Oleh A. Malik Ibrahim
“Di dalam diri kita senantiasa berkecamuk perang besar, lalu kenapa masih selalu ingin berperang dengan orang lain?” (Rumi)
MAKNA hakiki puasa adalah menahan diri. Mengendalikan dan menyaring hasrat dan tabiat kerakusan. Prinsip dasar puasa bukanlah melampiaskan atau menghabiskan. Disebut “puasa adalah kesanggupan memahami batas-batas nafsu keduniawian”.
Secara spiritual puasa adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani dan ruhani. Kandungan dari nikmat puasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub), sedekat-dekatnya hingga tenggelam dalam rasa cinta kasih di keharibaan-Nya.
Allah adalah Zat Yang Maha Mutlak. Dia mengajarkan kecerdasan, kepekaan dan juga kerendahan hati hamba-hamba-Nya melalui puasa.
“Sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya”. Apa yang dimaksudkan adalah menekankan betapa seriusnya ibadah puasa bagi manusia dalam menjalankan hidupnya. Jadi, substansi puasa adalah pembebasan jiwa manusia dari belenggu hawa nafsu. Dalam kisah Al-Qur’an disebutkan : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagi Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya”. (Al-Jatsiyah : 23).
Tidak berhenti pada bagaimana pengendalian hawa nafsu, yang membuat jiwa jadi kuat. Karena itu, puasa juga melatih kita merasakan penderitaan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan segera berakhir hanya dengan beberapa jam. Sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir.
Termasuk dalam spiritualitas ini adalah perlawanan Agama terhadap keserakahan. Dengan zakat dan sedekah pada hakikatnya seseorang tengah mengikis sifat kikir dan serakah yang mungkin saja selama ini bersemayam dalam dirinya.
***
Dunia ini tak lebih berharga daripada sebelah sayap nyamuk. Kenikmatannya sedikit, tapi diperebutkan banyak orang. Cukuplah dia berada digenggaman tangan. Jangan biar dia masuk ke dalam hati. Jadilah manusia
yang berjalan dengan zuhud. Bukan berarti kita tak boleh menjadi kaya. Tapi milikilah kekayaan yang tidak menggerogoti iman.
Semua di dunia ini ada batasnya. Tentang keserakahan, kata Nabi SAW, “Andaikan manusia sudah memiliki dua gudang kekayaan, ia pasti ingin memiliki gudang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memuaskan isi perutnya, kecuali kematian”. Serakah adalah sifat buruk yang bisa menjangkiti siapa saja. Dan puasa ramadhan adalah “metode rehat” untuk pembebasan diri penyakit dunia. Karena ciri khas dari serakah adalah tidak pernah merasa puas dan selalu kurang.
Untuk apa kaya tapi serakah. Dan hari ini keserakahan bukan hanya problem individu, tapi sudah terbentuk jadi problem sosial. “Kenapa harus kaya sekali—jika makan cukup satu piring. Baju yang kita pakai hanya satu, tak mungkin dipakai berlapis-lapis. Urusan manusia di dunia ini sebenarnya cuma dua; takut dan lapar. Takut kehilangan jabatan, meski seisi dunia telah dimakan selalu merasa lapar karena serakah.
Bila akal dan hati telah disesaki kerakusan maka segala sesuatu dianggap baik dan halal. Sebab takwa itu adalah ikhtiar—jangan sampai kita lupa Allah. Dan lapar selalu mendorong orang menjadikan nafsu mencari saluran-saluran baru bagi pelampiasan atas nama keberkahan. Banyak manusia seolah kehilangan rasa kemanusiannya—kehilangan fitrahnya—khususnya dari dimensi spiritual. Keserakahan yang ditopang nafsu telah banyak terjadi disekitar kita. Jangan sampai setelah makan lupa bersyukur. Padahal Allah sendiri tidak pernah kosong dari hidup kita.
Puasa sesungguhnya menjauhkan kita dari takut dan lapar. Betapa tingginya Allah mencintai kita. Istilah dalam Al-Qur’an adalah la’ khaufun ‘alihim wa la’ hum yahzanu’n; tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih. Siapa pun kita, apakah sebagai wali, hamba dan orang bertakwa, tapi masih sering takut; takut miskin, takut lapar, takut kalah, takut jatuh dan takut tak punya jabatan, takut tidak populer dan takut kehilangan reputasi diri dan sebagainya, berarti belum ia bertakwa.
***
Alif lam mim dzalikal kitabu la raiba fihi hudan lil-muttaqin. Tanda kebesaran, petunjuk dan tidak ada keraguan bagi orang-orang yang bertaqwa. Cakupannya menyangkut diri manusia dan alam semesta. Puasa juga mendidik manusia untuk tidak mengambil lebih dari kebutuhannya. Mencegah diri dari segala kemudaratan dan keserakahan lingkungan hidup, seperti yang terjadi di kawasan tambang.
Dimensi spiritual puasa adalah juga metode untuk tahu dari tidak tahu. Adabnya adalah suatu proses atau madrasah yang membikin kita belajar tahu diri. Hampir dalam segala aspek kehidupannya, manusia modern itu terasing. Baik dalam hubungannya dengan pekerjaan, dengan benda-benda yang ia pakai, dengan negara, dengan sesama manusia dan bahkan dengan dirinya sendiri.
Kata Seyyed Hossein Nasr, manusia hari ini terjebak dalam perangkap dan labirin ciptaan sendiri. Reproduksi gairah kapitalisme lewat mesin hawa nafsu—melenyapkan kedirian kita jadi serakah dan tamak. Salah satu fitrah kemanusiaan yang mengalami krisis adalah spiritualitas.
Dan puasa adalah solusi ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan hati) dan menyerap yang ilahiah ke dalam diri sebagai manusia dan hamba. Kesadaran bahwa Allah hadir dalam qalbu hamba-nya merupakan ruh yang dapat menjaga manusia dari segala keburukan dan tragedi.[]