Fahmi Sallatalohy, Staf pengajar IAIN Ambon

  • Bagikan

Desa Administratif Menjadi Negeri Adat, Mungkinkah?

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, —Beberapa hari terakhir publik di sibukkan dengan upaya pemerintah ingin merubah status beberapa desa menjadi negeri terutama di Maluku Tengah menjadi negeri adat. Spontan sebagian komponen masyarakat adat memberikan reaksi keras baik lewat media sosial maupun statemen-statemen mereka dengan nada menolak ataskecerobohan legislatif terkait Ranperda peralihan status desa tersebut tidak boleh di Perdakan. Prinsipnya mereka yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah berkaitan dengan Ranperda desa menjadi negeri adat, jika benar-benar terjadi pasti mereka “lawan” karena menurut penilaian mereka suatu wilayah yang bertatus desa tetap menjadi desa, dan tidak bisa dialihstatuskan menjadi negeri, apalagi menjadi negeri adat.
Peristiwa alih status desa adat menjadi negeri adat (kalau memang benar-benar terjadi) maka ini baru pernah terjadi dalam sejarah negeri adat di Maluku. Negeri adat di manapun di Maluku tentunya mempunyai satu kesatuan wilayah homogen yang memperjelas posisi suatu negerisebagai negeri adat. Walaupun secara diameteral beberapa negeri adat tidak memiliki petuanan karena batas negeri satu dengan lain secara demografi memang cukup dekat.Akan tetapi problemnya ada pada negeri-negeri adat yang memiliki banyak desa di mana sebagian masih berstatus di mana dalam undang-undang di sebut desa adat ataupetuanan yang disebut dengan desa karena mengalami pemekaran menjadi desa administratif. Permasalahannya adalah, apakah desa tersebut statusnya bisa dirubah menjadi negeri adat? Apakah benar, ada suatu desa memiliki legitimasi sehingga dapat dirubah statusnya menjadi negeri adat?
Jika mencermati muatan Undang-Undang Nomor 6Tahun 2014, tentang desa yang telah memuat beberapa persyaratan pokok yang perlu dipenuhi jika suatu desa hendak di jadikan sebagai desa adat. Penekannya pada desa adat, bukan pada negeri adat. Karena dalam undang-undang tidak disebutkan negeri adat.
Misalnya dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri di jelaskan (1) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada. (2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa,asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa. Pasal 7 ayat (1) Pembentukan desa harus memenuhi syarat: a. batas usia desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan; b. jumlah penduduk, untuk Maluku berada di kisaran antara 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; secara formal administratif kemungkinan bisa saja persyaratan ini dipenuhi, apakah secara adat persyaratan ini bisa terpenuhi? memerlukan kajian intensif secara konsekuen dari pemangku kepentingan.
Misalnya dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri di jelaskan (1) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada. (2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa,asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa. Pasal 7 ayat (1) Pembentukan desa harus memenuhi syarat: a. batas usia desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan; b. jumlah penduduk, untuk Maluku berada di kisaran antara 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; secara formal administratif kemungkinan bisa saja persyaratan ini dipenuhi untuk pengalihan status desa adat, akan tetapi secara adat apakah mungkin?Jawabannya belum tentu karena persyaratan pembentukan negeri adat tidak ada dalam undang-undang sehingga apa yang mau dipenuhui? Jadi sebaiknya pengambil kebijakan fokus pada pembentukan desa adat menjadi desa adat yang baru, atau menggabungkan beberapa desa adat menjadi desa adat baru.
