Binaya Memisahkan, Kemanusiaan Menyatukan: Kisah Relawan Menjemput Firdaus

  • Bagikan
OBROLAN RAKYAT MALUKU. Koordinator Tim SAR Relawan PA Maluku, Nazir Rumra, berbincang santai sebagai narasumber dalam program Podcast Obrolan Rakyat Maluku di Kantor Harian Rakyat Maluku, Rabu 11 Juni 2025. Acara yang dipandu Fitri El Alifa sebagai host itu mengambil tema "Di Balik 21 Hari Pencarian Firdaus: Suara Relawan di Sunyi Binaiya".

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Sunyi menyelimuti Gunung Binaya. Di pelukannya yang lebat dan liar, seorang anak manusia menghembuskan napas terakhir. Namun, di balik sunyi itu, puluhan nyawa bertaruh demi satu harapan, menemukan dan membawa pulang Firdaus.

Mei 2025 akan selalu dikenang sebagai bulan duka bagi dunia pendakian di Maluku. Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki asal Bogor, dilaporkan hilang di kawasan Gunung Binaya, Kabupaten Maluku Tengah. Gunung tertinggi di Maluku itu bukan hanya menguji nyali, tapi juga iman. Sebab tak semua yang mendakinya, akan kembali.

Hari-hari berlalu, kabar itu menyebar pelan tapi pasti. Pada 26 Mei, di sebuah rumah sederhana di Ambon, seorang pendaki senior, Nazir Rumrah, terpaku pada layar ponsel. Sebuah unggahan media sosial menyebut seorang pendaki tak kunjung turun. Baginya, itu bukan sekadar berita, itu panggilan nurani.

Nazir tahu benar seluk-beluk Binaya. Tapi kali ini, bukan untuk mendaki puncaknya, melainkan untuk sebuah misi kemanusiaan, yakni, mencari Firdaus yang tak diketahui di mana dan dalam keadaan bagaimana.

Nazir tak sendiri. Ia segera menghimpun kekuatan. Bersama rekan-rekan relawan Pecinta Alam Maluku, porter lokal, masyarakat adat Desa Piliana, serta para guide dari berbagai komunitas, sebuah tim pencarian dibentuk. Mereka meninggalkan kenyamanan rumah, meninggalkan pekerjaan, dan mungkin juga meninggalkan rasa aman demi satu nyawa yang bahkan belum mereka kenal.

Hari-hari di Binaya adalah ujian. Kabut tak pernah benar-benar pergi, hujan turun tanpa jadwal, dan hutan menutup diri seperti menyimpan rahasia. Pos demi pos mereka lewati, menyusuri jalur licin, menyeberangi sungai, memanjat tebing, dan tidur dalam basah serta dingin yang menggigit. Namun langkah-langkah mereka selalu diiringi satu hal, doa.

Doa dari orang-orang yang tak pernah bertemu Firdaus. Tapi merasa memilikinya. Merasa bertanggung jawab. Ketika harapan mulai menipis, secercah cahaya datang dalam bentuk tak terduga, sebungkus rokok merek Dunhill. Tergeletak di sekitar Sungai Yahe, seolah ditinggalkan tergesa. Mail, porter yang pernah mendampingi Firdaus, langsung mengenalinya.

“Itu rokok dia,” ucapnya, pelan namun pasti. Seperti suara kompas yang kembali menemukan arah.

Dengan peralatan seadanya, tim melanjutkan penyisiran menyusuri lembah terjal dan aliran sungai yang deras. Tak ada alat canggih, hanya insting, pengalaman, dan tekad. Bahkan ketika pihak Balai Taman Nasional Manusela memutuskan menghentikan pencarian, mereka tak menyerah. Mereka kembali turun, berdiskusi, bermusyawarah. Lalu naik lagi, melawan logika yang mulai lelah.

Sabtu, 17 Mei 2025, pukul 14.30 WIT. Suasana hening. Di sela gemuruh air terjun, terdengar suara lirih dari salah satu relawan bernama Fahri: “Sudah, itu dia…”

Tubuh itu tergeletak di bawah air terjun, tengkurap, diam dalam sunyi. Firdaus, yang dicari siang dan malam, akhirnya ditemukan. Tapi bukan dalam keadaan yang diharapkan. Ia telah menyatu dengan sunyinya Binaya. Telah pergi, namun tidak sendiri.

Tim menunduk. Beberapa tak kuasa menahan air mata. Pelukan terakhir dari gunung itu menjadi saksi akhir perjuangan seorang pendaki. Sekaligus awal dari perjalanan baru, membawa pulang Firdaus.

Evakuasi bukan akhir dari segalanya. Justru itu babak baru yang lebih melelahkan. Jalur terjal yang dulu mereka lalui untuk mencari, kini harus mereka hadapi lagi, kali ini sambil mengangkat jenazah.

Firdaus dipanggul bergantian, estafet dari tangan satu relawan ke tangan lainnya. Mereka menembus hujan, licin tanah, dan rimba yang kembali menutup jalan. Hingga akhirnya, tubuh Firdaus tiba di Desa Piliana, tempat pemberhentian terakhir sebelum terbang ke kampung halaman.

Dengan dukungan pemerintah daerah, para donatur, dan jejaring relawan, Firdaus dibawa pulang ke Bogor. Kembali ke pelukan keluarganya. Tapi cerita tentangnya tak berhenti di situ.

Firdaus bukan hanya nama. Ia adalah pelajaran. Tentang pentingnya persiapan sebelum mendaki. Tentang respek terhadap alam. Tapi yang paling dalam, tentang manusia.

Ia mengajarkan bahwa satu nyawa layak diperjuangkan oleh puluhan, bahkan ratusan. Bahwa kemanusiaan melampaui nama, suku, atau kota asal.

“Kami tidak ingin tepuk dada. Ini bukan tentang siapa yang hebat,” kata Nazir, dengan suara bergetar. “Ini tentang kemanusiaan. Karena di Maluku, satu orang hilang bukan hanya urusan keluarga, tapi urusan semua,” sambungnya.

Gunung Binaya memang memisahkan. Tapi kisah ini membuktikan bahwa cinta dan kemanusiaan selalu punya jalan untuk menyatukan. (MON)

  • Bagikan