Menjaga Makna Ibadah di Bulan Ramadan
RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Bulan Ramadan yang dikenal sebagai bulan suci dalam kalender Hijriyah, tidak hanya menjadi momen umat muslim untuk menunaikan kewajiban puasa, tetapi juga sebagai sarana transformasi diri.
Hal ini diungkapkan Abdul Karim Tawaulu, Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Ambon dan juga Pengurus Amil BAZNAS Maluku, kepada media ini di Ambon, Rabu, 5 Maret 2025.
Dikatakan Tawaulu, puasa atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “shaum” dan “shiyam”, memiliki makna yang mendalam. Di mana, menurut Syofyan Hadi, dosen Sastra Arab UIN Imam Bonjol, bahwa meskipun kedua kata ini secara harfiah berarti menahan diri, namun keduanya memiliki perbedaan semantik dalam konteks Al-Qur’an.
“Shiyam lebih merujuk pada menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri di siang hari Ramadan. Sementara Shaum memiliki makna yang lebih luas, yaitu menahan diri dari segala hal yang dapat merusak iman, baik di dalam maupun di luar Ramadan,” katanya.
Ia menjelaskan, puasa seharusnya tidak hanya dipahami sebagai ritual tahunan yang bersifat rutin. Dan Ramadan seharusnya menjadi momen untuk mengendalikan nafsu yang liar, seperti nafsu menguasai, menimbun harta, atau merampas hak orang lain.
Ia menekankan bahwa puasa adalah komitmen transendental manusia dengan Sang Pencipta untuk membentengi diri dari segala bentuk kemungkaran. Namun, Tawaulu mengkhawatirkan bahwa banyak umat Muslim yang terjebak dalam rutinitas puasa tanpa mengambil manfaat spiritual yang seharusnya.
“Puasa sering kali hanya dijalankan untuk menggugurkan kewajiban, tanpa meninggalkan jejak ilahiah yang mendalam,” jelasnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) bahwa berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan haus.
Menurut Tawaulu, puasa seharusnya menjadi “junnah” atau benteng yang melindungi manusia dari perbuatan tercela.
“Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk keburukan, baik dalam perkataan maupun perbuatan,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa esensi puasa adalah transformasi diri, di mana setiap Muslim seharusnya mampu membawa perubahan positif dalam kehidupannya setelah Ramadan berakhir.
Sebagai penutup, Tawaulu mengutip firman Allah dalam QS. Maryam ayat 26: “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”.
Ayat ini, menurutnya, mengajarkan bahwa puasa juga melibatkan pengendalian diri dalam berinteraksi dengan orang lain.
“Dengan demikian, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk refleksi dan peningkatan kualitas diri, bukan sekadar rutinitas tahunan yang berlalu tanpa makna. Wallahu a’lam,” tutup Tawaulu. (AAN)