Kemudian dalam Paragraf 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembentukan Desa oleh Pemerintah PusatPasal 8 menjelaskan antara lain (1) Pemerintah Pusat dapat memprakarsai pembentukan desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional, tanpa memperhatikan persyaratan pembentukan desa. (2) Pembentukan desa oleh Pemerintah Pusat sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pemekaran dari 1 (satu) desa menjadi 2 (dua) desa atau lebih; atau b. penggabungan bagian desa dari desa yang bersanding atau penggabungan beberapa desa menjadi 1 (satu) desa baru. Mengikuti peraturan Mendagri jelas kewenangan apapun tidak dapat merubah desa adat menjadi negeri adat karena klausulnya berbeda yaitu pemekaran dari satu desa menjadi dua desa, kemudian desa bisa menjadi dua desa atau lebih atau terjadi penggabungan dari beberapa desayang digabungkan menjadi satu desa baru.
Dalam penjelasan Undang-Undang ataupun Peraturan Menteri Dalam Negeri memiliki skop pada desa adat tanpa menjelaskan secara sublimatif kewenangan seseorang atau kelompok yang bisa mengatur dan mengambil alih atau bahkan merubah status desa menadi negeri adat. Sepintas kebijakan legislatif terkait alih status desa administratif menjadi negeri adat tersebut sangat keliru bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan spirit dasar kejiwaan masyarakat Maluku sebagai masyarakat berbasis adat yang penuh kearifan lokal.
Kembali lagi kita mencerna Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desadititikberatkan pada urusan pemerintahan desa dan seluruh kegiatan pelayanan dan pembangunan. Bahkan dalam undang-undang ini dapat saya katakan deferensiasinya cukup besar karena undang-undang menekankan pada lingkungan desa dimana cakupan wilayahnya sangat jauh berbeda dengan negeri adat, sementara pada negeri adatsecara otonomi tidak diatur sama sekali dalam undang-undang tersebut. Oleh karena, itu tidak mungkin kita mengkaitkan status perubahan desa administratif menjadi negeri adat tanpa melibatkan pemangku kepentingan darinegeri-negeri adat atau stakeholder lain agar mereka dapat memberikan konsensus atas setiap keputusan yang diamanatkan pemerintah.
Kemudian kita mendalami lagi Permendagri Nomor 1 Tahun 2017, dapat dikatakan muatannya hampir mirip dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, di mana kewenangan desa adat (dalam undang-undang disebut desa adat) memiliki urgensi misalnya seperti (1) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf (a) merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada. (2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa.
Berdasarkan kewenangan yang termuat dalam Permendagri tersebut, poin penting yang perlu ditekankan adalah desa administratif bisa membentuk desa administratif baru sesuai dengan persyaratan-persyaratannya. Jadi, tidak ada kewenangan sedikitpun desa administratif membentuk “dirinya” melalui mekanisme pemerintahan desa untuk menjadi negeri adat, atau akan dibentuk oleh pihak atau lembaga tertentusehingga menjadi negeri adat. Desa administratif berada dalam satu kesatuan teritori negeri adat yang memiliki kewenangan membawahi pemerintahan desa serta seluruh kewenangan adat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara de facto, desa administratif tidak boleh dipaksakan menjadi negeri adat karena dasar pendirian negeri adat tidak terlepas dari komponen adat lainya seperti mempunyai teon, matarumah, batu pamali, baileo, memiliki sejarah aman atau hena dan seturusnya yang merupakan geneologi lengkap dari negeri adat yang sudah berlangsung turun temurun, orisinalitas dan kompleksitasnya.
Pertanyaannya adalah, apakah hasil legislasi Ranperda Adat sudah mempertimbangkan komponen-komponenadat yang disebutkan di atas? Sementara komponen yang ada tidak pernah di atur dalam Undang-Undang, bagaimana kemudian masalah legasi desa adat tidak memiliki dasar secara legal formal yang lebih tinggi di atas Perda? Lalu apakah desa administratif tersebut (jika jadi dibentuk) masuk dalam kelompok masyarakat adat yang mana? Ulisiwa atau Ulilima? Permasalahan seperti ini seharusnya penting untuk dijelaskan ke publik dan hasil legasi Ranperda punya indikator yang jelas dan terukur bukan sekedar membuat konsep kemudian disahkan. Terkesan memang lembaga kompeten sangat terburu-buru dan tidak fokus pada esensi peruhaban yang sesungguhnya.
