Si di Lantai 5 Kantor Gubernur Maluku, Rabu, (10/6/25).
Diskusi lepas ini berlangsung dalam rangka silaturahmi pengurus baru FKPT Maluku yang dipimpin Ketua FKPT Ruslan Affandy Basri, SE.
Lalu, apa yang menyebabkan konflik dan kekerasan komunal di Maluku kembali kambuh di tengah membaiknya indeks keragaman itu?
Menurut DR.Saidin Ernas, M.Si, hal itu terjadi karena tingkat pemahaman warga terhadap kondisi sosial di sekitarnya cenderung rendah diikuti oleh tindakan aparat yang tidak tegas.
Berbeda di Jawa tingkat pemahamannya cenderung membaik diikuti oleh tindakan aparat yang tegas. “Sebaliknya di Maluku. Bila kemudian tiba-tiba kita menjumpai ada letupan atau konflik diikuti tindakan kekerasan ini menandakan bahwa pemahaman masyarakat di sekitar kita masih rentan terhadap pertikaian,” ujar DR.Saidin Ernas.
Itulah membuat semua pihak termasuk para akademisi perlu duduk bersama untuk merumuskan dan melihat kembali latar belakang dan akar masalah setiap konflik komunal tersebut.
Kalau zaman dulu orang minum minuman keras tidak menimbulkan kekerasan. Tapi, mengapa sekarang ini kita kerab menjumpai bila ada orang menikmati miras justeru selalu diikuti oleh konflik dan kekerasan dimana-mana. “Nah, di sinilah tugas para akademisi perlu duduk bersama untuk merumuskan dan mencari akar masalah mengapa konflik dan kekerasan itu terjadi,” ujarnya.

Ia mengakui ada kecenderungan naiknya letupan kekerasan komunal hanya beberapa bulan pasca pelantikan gubernur pada awal 2025 itu. Ini terjadi karena dari sisi kualitas konflik mengalami kenaikan karena saat yang sama juga diikuti oleh tindakan aparat yang cenderung rendah.
Turunnya tingkat pemahaman hingga mengakibatkan terjadinya letupan kekerasan seperti itu tak lepas karena lemahnya kesadaran masyarakat. Dari hasil penelitian dan survei yang dilakukan doktor sosiologi Islam UIN AM Sangadji Ambon itu salah satunya dipengaruhi oleh faktor karakter.
Jadi, kalau sedikit-sedikit meletup konflik dan kekerasan boleh jadi ini soal karakter masyarakat. Karena di sana ada faktor laten. Ada trigger yang menjadi pemicu hingga kerab meletup kekerasan di berbagai tempat. Bisa jadi dipicu soal agama, tapi juga karena faktor ekonomi, keluarga, juga medsos.
Dan, ini semua tentu menjadi kewajiban kita bersama menjaga baik aparat keamanan TNI/POLRI, akademisi, dan semua pemangku kepentingan. Kita memerlukan sebuah kesadaran untuk melakukan mitigasi dengan cara membangun narasi positif untuk menangkal pengaruh akibat medsos yang berbau hoax.
Dari hasil penelitian DR.Saidin Ernas sejak beberapa tahun terakhir diketahui kalau penyebab pemicu konflik dan kekerasan komunal itu terjadi selain soal agama, ekonomi, dan keluarga, juga tak lepas karena faktor digitalisasi. Saat ini ada sekitar lebih 80 persen pengaruh informasi digital telah merambah seluruh desa di Maluku.
Itulah mengapa kita perlu membangun opini dan literasi yang positif sebagai bentuk mitigasi untuk kita semua juga kepada anak-didik pada semua tingkatan sekolah terutama para guru dan semua pemangku kepentingan. Mengapa sekolah menjadi penting, sebab dari banyak faktor konflik dan kekerasan itu kerab yang dijumpai pelakunya adalah para pelajar.
Mengapa pentingnya sosialisasi di sekolah. Sebab, dari hasil penelitian itu konflik kekerasan justeru banyak melibatkan anak sekolah. “Kalau ini tidak dilakukan jangan-jangan kedepan yang kita temukan anak-didik kita bukan lagi berada di sekolah tapi justeru berada di tempat-tempat tawuran,” ujar penulis buku: Arsitektur Perdamaian, yang dalam waktu dekat akan terbit itu.
Selain membangun literasi positif sebagai bentuk mitigasi untuk menghindarkan generasi kita dari konflik dan kekerasan, kita juga perlu membangun idiom-idiom lokal untuk membangun kesadaran berdasarkan kearifan lokal.
Karena itu konsep “pela gandong”, “hidup orang basudara” dan sejenisnya tidak sekadar menjadi jargon atau simbol lokal sebagai ajang politisasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Idiom-idom lokal itu haruslah dibangun sebagai bentuk untuk merawat kohesi sosial juga memperkuat hubungan yang sifatnya inklusifisme atau kebersamaan. Semua potensi lokal ini harus dinarasikan untuk memperkuat kerukunan bagi semua komponen masyarakat.
Untuk apa kita memperkuat struktur di permukaan dengan mengedepankan idiom-idiom lokal seperti ‘pela-gandong’ dan ‘hidup orang basudara’ hanya sekadar live service di saat pidato atau kampanye, padahal faktanya di lapis bawah masyarakat kita justeru rapuh dan rentan untuk berkonflik.
Karena itu kedepan kita perlu membangun literasi bersama sebagai bentuk antitesa untuk memperkuat kohesi sosial. Kalau di Manado mereka punya konsep: Semua Torang Basodara, mengapa kita di Maluku tidak menjadikan narasi: Hidup Orang Basudara sebagai tagline bersama.
Dengan tema ini semua orang yang hidup di Maluku harus punya kebanggaan dan rasa tanggung jawab bersama. Karena itu kita semua harus menjaga kerukunan, dan untuk mereka yang menjadikan konflik dan kekerasan bukanlah menjadi bagian dari saudara.
Jadi, konsep ‘pela-gadong’ dan ‘hidup orang basudara’ bukan lagi sekadar live service tapi ia benar-benar harus bisa diimplementasikan. Dan, untuk mereka yang senang berbuat konflik dan kekerasan bukanlah menjadi bagian dari saudara karena tidak mencerminkan kehidupan orang Maluku.
Pada tataran konsep, gagasan DR. Saidin Ernas ini boleh jadi ada benarnya. Upaya untuk menjaga keragaman dari ancaman kekerasan dan konflik komunal di Maluku sebagaimana kerab kambuh itu tidak sekadar menjadikan idiom-idiom lokal sekadar live service atau sebagai ajang politisasi.
Yang dibutuhkan saat ini adalah membangun tanggung jawab bersama dari semua pemangku kepentingan untuk menjadikan indeks keragaman masyarakat Maluku yang inklusif menjadi lebih bermakna dalam hidup “orang basudara” di tanah Maluku yang kita cintai.(AHMAD IBRAHIM)