RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan penataan ulang Pasar Mardika oleh Pemerintah Kota Ambon, suara-suara lirih dari para penarik becak nyaris tak terdengar. Di balik ambisi modernisasi kota, ada kesunyian dan perjuangan yang terpaksa dikayuh setiap hari.
Bahar Anjaran (49), salah satu penarik beca, masih setia mengayuh pedal tuanya di sekitar kawasan pasar. Wajahnya terlihat letih, namun matanya terus menatap ke kanan dan kiri, berharap ada penumpang yang membutuhkan jasanya.
“Sekarang susah, sejak penertiban pasar ini, kita setengah mati dapat penumpang. Mau dapat seratus ribu saja sudah susah. Sebelum penertiban, pendapatan masih bagus,” ungkap Bahar saat ditemui pada Minggu, 25 Mei 2025.
Bahar sudah menarik beca sejak 2019. Saat itu, ia bisa mengantongi hingga Rp200 ribu per hari. Bahkan, saat pandemi Covid-19 melanda, pendapatannya masih terbilang layak. Namun semuanya berubah drastis setelah pembongkaran Pasar Mardika dimulai.
“Lebih baik waktu corona. Pendapatan masih bisa Rp150 sampai Rp300 kalau rejeki. Tapi sekarang, penumpang sudah sangat jarang,” keluhnya.
Pasar Mardika dulunya menjadi pusat aktivitas warga. Mereka yang berbelanja kerap memanggil beca untuk membawa barang atau sekadar menghindari lelah berjalan kaki. Kini, setelah lapak-lapak dibongkar dan aktivitas pasar berkurang, para penarik beca kehilangan sumber nafkah utama mereka.
“Sebelum pembongkaran, saya bisa dapat seratus ribu per hari. Tapi sekarang, keluar dari jam tiga sore sampai malam pun belum tentu ada penumpang. Kadang hanya bawa pulang lima puluh ribu bersih,” katanya sambil menghela napas panjang.
Sebagai tulang punggung keluarga dengan dua anak, Bahar tak punya pilihan lain. Setiap hari ia tetap mengayuh beca milik orang lain yang harus ia setor Rp15 ribu per hari.
“Kita berusaha saja. Mau bagaimana lagi. Ini bukan beca sendiri, jadi harus setor juga,” ujarnya pelan.
Keluhan serupa juga disampaikan Fredy, penarik beca lainnya. Pendapatannya kini tak menentu. Jika beruntung, ia bisa membawa pulang Rp60 ribu, tapi seringkali hanya cukup untuk kebutuhan sehari.
“Per hari itu tidak tentu. Paling bersih sekarang ini hanya Rp50 sampai Rp60 ribu,” ujarnya singkat.
Di tengah penataan kota yang diklaim demi kenyamanan warga, kisah-kisah seperti Bahar dan Fredy mencerminkan sisi lain dari kebijakan pembangunan, suara-suara kecil yang nyaris tak terdengar, namun nyata menggambarkan luka sosial yang harus ditanggung mereka yang hidup dari sektor informal. (MON)