Pasar Tertata, Pembeli Lenyap: Suara Pedagang dari Dalam Gedung

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, – Di antara deretan kios dalam gedung baru Pasar Mardika, seorang perempuan paruh baya tengah menata sayuran segar di lapaknya. Namanya Ibu Ira.

Bagi para pelanggan setia di kawasan pasar terbesar di Ambon itu, ia bukan sosok asing. Dua tahun lamanya, ia setia menggelar dagangan di emperan pasar lama, menanti pembeli yang silih berganti datang hingga seluruh sayurannya habis sebelum malam tiba.

Namun sejak direlokasi ke dalam gedung baru oleh Pemerintah Kota Ambon, Ibu Ira harus menelan kenyataan pahit, dagangannya tak lagi seramai dulu.

“Kalo sekarang jualan yang laku sedikit. Tidak seperti dulu sewaktu masih berjualan di emperan,” ujarnya saat ditemui, Selasa, 29 April 2025.

Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang diselimuti rasa pasrah.

Gedung baru Pasar Mardika memang tampak megah dan tertata. Tidak ada lagi kios berdesakan di bawah terik atau hujan. Tapi bagi para pedagang kecil seperti Ibu Ira, kenyamanan itu tidak selalu sejalan dengan keberuntungan.

Menurutnya, pembeli justru enggan masuk ke dalam pasar. Mereka lebih suka membeli dari pedagang yang terlihat langsung dari pinggir jalan.

“Mereka lebih suka yang langsung kelihatan pas lewat. Makanya kita di dalam gedung sepi pembeli,” katanya.

Perubahan lokasi yang semestinya membawa peningkatan, malah menjadi tantangan. Beberapa pedagang bahkan memilih kembali ke trotoar atau pinggir jalan, meski berisiko ditertibkan oleh petugas.

“Ade tau to, jualan itu soal lokasi, bukan hanya fasilitas,” ungkapnya dengan logat khas Ambon yang tetap hangat meski bicara soal keluhan.

Kondisi ini berdampak langsung pada pendapatan. Setiap hari, Ira harus menghitung kembali sisa dagangan yang tak laku, sesuatu yang jarang ia alami saat masih di luar gedung.

Meski begitu, ia masih bersyukur karena kini tak lagi harus berpanas-panasan atau khawatir kehujanan.

“Pedang semua mengeluh, kalau disini alhamdulillah tidak panas lagi, tapi pembeli kurang,” tambahnya.

Harapan Ira kini tertuju pada ketegasan pemerintah. Ia berharap tidak ada lagi pedagang yang berjualan di depan gedung, agar pembeli terbiasa masuk ke dalam pasar.

“Kalau bisa semua disuruh masuk. Supaya semua sama-sama merasakan jual beli di dalam pasar baru ini,” pintanya.

Soal biaya, Ira mengaku tak terbebani. Di gedung baru, mereka tidak dikenakan sewa kios seperti pasar-pasar swasta. Hanya ada biaya operasional sebesar Rp13 ribu per hari yang harus mereka bayarkan.

“Alhamdulliah kita tidak bayar sewa,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Suara senada datang dari La Rusdi, pedagang lain yang menempati bagian belakang gedung. Ia mengatakan bahwa posisinya yang kurang strategis berdampak langsung pada pendapatannya.

“Saya di bagian belakang, jadi pendapat menurun,” tuturnya singkat.

Revitalisasi pasar memang menjadi program andalan di banyak daerah. Di atas kertas, modernisasi pasar bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, dan kelayakan bagi pedagang dan pembeli.

Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur saja tidak cukup. Tanpa strategi penataan dan dukungan kebijakan yang adil, pasar tertata bisa saja kehilangan jiwanya, keramaian.

Dan di tengah bangunan rapi nan lengang itu, suara-suara kecil seperti Ibu Ira dan La Rusdi tak boleh diabaikan. Sebab merekalah denyut nadi pasar yang sesungguhnya. (MON)

  • Bagikan