Kebijakan yang dilakukan oleh DPRD Maluku Tengah jelas menimbulkan masalah baru, karena mayoritas negeri adat di Maluku Tengah akan menolak peralihan status desa adat menjadi negeri adat. Jadi menurut hemat saya, sebaiknya desa administratif tersebut di mekarkan lagi menjadi desa administratif yang baru, karena mengacu pada undang-undang justru memberikan kewenangan terkait hal itu atau bisa jadi ada proses penghapusan desa dan diotonomkan ke negeri adat kembali. Alternatifnya sedikit pelik karena berbenturan dengan kepentingan desa dan negeri adat.
Desa tidak perlu menjadi negeri adat, karena tidak diatur dalam undang-undang. Namun hal ini kembali kepada komponen masyarakat terkait apakah mereka menyetujui klausul sesuai undang-undang ataukah mengikuti hasil legislasi DPRD. Pilihan yang ada sesuai dengan penjelasn Pasal 6 Permendagri antara lain (1) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada. (2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi Desa
Berdasarkan Permendagri yang telah disebutkan di awal, yaitu pada BAB II, Ruang Lingkup, pasal 2 menyebutkan bahwa ruang meliputi (1) Ruang lingkup meliputi: a. penataan desa; dan b. penataan desa adat. (2) Penataan desa dan penataan desa adat sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berupa: a. pembentukan desa dan desa adat; b. penghapusan desa dan desa adat; dan c. perubahan status desa dan desa adat.
Berdasarkan point-point dalam Peraturan Menteri tersebut dapat dipertegas lagi bahwa, secara spesifik tidak ada aturan yang mengatur peralihan status desa administratif menjadi negeri adat. Kalaupun pihak-pihak terkait ingin merubah status desa menjadi negeri adat maka sesungguhnya perubahan itu berlaku pada desa adat yang disebutkan dalam undang-undang.
Dengan demikian langkah pihak legislatif untuk merubah status desa administratif menjadi negeri adat itu sangat tidak sesuai dengan muatan undang-undang dan Peraturan Menteri. Maka sangat ambivalen jika suatu produk hukum dalam bentuk perda justru tidak memuat aspek legal formal yang sinkron dengan undang-undang.
Mengingat banyak desa di Maluku Tengah sudah puluhan tahun tidak pernah mengenyam keadilan plus kesejahteraan maka upaya yang dilakukan pemerintah Maluku Tengah sesugungguhnya untuk mendekatkan desa-desa tersebut agar dapat membangun, mereorgnisasi struktur pemerintahan desa, mendesai maket pembangunan desa berkelanjutan sesuai amanat undang-undang. Dalam hal ini kepala desa sebagai tokoh sentralberperan membantu mengkomunikasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah desa agar dapat desa berperan aktif dalam pembangunan, meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Kondisi ini sesuai dengan keinginan pemerintah yaitu mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa; mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa; mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan desa; dan meningkatkan daya saing desa. Jadi dengan demikian desa diberikan peran yang lebih besar dalam mengelola proyeksi Pembangunan yang diberikan oleh pemerintah.
Legislasi status desa administratif menjadi negeri adat tentu saja dapat memicu sentimen baru di kalangan masyarakat. Saya kira DPRD sudah faham betul eskalasi-eskalasi akibat tetapkan sebuah produk hukum, dan jika benar Ranperda disahkan maka secara langsung DPRD Malteng telah mendesain kerawanan baru di tengah masyarakat. Dasar pemikiran saya karena, mereka faham betul kerawanan paling potensial di Maluku Tengah adalah masalah tapal batas, dan status negeri/desa. Jadi,kebijakan legislasi yang prematur seperti ini tanpa melibatkan beberapa pihak terkait justru memicu kerawanan baru yang akan merugikan masyarakat sendiri. Sebaiknya kebijakan tersebut dipikir kembali secara matang sambil memikirkan langkah-langkah strategis lain yang sesuai yang tidak resisten di masyarakat.
 

  • Bagikan

Exit mobile version