Wisata Pantai Tanah Jazirah

  • Bagikan

Namanya Lubang Buaya Beach. Ini adalah salah satu spot wisata pantai di sebelah utara Pulau Ambon. Objek wisata yang berada di sebuah distrik bernama Desa Morella, di Jazirah Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, ini sempat populer setelah Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti diam-diam melakukan diving dan melepas lebih 200 ekor anakan penyu untuk dikembangbiakkan ke laut yang berhadapan dengan Pulau Seram pada 2016 lalu.

Kunjungan Menteri Pudjiastuti ini sempat viral dan menyita perhatian para pegiat diving dan pencinta lingkungan hingga membuat nama spot wisata yang dikelola keluarga bermarga Thenu itu menjadi populer.

Dari hasil menyelamnya itu Menteri Pudjiastuti memuji objek wisata Lubang Buaya Beach tidak hanya dikenal karena lautnya, tanjung, dan pepohonan di bibir pantai, tapi karena karang laut dan aneka spesisnya terlihat indah.

Menteri Susi bahkan bangga pada spot wisata Lubang Buaya Beach ini tidak kalah menarik dengan Taman Nasional Bunaken di Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

“Setelah saya dari Bunaken ternyata objek wisata di Lubang Buaya Beach di Negeri Morella tak kalah menarik karena karang laut dan aneka spesisnya masih alami,” ujar Pudji Astuti, kala itu.

Pengakuan itu juga diakui oleh pengelola saung atau gazebo Lubang Buaya Beach Ibrahim Thenu. Bukan saja menteri Pudjiastuti, sebagian besar menteri di era Presiden Joko Widodo sudah banyak yang datang ke sini dan mengaku puas. Tak ketinggalan para jenderal yang datang pun mengaku bangga setelah berkunjung ke sini menatap viewnya.

Ibrahim Thenu mengaku sejak ide pembukaan objek wisata ini dia tak berpromosi, justeru mereka yang pernah melakukan diving termasuk ibu Menteri Pudjiastuti setelah menyaksikan keindahan karang laut membuat nama objek wisata menjadi harum dan populer.

Di balik keunikan Pulau Ambon ini ternyata menyimpan banyak misteri dengan segala kelebihan alamnya di sepanjang bibir laut dari arah Desa Morella. Salah satunya yakni keunggulan potensi objek wisata pantai dengan aneka resort atau penginapan dihiasi oleh pepohonan, pegunungan, teluk, tanjung, dan lautnya nan eksotik.

Lekukan pegunungan nan hijau menambah kekhazan panorama alamnya nan indah. Terlihat di seberang sana Pulau Seram. Di ujung sananya lagi tampak Tanjung Sial.

Di Pulau Seram ini tepatnya seputar Desa Waisarisa di salah satu kawasan milik taipan Tommy Winata itu bakal menjadi Proyek Pengembangan Perikanan Terpadu yang menjadi program andalan Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa.

Ini merupakan lanjutan dari rencana semula pengembangan Program Strategis Nasional (PSN) yakni Ambon New Port dan Program Pengembangan Perikanan Terpadu yang sebelumnya telah direncanakan dibangun di Desa Liang, sebelah timur Pulau Ambon, pada era Presiden Joko Widodo. Sayang impian pemerintah pusat ini keburu mati suri.

Tiga kali mantan walikota Solo ini ke Ambon untuk persiapan upgrading proyek yang digagang-gadang bernilai Rp300 T itu. Lagi-lagi proyek prestisius itu keburu mati gaya setelah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memutuskan pembatalan karena di lokasi proyek ditemukan banyak bahan peledak peninggalan PD II.

Menurut Pak Ibrahim Thenu yang biasa disapa Pak Baim, itu para pengunjung Lubang Buaya Beach selain wisatawan lokal dari Kota Ambon dan sekitarnya juga ada wisatwan nusantara (wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman).

Belum sejam saat saya tiba ada enam pengunjung dilengkapi alat penyelam sedang bersiap untuk menyelam. “Mereka ini baru saja datang dari Jakarta setelah dari Pulau Banda,” ujarnya.

Tak sedikit peneliti dan mahasiswa dari berbagai kota berkunjung ke spot wisata ini. “Mereka datang dan bertanya dari soal mengapa diberi nama Lubang Buaya, karang laut dan aneka spesis hingga sejarah Perang Kapahaha. Pun siapakah tokoh bernama Kapitan Tulakabessy itu,” ujar Pak Baim.

Ia juga bercerita soal hubungan Jazirah Leihitu, Ternate, Tidore, Ambon, Makassar, dan Buton.

Untuk harga karcis masuk dikenakan tarif Rp 3.000 per orang. Belum termasuk sewa gazebo perkepala dihitung Rp10.000. Bagi Anda yang ingin berenang tersedia alat pelampung Rp 15.000. Pun sewa perahu perorang dikenakan tarif Rp.10.000.

Di sana juga Anda bisa nikmati aneka khas kuliner berupa gorengan seperti umbi-umbian, pisang goreng dll.

Juga bagi Anda penikmat mie rebus tersedia “sarmento” alias sarimie telor, dan aneka minuman khas.

Bergeser ke timur Pulau Ambon di sini kita juga bisa menjumpai spot wisata yang tak jauh populer. Setiap tahun selepas Lebaran atau Tahun Baru saya dan keluarga kerab memanfaatkan waktu mengisi hari libur mengelilingi spot wisata utara Jazirah Pulau Ambon, itu.

Banyak hal bisa dilihat di sana. Ternyata selama beberapa tahun tak ada yang berubah. Perkembangan objek wisata baik jalan maupun fasilitas berupa spot seolah stagnan.

Di banding pengunjung yang datang dan semangat para pengelola objek wisata kalah jauh dengan dukungan fasilitas yang diberikan para pemangku kepentingan.

Di Lubang Buaya Beach, misalnya. Di sini kita jumpai banyak saung yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat terkesan apa adanya. Tak heran saat berada di atas gazebo yang umumnya terbuat dari kayu seolah bergoyang begitu ada tekanan air laut. Sesekali dikira gempa bumi padahal hanya karena tiang gazebo yang tidak kokoh.

Untuk Anda yang berkunjung dalam jumlah banyak sebaiknya menghindari saung yang tak stabil sebab berisiko roboh. Ini juga sekaligus sebagai catatan buat para pemangku kepentingan agar perlunya mengawasi dan mengecek kondisi gazebo milik para pengelola wisata pantai di sana.

Tanpa kecuali jalanan yang rusak dan spot wisata yang terlihat seadanya menuntut kerja keras dan kepedulian dari para pemangku kepentingan untuk lebih maksimal membantu dan mendukung pengembangan objek wisata pantai dan pelaku usaha UMKM di bibir utara dan timur Pulau Ambon, itu.

Banyaknya mobil yang antri di pintu masuk berikut penuhnya lahan parkir menandakan animo masyarakat, pencinta diving, dan pemerhati lingkungan menikmati suasana santai di bibir pantai Pulau Ambon begitu tinggi.

Catatan perjalanan wisata saya di pesisir Pulau Ambon ini seolah membenarkan peribahasa: “Berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa.”

Rasanya setiap kali perjalanan kemana pun di dalam atau luar negeri saya selalu ingat kata-kata bijak yang diajarkan ibu guru saya Aprience Kitong itu.

Sudah lama pepatah ini menjadi hafalan wajib saya saat duduk di bangku SD yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia dan Kesusastraan kami itu.

Guru saya yang kerab dipanggil “Encik Rin” ini selalu memberi tugas khusus bersama teman-teman tampil di depan kelas menghafal peribahasa: “Berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa.”

Ternyata berjalan dan melihat saja tidaklah cukup tapi haruslah diikuti oleh catatan biar bisa menjadi pengingat.

Seperti juga ilmu.

Kata para mufassirin, ilmu itu bagaikan binatang buruan yang harus diikat. “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat,” kata Imam Syafii.

Termasuk kebodohan, kata Imam Syafii, kalau engkau memburu kijang setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.

Jika tidak diikat ia akan pergi dan berlalu sehingga sulit didapat jika sudah terlepas.

Itulah mengapa setiap kali kunjungan pada suatu tempat ada saja kesan yang dilihat dan dirasakan selalu mengingatkan saya pada ungkapan peribahasa tersebut.

Setelah sekian tahun memutari dan melihat spot wisata di pesisir pantai Pulau Ambon saya menemukan banyak hal baik sarana dan prasarana wisata tak ada yang berubah.

Meski berada di Pulau Ambon semua objek wisata yang saya sebutkan di atas berada di bawah distrik Kabupaten Maluku Tengah yang beribukotakan Masohi, nun di seberang di Pulau Seram, itu.

Inilah kawasan yang kerab disebut Jazirah Leihitu dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terbanyak: 90.000 DPT yang dipimpin Bupati Zulkarnain Awat Amir, itu.

Sayang sekali melihat view dan objek wisata nan menarik tak sesuai dengan akses jalan yang penuh lubang dan dikelilingi rumput di sayap kiri-kanan badan jalan — kalah cepat dengan jumlah kunjungan wisatawan yang datang.

Di Pantai Liang pun idom ditto. Sama saja. Akses internetnya timbul-tenggelam. Di tempat ini para pengunjungnya seolah tak pernah sepi. Kecuali beberapa tahun lalu pasca gempa bumi 6,8 SR, 29 September 2019 diikuti dua tahun virus mematikan Covid-19, sejak Maret 2020, objek wisata ini sempat lengang.

Dua tahun sejak adanya pembatasan ruang gerak akibat virus mematikan corona pantai ini tampak sunyi namun kini sudah mulai bergeliat.

Pantai Liang memiliki garis pantai yang panjang. Bila terjadi pasang surut terlihat hamparan pasir putih yang indah dan memesona di sepanjang bibir pantai. Karena keindahannya pada tahun 1990 oleh UNDP-PBB pernah menobatkannya sebagai Pantai Terindah di Indonesia.

Selain Pantai Natsepa yang terkenal dengan Rujak Natsepa, Lubang Buaya Beach, dan Pantai Liang yang eksotik, juga ada Umeata Resort, Hallasi Beach, Lavega Beach, Black Stone Beach, Pema Story, Waimata Resort, Litahahi Beach, Alfaith Beach, Letan Beach, Pantai Batu Kuda, dll.

Untuk menarik lebih banyak wisatawan tak ada cara lain kecuali perlunya perbaikan akses jalan, jaringan internet, dan managemen pengelolaan pariwisata yang mumpuni harus mendapat prioritas dan dukungan dari pemangku kepentingan di Maluku guna menambah pundi-pundi daerah.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version